Saturday, June 28, 2008

ANNECY YANG SEKSI:
Sisi Lain Romantisisme Prancis

oleh Ariobimo Nusantara

Annecy? Bisa tolong spelling-nya?” begitulah kurang lebih pertanyaan yang saya dapatkan ketika hendak mengurus perjalanan ke sana. Bahkan, ketika melaporkan keberangkatan saya di counter check-in di Frankfurt, saya mendapat pertanyaan yang kurang lebih sama.
“Annecy? Have you been there before?” Ketika saya jawab ‘belum pernah’ dan balas bertanya ‘ya, kenapa?’ Dengan senyum ramah kurang lebih ia mengatakan bahwa ‘tidak banyak orang (asing) yang berkunjung ke sana, tapi Anda pasti akan menyukainya.’ Boleh jadi, dalam hatinya ia bertanya, mengapa saya tidak memilih mengunjungi Paris atau kota-kota besar lainnya di Prancis.
Airport terdekat dengan Annecy adalah bandara Lyon. Penerbangan Frankfurt-Lyon memerlukan waktu sekitar satu jam. Benar juga kata petugas ground crew tadi, sepesawat tak banyak orang asing (apalagi dari Asia seperti saya) yang berkunjung ke Annecy. Situasi ini setidaknya mulai memengaruhi benak saya yang semakin penasaran, seperti apakah kota Annecy itu? Tapi, rasa penasaran itu masih harus saya simpan mengingat perjalanan dari bandara Lyon ke Annecy, kurang lebih memerlukan waktu 2 jam melalui jalan tol (tentu waktunya akan lebih singkat bila ditempuh dengan kereta api, langsung dari bandara ke stasiun kereta di Annecy). Maklum, jarak kota ini dari kota Lyon adalah 133 km, sedangkan bila ditempuh dari Paris jaraknya bisa mencapai 545 km. Namun, bila ditempuh dari Jenewa, kota ini justru hanya berjarak 43 km!
Hal ini tidak mengherankan karena kota kecil di Prancis tenggara ini lokasinya cukup strategis, berbatasan langsung dengan Italia dan Swiss (Jenewa). Dengan demikian, bagi mereka yang gemar melancong, Annecy bisa menjadi tempat persinggahan yang mengasyikkan sebelum melakukan perjalanan ke kawasan pegunungan Alpen di Eropa, yang panjangnya 1.100 kilometer itu, yang dimulai dari tepian Mediterranian, antara Prancis dan Italia. Puncak-puncaknya yang runcing tertutup salju, diselingi oleh hamparan lembah hijau di kaki perbukitan, menjadikan Alpen sebuah rangkaian pegunungan yang memiliki pesona tersendiri. Dari Annecy, wilayah pegunungan ini bisa dicapai dalam waktu satu jam berkendara mobil pribadi.

Meski demikian, Annecy juga bukan kota yang terpencil dari pergaulan internasional. Setidaknya dua kali dalam setahun kota ini menjadi pusat perhatian dunia film karena menjadi tuan rumah Annecy International Animated Film Festival (Festival du film d’animation) setiap bulan Juni dan Annecy Italian Film Festival (Festival du film Italien d’Annecy) setiap bulan Oktober. Bahkan setiap akhir bulan Maret kota ini juga menjadi tuan rumah biennal Spannish Film Festival.



“Venice of Savoie”

"Dasar Danau Annecy yang tampak jelas dari permukaan air."

Barangkali tidaklah berlebihan bila Annecy kita sebut sebagai kota budaya karena di kota ini kita juga masih bisa menyaksikan saksi sejarah cikal bakal kota Annecy, dikenal dengan sebutan area Annecy Tua. Terletak di sebelah utara dari sebuah danau alam yang cukup luas (+ 27 km2), yang dikelilingi oleh gunung-gunung Semnoz, Mont Veyrier, Dents de Lanfon, dan Tournette. Tak ayal, danau alam terbesar kedua di Prancis ini menjadi simbol bagi kota itu. Selain luas, danau Annecy juga terkenal sangat jernih—seolah kita sedang berada di sebuah kolam renang raksasa. Kawasan danau Annecy ditata menjadi semacam taman kota yang sangat asri dan romantis—tempat olahraga, rekreasi, dan interaksi bagi masyarakat umum.


"Ruang publik di sekitar
danau."

Satu hal yang patut dicatat dari ruang publik ini adalah kebersihan dan kenyamanan yang sangat dijaga sehingga membuat betah siapa pun yang berada di sana. Di tempat ini pula kita akan menjumpai Pont des Armours à Annecy atau Jembatan Cinta, sebuah jembatan klasik yang berada di samping danau, di atas kanal "le Thiou" yang menyeberang menuju Annecy pusat. Berdiri di atasnya kita akan mencecap segarnya udara, jernihnya air danau, dan berpasang angsa yang berenang-renang di air danau. Sungguh romantis dan sesuai dengan namanya. Konon, mereka yang sedang berpacaran, bila berciuman di jembatan ini, hidupnya akan bahagia. Entah sudah berapa banyak jembatan ini menjadi saksi bisu pasangan-pasangan yang sedang jatuh cinta.

