FRANKFURT BOOK FAIR 2006:
Sebuah Ziarah Perbukuan Dunia
oleh Ariobimo Nusantara
Setiap memasuki bulan Oktober, mata dunia perbukuan internasional tertuju pada suatu agenda prestisius, Frankfurt Book Fair (FBF), sebuah pameran buku terakbar di muka bumi ini. Tahun 2006, Frankfurt Book Fair memasuki usianya yang kelima puluh delapan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selama penyelenggaraan pameran (4 – 8 Oktober), Frankfurt ibarat sebuah kota ziarah bagi para profesional perbukuan dari seluruh penjuru dunia, tanpa memandang perbedaan ras, bangsa, agama, budaya, dan sosial-politik. Semuanya seolah lebur dalam sebuah keriaan yang sama: buku.
Bagi masyarakat Frankfurt sendiri, FBF sudah menjelma menjadi sebuah peristiwa budaya yang disikapi secara sinergis oleh hampir seluruh elemen masyarakat. Hal ini menjadi bukti bahwa antara pemerintah dan rakyatnya ada kesamaan komitmen dalam menyikapi perhelatan perbukuan internasional ini. Tak jadi soal apakah itu dengan merelakan tempat usahanya ditempeli poster dan agenda pameran, ataukah –bagi para mahasiswa—menjadi volunteer dalam kepanitiaan (termasuk menjadi penjaga karcis, penjaga pintu, atau sopir bus “wira-wiri” di area pameran). Sistem sarana transportasi publik pun menggratiskan ongkos transpor ke dan dari arena pameran. Dan, tentu saja yang paling menarik adalah partisipasi aktif masyarakat saat kesempatan untuk publik dibuka pada dua hari terakhir pameran. Selain memadati ruang-ruang pameran, para remaja Frankfurt juga bersemangat dalam mengikuti kompetisi ‘Big-in-Japan Cosplay’ yang berhadiah seminggu berlibur di Jepang. Atas partisipasi tersebut, panitia menggratiskan biaya masuk bagi mereka yang berpakaian ala tokoh-tokoh komik Jepang (manga) itu.
Tema Pendidikan
Sebagaimana ditradisikan, setiap tahun panitia selalu mengangkat tema utama. Tahun ini tema yang diangkat bertajuk “Pendidikan untuk Masa Depan”. Tema ini sangat menarik karena berangkat dari kesadaran bahwa “Pengembangan sektor pendidikan akan menentukan masa depan individu, masyarakat, dan khususnya adalah dunia penerbitan,” tegas Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, saat membuka pameran. “Dan, mulai tahun ini pula, Frankfurt Book Fair akan fokus pada tema pendidikan dan literasi, sebab masyarakat yang melek baca akan mendukung pertumbuhan bisnis perbukuan di samping meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri,” lanjutnya.
Tema Pendidikan
Sebagaimana ditradisikan, setiap tahun panitia selalu mengangkat tema utama. Tahun ini tema yang diangkat bertajuk “Pendidikan untuk Masa Depan”. Tema ini sangat menarik karena berangkat dari kesadaran bahwa “Pengembangan sektor pendidikan akan menentukan masa depan individu, masyarakat, dan khususnya adalah dunia penerbitan,” tegas Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, saat membuka pameran. “Dan, mulai tahun ini pula, Frankfurt Book Fair akan fokus pada tema pendidikan dan literasi, sebab masyarakat yang melek baca akan mendukung pertumbuhan bisnis perbukuan di samping meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri,” lanjutnya.
Sejalan dengan tema tersebut, menurut catatan panitia, ada sekitar 1.300 stan yang secara khusus memamerkan produk-produk yang terkait dengan dunia pendidikan. Mulai dari buku pelajaran atau buku teks, buku pengayaan atau pendukung pendidikan, hingga beragam judul referensi bagi dunia pendidikan—termasuk tren model pengajaran masa depan: materi pelajaran yang disajikan secara multimedia.
Sebagai pendukung tema, digelar pula sejumlah seminar/workshop, termasuk kongres guru yang pertama yang membahas peran sekolah dalam meggalakkan program melek baca bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan kampanye melek baca (LitCam: Literacy Campaign)—yang kali ini secara penuh didukung oleh UNESCO. “’Pendidikan untuk Semua’ adalah prioritas bagi UNESCO, mengingat tingkat melek baca masyarakat dunia yang masih belum menggembirakan,” siar UNESCO Institute for Lifelong Learning. Dalam catatan mereka, hingga saat ini lebih dari 770 juta orang di dunia masih belum melek baca. Inilah yang harus diperangi oleh dunia perbukuan secara menyeluruh. Sebab, UNESCO sudah menyatakan bahwa melek baca adalah hak setiap orang dan kunci bagi pengembangan diri manusia.
Secara umum, data statistik pameran kali ini menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kali ini, peserta pameran sekitar 7.272 stan, berasal dari 113 negara, dengan total judul yang dipamerkan kurang lebih 382.466 judul: terdiri dari 270.553 backlist (judul lama) dan 111.913 judul baru! Pertumbuhan yang cukup tajam khususnya terjadi pada sektor rights agent (bank naskah), yang tahun ini jumlahnya ada 283 agen. Peningkatan jumlah agen naskah ini patut dicermati sebagai tren yang akan terus berkembang di masa depan. Dari tahun ke tahun jumlah penerbit yang menyerahkan pengelolaan hak ciptanya kepada agen menunjukkan pertumbuhan positif. Hingga akhir pameran, total jumlah pengunjung mencapai sekitar 286.000 orang, terpaut sedikit dibanding jumlah pengunjung tahun lalu yang tercatat 284.838 orang. (diolah dari: Presse & Unternehmenskommunikation)
India: Guest of Honour 2006
India: Guest of Honour 2006
"Sebagian profil pengarang India yang karyanya ditampilkan dalam pameran. "
Menjadi Guest of Honour (tamu kehormatan) bagi India bukanlah pengalaman baru, sebab pada 1986 India pernah menjadi tamu kehormatan. Tahun ini India hadir dengan mengangkat motto “Today’s India” dengan menampilkan sejumlah program budaya, antara lain sastra, musik, tarian, dan film. Lebih dari 150 penerbit ambil bagian dalam pameran (jumlah ini tentu sangat kecil dibanding estimasi jumlah penerbit di India yang mencapai 16.000 penerbit) dan sekitar 70 pengarang India ikut menyemarakkan acara dalam pelbagai diskusi. Nama-nama seperti Amitabh Gosh, Mahashweta Devi, Amit Chaudhuri, Vikram Seth, Arundhati Roy, Vinod Kumar Shukla, Kunwar Narayin, G.P. Deshpande, Shaharyar, Javed Akhatr, dan K. Jayakantan adalah sedikit di antara pengarang India yang telah go international.
"Sebagian karya Guest of Honour dapat
dinikmati secara audible."
Di bawah koordinasi National Book Trust, India menampilkan sekitar 2000 hasil karya pengarang India, termasuk di antaranya karya-karya yang ditulis setelah India merdeka dari Inggris pada 1947. Tentu saja tak ketinggalan, sejumlah produksi Bollywood ikut unjuk diri menyemarakkan pameran ’kebangkitan India’ ini.
India memang pantas menjadi tamu kehormatan (lagi) pada acara ini. Dalam sebuah situs resmi perbukuan India dikatakan bahwa industri perbukuan India memang penuh keunikan, barangkali ia menjadi satu-satunya negara di dunia ini yang menerbitkan buku dalam 24 bahasa lokal, di samping bahasa Inggris. Dengan populasi yang lebih dari satu miliar penduduk dan sekitar 77.000 judul baru terbit setiap tahun (sekitar 40%-nya atau 20.000-an judul menggunakan bahasa Inggris) India bukan hanya menjadi “raksasa budaya” tetapi juga akan berkembang menjadi pasar buku dan media yang cukup menjanjikan. Banyaknya terbitan dalam bahasa Inggris ini akhirnya menempatkan India ke dalam peringkat ketiga negara-negara yang memiliki terbitan dalam bahasa Inggris terbanyak (setelah Amerika dan Inggris).
Pesatnya pertumbuhan penerbitan buku di India juga berkat dukungan dunia internasional yang turut menjadi konsumen produksi buku India, khususnya dalam bidang filsafat, agama, yoga, budaya, sejarah, dan sastra. Bahkan tak jarang buku-buku perguruan tinggi India juga diserap oleh negara-negara berkembang. Bagi India, buku sudah menjadi komoditas ekspor yang mencapai 4.3 juta rupees per tahun. Dan, jumlah ini tampaknya akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang mengingat sales yang dicapai oleh India dalam pameran kali ini pun meningkat tajam.
Naringer Singh Randhawa, salah seorang direktur National Book Trust, lembaga yang menjadi koordinator delegasi, mengatakan bahwa di dalam delegasinya ia juga menyertakan sejumlah penerbit baru yang sama sekali belum pernah berurusan dengan dunia internasional. Mereka boleh disebut penerbit skala kecil dan menengah, namun mereka adalah calon pebisnis di masa depan. Sebab, keikutsertaan mereka kali ini lebih ditekankan pada aspek belajar ‘bisnis internasional’ dari para seniornya sekaligus mengenal perkembangan dunia penerbitan internasional. “Kami tidak bisa menutup diri terhadap perubahan dunia yang begitu pesat, termasuk perkembangan kualitas yang dihasilkan oleh negara lain,” tegas Randhawa.
Ziarah Perbukuan
Mengunjungi Frankfurt Book Fair, tampaknya memang bukan sekadar memasuki suatu ‘pesta buku’ melainkan lebih tepat disebut sebagai melakukan suatu ‘ziarah buku’. Mengapa demikian? Di zaman yang serba digital ini, komunikasi bisnis tak lagi mengenal batas-batas ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, kalau perlu, kesepakatan bisnis sudah bisa dicapai melalui teknologi Internet. Pun, memindai judul-judul untuk dialihbahasakan juga lebih nyaman dilakukan lewat berselancar di dunia maya. Yang penting mata dan telinga cukup jeli dalam menangkap kecenderungan pasar.
Ziarah Perbukuan
Mengunjungi Frankfurt Book Fair, tampaknya memang bukan sekadar memasuki suatu ‘pesta buku’ melainkan lebih tepat disebut sebagai melakukan suatu ‘ziarah buku’. Mengapa demikian? Di zaman yang serba digital ini, komunikasi bisnis tak lagi mengenal batas-batas ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, kalau perlu, kesepakatan bisnis sudah bisa dicapai melalui teknologi Internet. Pun, memindai judul-judul untuk dialihbahasakan juga lebih nyaman dilakukan lewat berselancar di dunia maya. Yang penting mata dan telinga cukup jeli dalam menangkap kecenderungan pasar.
Bila demikian, apa manfaat secara langsung dari mengunjungi FBF? Ada yang mengatakan bahwa inilah sisi humanis dari bisnis. FBF menjadi ajang perjumpaan pribadi antarpenerbit untuk membina hubungan baik dan kedekatan, yang akan sangat berpengaruh dalam kelangsungan bisnis itu sendiri. “Sekali lagi, pameran buku terbesar di dunia ini telah menunjukkan betapa sangat diperlukannya pameran ini bagi penerbit, penjual, pengarang, dan pembaca untuk bertemu secara personal. Mereka tetap memerlukan forum internasional yang dapat memberi dampak secara global,” tegas Dr. Gottfried Honnefelder, President of the German Publishers & Booksellers Association - Börsenverein.
Dengan kata lain, mengunjungi FBF tak melulu harus berujung pada jual/beli hak cipta. Atmosfer FBF juga bisa dimanfaatkan oleh penerbit untuk berbenah dan meneguhkan diri. Bahkan bukan tak mungkin FBF berpotensi untuk mengubah visi, mimpi, hingga strategi bisnis pengunjungnya—terutama para profesional perbukuan. Bayangkan saja, bila penerbit amatir India yang hadir tahun ini diramalkan akan menjadi pebisnis internasional beberapa tahun ke depan, di manakah penerbit-penerbit terkemuka Indonesia pada saat yang sama? Bagaimanakah kita akan menyikapi fenomena ini? Mungkinkah pada periode yang sama penerbit kita telah melangkah lebih pesat dibanding penerbit amatir India tersebut, ataukah justru menjadi pasar bagi penerbit amatir India ini?
Sampai di sini kita belum bicara tentang mimpi menjadi Guest of Honour. Dalam sebuah obrolan singkat dengan Warran Holger, seorang pengajar dari Goethe University yang setia mengunjungi dan mengamati Frankfurt Book Fair, kami berhitung mengenai modal apa saja yang diperlukan untuk meraih mimpi itu. Modal minimal tentu saja berupa rapor perbukuan nasional: berapa banyak judul lokal yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing, atau berapa besar peta kekuatan judul lokal yang berpotensi mengglobal. Tentu saja, peranserta pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya bisnis perbukuan di Tanah Air juga akan menjadi catatan tersendiri.
"Produk lokal tak kalah menarik dengan produk
luar."
Oleh karena itu, menurut Holger, jika pun kesempatan itu ada, Indonesia harus bersaing dengan Malaysia yang sudah sejak beberapa tahun siap untuk menjadi Guest of Honour. Sejak beberapa tahun terakhir, Malaysia memang amat bersemangat mendekati penyelenggara Frankfurt Book Fair agar peristiwa besar di Jerman itu bertemakan karya-karya buku berbahasa Melayu. Bahkan secara konsisten Malaysia tak pernah absen mengutus wakil-wakilnya. Sebagai catatan, bila pada 2004 Indonesia diwakili oleh lima stan, Malaysia sudah mensponsori sepuluh stan. Satu-satunya wajah Indonesia hanya diwakili oleh stan GagasMedia—itu pun sebagai stan undangan khusus.
Masih ada cara untuk mewujudkan mimpi ini, hibur Holger, Indonesia (dan mungkin juga Brunei Darussalam dan Singapura) bukannya bersaing dengan Malaysia, melainkan justru mendukung upaya yang tengah dirintis Malaysia—menjadi sebuah desakan kepada panitia, bukan atas nama suatu negara, melainkan atas nama karya-karya berbahasa Melayu/Indonesia.
Dengan langkah ini, bukan tak mungkin panitia Frankfurt Book Fair akan tergerak untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, sebuah misi diplomasi kebudayaan—khususnya dalam bidang perbukuan—harus mulai dijajagi di tingkat reginoal dan internasional. Kesempatan terdekat adalah pameran tahun 2009 atau 2010, mengingat panitia telah menetapkan tamu kehormatan tahun 2007 (Budaya Catalan) dan 2008 (Turki).
Di tataran riil, catatan ini barangkali bisa menjadi bahan refleksi bagi penerbit Indonesia, di tengah fenomena ‘diskon gede-gedean, cuci gudang, dan jual buku murah’ yang semakin menggejala di kalangan penerbit Indonesia. Ke manakah penerbitan buku di Indonesia akan dibawa melangkah?
"Penerbit kelas dunia berlomba menyediakan tempat yang nyaman
untuk transaksi bisnis."
1 comment:
Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!
Post a Comment