Oleh : A. Ariobimo Nusantara
Dalam kebijakan pemasaran ada kepercayaan bahwa salah satu lahan bisnis yang menuntungkan adalah pasar remaja. Kepercayaan ini bukan tanpa alasan, karena menurut laporan Survei Research Indonesia (SRI) dari tujuh kota besar di Indonesia, seperlima dari pasar adalah kaum remaja.
Maka tidaklah mengherankan bahwa kelas ini diincar oleh banyak produk yang diciptakan khusus untuk mereka. Misalnya, Close Up, Belia, Nike, BENETTON, SWATCH. Bukan hanya itu, produsen pun tampaknya berani berspekulasi untuk tumpang tindih mengeluarkan produk-produk sejenis. Contoh konkret misalnya, di tahun 1980-an remaja kita begitu tergila-gila pada jam merek ALBA. Tetapi popularitas ALBA mendadak tergeser oleh SWATCH. Itu pun tidak lama bertengger karena kemudian BENETTON mampu meraup perhatian remaja kita. Demikian berturut-turut, sampai munculnya demam BOSSINI dan GUESS akhir-akhir ini.
Menurut Ronald Alsop dan Bill Abrams dalam The Wall Street Journal on Marketing, para pemasar setuju bahwa pasar remaja adalah pasar yang tidak pernah stabil. Untuk itu, bila ingin tetap menyasar pasar remaja David Hirsch, Presdir dari Santa Cruz Import Inc., pernah menyarankan agar perusahaan mempunyai budaya yang mampu mengatisipasi setiap perubahan selera remaja.
Remaja sebagai “Trendsetter”
Kondisi yang sama juga terjadi dalam industri perbukuan. Remaja tahun 1980-an begitu tergila-gila pada buku-buku petualangan misalnya Cerita dari Lima Benua dan Seri Lima Sekawan. Tetapi, selera itu secara drastis berubah di tahun 1990-an. Lewat seri Lupus seakan-akan kaum remaja kita menemukan selera dan idola baru. Tokoh yang sedikit urakan, gaya bahasa yang manasuka, dan kemasan yang nyleneh ternyata sangat digemari. Begitu pula ketika komik-komik terjemahan mulai mengisi outlet-outlet toko buku Indonesia, kaum remaja akan semakin termanjakan. Komik-komik dengan cerita silat ringan dan romansa menjadi oase yang menyejukkan dahaga keliaran imajinasi mereka.
Judul lain yang juga mendapat sambutan adalah seri Goosebumps dan Fear Street keduanya karya R.L. Stine. Berbeda dengan dua jenis buku sebelumnya, Goosebumps dan Fear Street menyuguhkan cerita-cerita super seram dan misteri yang menengangkan. Bahkan, untuk mengikat loyalitas pembaca, penerbit kedua buku ini berani menjamin setiap bulan muncul judul baru.
Memang, salah satu strategi untuk mereguk profit dari menerbitkan buku-buku remaja adalah memelihara baik-baik loyalitas pembaca. Keberhasilan dari strategi ini sudah teruji. Ambil contoh, ketika remaja kita sedang gandrung pada Lupus, strategi promosi dan pemasaran buku ini lalu mendapat perhatian khusus. Misalnya, mengadakan jumpa penggemar dengan pengarang; menjamin kelancaran terbitnya judul baru setiap bulan; dan setelah mulai mengakar membuat varian dari seri ini (Lupus kecil).
Dampaknya sungguh luar biasa. Seri Lupus telah tercetak di atas satu juta eksemplar, satu angka fantastis bagi dunia perbukuan. Bahkan mungkin angka ini masih bisa didongkrak lagi mengingat tokoh Lupus mulai digarap lewat sinetron.
Hal yang sama juga dialami oleh komik-komik terjemahan. Meski di sana-sini masih terdengar upaya penolakan terhadap produk ini, toh judul-judul unggulan dari komik terjemahan minimal dicetak 40.000 eksemplar. Angka ini akan semakin terlihat fantastis karena setiap judul terdiri dari belasan hingga puluhan nomor. Bahkan posisi produk ini dikabarkan semakin kuat mencengkram dan mampu meluaskan pasar sasaran ketika jaringan televise swasta ikut menayangkannya dalam bentuk film kartun.
Kendala Penerbit Indonesia
Sayangnya, seperti sering dikeluhkan, kebanyakan buku yang digemari oleh remaja kita adalah karya-karya asing yang dialih-bahasakan. Memang, inilah masalah laten dunia penerbitan kita. Dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak dan remaja. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabarnya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan bacaan anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri “Pengarang Bacaan Anak-anak dan Remaja”. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.
Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-anak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60 penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.
Ditilik dari sisi pengarang kondisinya lebih menyedihkan. Untuk produk sekelas Lupus, kita hanya memiliki Hilam Hariwijaya, Gola Gong, Zara Zetirra ZR, Mira W, Gus TF Sakai, Bubie Lantang, Lutfie dan Dwianto Setyawan. Kondisi ini jelas tidak sebanding dengan gejolak dinamis konsumen remaja, sehingga tidak mengherankan jika penerbit selalu terseok-seok dalam mengantisipasi setiap perubahan selera remaja.
Mendulang Selera Remaja
Lantas bagiamanakah cirri utama buku yang digemari remaja kita saat ini? Yang jelas, bukan buku dengan plot cerita yang datar-datar saja, yang hanya berkisa tentang tokoh Tono dan Tini (meminjam istilah P. Drost. SJ), yakni tokoh yang selalu alim, berbudi baik, penurut , dan seabreg nilai positif. Yang sedang digandrungi adalah sosok yang benar-benar jauh dari dunia keseharian mereka, yang memberi sentakan-sentakan tersendiri. Kebetulan, cirri utama ini baru ditemukan dalam buku-buku sekelas Lupus dan cerita impor.
Mari kita urai bersama. Lupus misalnya, dia digambarkan sebagai tokoh yang urakan, ceplas-ceplos, suka jail. Bagaimana dengan tokoh Usagi dalam komik Sailor Moon? Sama saja. Karakter Usagi adalah seorang siswa SMP yang suka bangun kesiangan dan nilai ulangannya selalu jelek. Namun, kekurangan itu ditutup dengan unsur heroik dan romantisme yang memukau. Nah, formula inilah yang perlu dikembangkan oleh para pengarang buku yang bersasaran remaja.
Pendeknya, pengarang tak perlu membangun cerita berdasarkan plot-plot keseharian, tetapi bisa ‘liar’ meloncat kemana saja berusaha mendulang tren, selera dan gejolak remaja yang dinamis. Inilah sejumput kiat bagi penerbit dan pengarang yang hendak menyasar pasar remaja.