Menyusur danau ini ke arah utara, akan membawa kita ke “patisari” dari kota Annecy, yakni kota Annecy tua (semacam kawasan Kota Lama Jakarta atau Kotagede di Yogyakarta) yang dikenal dengan sebutan Haute Savoie.


"Pemandangan dari atas
jembatan le pont des
armours. "

Sungguh mengagumkan, di sana kita bisa menemui bangunan-bangunan abad ke-12, pasar tradisional, serta sejumlah tempat penunjang wisata. Tapi tentu yang sangat menarik adalah adanya kanal yang membelah kota tua itu, yang konon pernah berfungsi sebagai prasarana transportasi. Itu sebabnya, Annecy juga mendapat julukan sebagai “Venice of Savoie” atau Venisia dari Savoie—mengingatkan kota kanal Venisia di Italia. Menariknya, meski sudah tidak aktif digunakan lagi, kanal tua ini tetap terpelihara kebersihannya. Tak terlihat sedikit pun sampah dibuang ke dalamnya, meski di kanan kiri kanal itu kini banyak berdiri kafe, restoran, bahkan pasar tradisional yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari.



"Keindahan Venice of Savoie dengan kafe teras di kanan-kiri dan latar belakang pasar tradisional."


Menjelajah pusat kota lama yang sarat dengan peninggalan bangunan bersejarah ini tak cukup sekali. Menyusuri jalanan sempit yang dipagari oleh gedung peninggalan abad pertengahan ini menghadirkan suasana romansa tersendiri. Suasana abad pertengahan dan kehidupan modern tampak menyatu dengan hadirnya kafe-kafe masa kini. Duduk berlama-lama menikmati secangkir kopi hangat dengan camilan "les roseaux du lac" (tongkat bambu kecil dari coklat)—pastry khas Annecy—di tempat ini tidak akan pernah terasa membosankan. Keramahan orang Prancis dan aroma pastry yang menggoda selera menjadi bumbu penyedap selama berada di kota tua ini. Atau, bila ingin sekadar melemaskan kaki, berjalan menyusuri pasar tradisional juga menjadi alternatif yang sangat dianjurkan. Boleh jadi inilah pasar tradisional dengan pengunjung internasional.



"Palais de L'Isle yang berdiri dingin."
Kota Annecy tua ini menjadi salah satu objek wisata yang digemari baik oleh wisatawan lokal maupun internasional. Di antara beragam bangunan tua yang masih eksis, ada satu bangunan yang langsung mencuri perhatian karena berdiri dingin-kokoh di tengah kanal; itulah Palais d L’Isle. Semula bangunan ini adalah rumah penguasa Annecy di abad ke-12, yang kemudian berubah fungsi menjadi gedung administratif kota, dan terakhir pada abad pertengahan hingga tahun 1865 disulap menjadi sebuah penjara. Bisa dibayangkan, bagaimana bangunan yang kini menjadi objek turisme ini, pada masanya pernah menjadi bangunan yang sangat menakutkan di mata masyarakat setempat.

Bicara tentang keindahan arsitektur bangunan di area ini tentu tak akan ada habisnya. Bekas kota lama ini memelihara dengan baik keutuhan bangunan-bangunan arkhaik berusia ratusan tahun, meski sebagian peruntukannya sudah berubah menjadi bangunan komersial, ada yang menjadi kafe atau restoran, ada pula yang beralih fungsi sebagai toko cinderamata. Toh demikian pemerintah atau pun pemiliknya tak sedikit pun tergiur untuk lalu merombak, menghancurkan bangunan-bangunan tua itu, demi alasan komersialisasi wisata.

Demikian pula sejumlah gereja yang berdiri di wilayah ini tetap berfungsi sebagai tempat peribadatan. Benar, di situs ini berdiri sejumlah gereja, uniknya ada yang letaknya saling sebelah-menyebelah. Ada gereja Notre Dame de Liesse; Katedral St. Pierre yang dibangun pada abad ke-16 dan kaya akan karya seni baroque dari abad ke-19; gereja St. Maurice yang terkenal dengan bangunan gaya gothic-nya serta lukisan-lukisan klasik dari abad 15 dan 16; dan gereja St. François. Uniknya, keempat gereja yang saling berdekatan itu masih aktif digunakan hingga kini. Selayaknya gereja-gereja kuno, kesan adem dan tenteram langsung menyapa kita begitu menginjakkan kaki di pintu masuknya.

Bangunan yang juga tidak boleh dilewatkan adalah Chateau d’Annecy yang kini menjadi museum yang menyimpan banyak cerita tentang sejarah Annecy dan sekitarnya. Letaknya yang berada di atas pegunungan Semnoz menjadikannya tempat yang sempurna sebagai sebuah museum sejarah kota karena dari tempat ini kita bisa memandang seisi kota berikut danau Annecy yang cantik itu—ibarat mengamati sebuah maket raksasa yang alami.

Annecy boleh dibilang perpaduan dari birunya danau, hijaunya pegunungan, dan arkhaiknya bangunan-bangunan abad pertengahan. Sebuah perpaduan yang menjadikan kota ini menyajikan sisi lain romantisme Prancis. Semuanya menyatu dengan sangat alami dan sempurna, tanpa kesan adanya rekayasa lansekap yang dipaksakan untuk menjadikannya tempat wisata kelas dunia.

* (telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 6 April 2008)



No comments: