Saturday, May 02, 2009

KIAT MERENGKUH PASAR REMAJA
Oleh : A. Ariobimo Nusantara

Dalam kebijakan pemasaran ada kepercayaan bahwa salah satu lahan bisnis yang menuntungkan adalah pasar remaja. Kepercayaan ini bukan tanpa alasan, karena menurut laporan Survei Research Indonesia (SRI) dari tujuh kota besar di Indonesia, seperlima dari pasar adalah kaum remaja.

Maka tidaklah mengherankan bahwa kelas ini diincar oleh banyak produk yang diciptakan khusus untuk mereka. Misalnya, Close Up, Belia, Nike, BENETTON, SWATCH. Bukan hanya itu, produsen pun tampaknya berani berspekulasi untuk tumpang tindih mengeluarkan produk-produk sejenis. Contoh konkret misalnya, di tahun 1980-an remaja kita begitu tergila-gila pada jam merek ALBA. Tetapi popularitas ALBA mendadak tergeser oleh SWATCH. Itu pun tidak lama bertengger karena kemudian BENETTON mampu meraup perhatian remaja kita. Demikian berturut-turut, sampai munculnya demam BOSSINI dan GUESS akhir-akhir ini.

Menurut Ronald Alsop dan Bill Abrams dalam The Wall Street Journal on Marketing, para pemasar setuju bahwa pasar remaja adalah pasar yang tidak pernah stabil. Untuk itu, bila ingin tetap menyasar pasar remaja David Hirsch, Presdir dari Santa Cruz Import Inc., pernah menyarankan agar perusahaan mempunyai budaya yang mampu mengatisipasi setiap perubahan selera remaja.

Remaja sebagai “Trendsetter”
Kondisi yang sama juga terjadi dalam industri perbukuan. Remaja tahun 1980-an begitu tergila-gila pada buku-buku petualangan misalnya Cerita dari Lima Benua dan Seri Lima Sekawan. Tetapi, selera itu secara drastis berubah di tahun 1990-an. Lewat seri Lupus seakan-akan kaum remaja kita menemukan selera dan idola baru. Tokoh yang sedikit urakan, gaya bahasa yang manasuka, dan kemasan yang nyleneh ternyata sangat digemari. Begitu pula ketika komik-komik terjemahan mulai mengisi outlet-outlet toko buku Indonesia, kaum remaja akan semakin termanjakan. Komik-komik dengan cerita silat ringan dan romansa menjadi oase yang menyejukkan dahaga keliaran imajinasi mereka.

Judul lain yang juga mendapat sambutan adalah seri Goosebumps dan Fear Street keduanya karya R.L. Stine. Berbeda dengan dua jenis buku sebelumnya, Goosebumps dan Fear Street menyuguhkan cerita-cerita super seram dan misteri yang menengangkan. Bahkan, untuk mengikat loyalitas pembaca, penerbit kedua buku ini berani menjamin setiap bulan muncul judul baru.

Memang, salah satu strategi untuk mereguk profit dari menerbitkan buku-buku remaja adalah memelihara baik-baik loyalitas pembaca. Keberhasilan dari strategi ini sudah teruji. Ambil contoh, ketika remaja kita sedang gandrung pada Lupus, strategi promosi dan pemasaran buku ini lalu mendapat perhatian khusus. Misalnya, mengadakan jumpa penggemar dengan pengarang; menjamin kelancaran terbitnya judul baru setiap bulan; dan setelah mulai mengakar membuat varian dari seri ini (Lupus kecil).

Dampaknya sungguh luar biasa. Seri Lupus telah tercetak di atas satu juta eksemplar, satu angka fantastis bagi dunia perbukuan. Bahkan mungkin angka ini masih bisa didongkrak lagi mengingat tokoh Lupus mulai digarap lewat sinetron.

Hal yang sama juga dialami oleh komik-komik terjemahan. Meski di sana-sini masih terdengar upaya penolakan terhadap produk ini, toh judul-judul unggulan dari komik terjemahan minimal dicetak 40.000 eksemplar. Angka ini akan semakin terlihat fantastis karena setiap judul terdiri dari belasan hingga puluhan nomor. Bahkan posisi produk ini dikabarkan semakin kuat mencengkram dan mampu meluaskan pasar sasaran ketika jaringan televise swasta ikut menayangkannya dalam bentuk film kartun.

Kendala Penerbit Indonesia
Sayangnya, seperti sering dikeluhkan, kebanyakan buku yang digemari oleh remaja kita adalah karya-karya asing yang dialih-bahasakan. Memang, inilah masalah laten dunia penerbitan kita. Dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak dan remaja. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabarnya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan bacaan anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri “Pengarang Bacaan Anak-anak dan Remaja”. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-anak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60 penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Ditilik dari sisi pengarang kondisinya lebih menyedihkan. Untuk produk sekelas Lupus, kita hanya memiliki Hilam Hariwijaya, Gola Gong, Zara Zetirra ZR, Mira W, Gus TF Sakai, Bubie Lantang, Lutfie dan Dwianto Setyawan. Kondisi ini jelas tidak sebanding dengan gejolak dinamis konsumen remaja, sehingga tidak mengherankan jika penerbit selalu terseok-seok dalam mengantisipasi setiap perubahan selera remaja.

Mendulang Selera Remaja
Lantas bagiamanakah cirri utama buku yang digemari remaja kita saat ini? Yang jelas, bukan buku dengan plot cerita yang datar-datar saja, yang hanya berkisa tentang tokoh Tono dan Tini (meminjam istilah P. Drost. SJ), yakni tokoh yang selalu alim, berbudi baik, penurut , dan seabreg nilai positif. Yang sedang digandrungi adalah sosok yang benar-benar jauh dari dunia keseharian mereka, yang memberi sentakan-sentakan tersendiri. Kebetulan, cirri utama ini baru ditemukan dalam buku-buku sekelas Lupus dan cerita impor.

Mari kita urai bersama. Lupus misalnya, dia digambarkan sebagai tokoh yang urakan, ceplas-ceplos, suka jail. Bagaimana dengan tokoh Usagi dalam komik Sailor Moon? Sama saja. Karakter Usagi adalah seorang siswa SMP yang suka bangun kesiangan dan nilai ulangannya selalu jelek. Namun, kekurangan itu ditutup dengan unsur heroik dan romantisme yang memukau. Nah, formula inilah yang perlu dikembangkan oleh para pengarang buku yang bersasaran remaja.

Pendeknya, pengarang tak perlu membangun cerita berdasarkan plot-plot keseharian, tetapi bisa ‘liar’ meloncat kemana saja berusaha mendulang tren, selera dan gejolak remaja yang dinamis. Inilah sejumput kiat bagi penerbit dan pengarang yang hendak menyasar pasar remaja.



[pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku 1995]
QUO VADIS BACAAN ANAK-ANAK?
Oleh A. Ariobimo Nusantara

Menjelang tahun 2001 tampaknya kita akan menjumpai suatu pemandangan yang cukup menyedihkan dalam dunia perbukuan, khususnya dalam hal interaksi antara anak dan buku. Bagaimana tidak, jika sekarang saja kita sudah sulit menemukan anak yang tergolong kutu buku. Peranan buku semakin tersingkir dan keberadaannya digantikan oleh media yang lebih menarik – media pandang dengar dalam bentuk siaran televisi, video, hingga laser disc.

Sebagai orangtua, kita seolah tidak berdaya dan hanya mampu menjadi penonton dari melebarnya jurang pemisah antara anak dan buku. Sementara pihak lain, penerbit – dengan kemampuannya masing-masing – berusaha untuk mencari terobosan di sana-sini guna mengimbangi membanjirnya arus informasi melalui siaran pandang dengar itu. Meskipun di satu sisi posisi buku kian terpuruk, di sisi lain keberadaan buku sebagai media informasi tertulis tidak akan pernah tergantikan. Oleh sebab itu, pentingnya buku sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa juga diamanatkan dalam GBHN 1983. Bahkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) atau organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di lingkungan PBB sendiri sudah mencanangkan semboyan “buku untuk semua”.

Dilema Buku Anak-Anak di Indonesia
Pada hakekatnya, buku merupakan sarana komunikasi tulis yang mendokumentasikan sekaligus menyampaikan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Selain itu, buku juga merupakan sarana yang uckup strategis untuk mempengaruhi opini publik dan sebagai penentu tingkah laku. Artinya, buku mampu meningkatkan mutu hidup manusia, tetapi juga mampu menggiring pembaca ke a lam fantasi yang jauh dari akar budaya dan kepribadian bangsa. Khusus bagi anak-anak (membaca) buku berdampak: anak akan tahu segala hal, membuka wawasannya, menambah pengalaman batin, dan membuat anak menjadi gembira. Masalahnya sekarang adalah bagaimana situasi perbukuan di Indonesia?

Jika diperhatikan, sejak tahun 1987 grafik produksi buku nasional cenderung bergerak turun. Kalau produksi b uku pada tahun 1987 ada 6.000 judul, pada tahun 1988 dan 1989 turun menjadi 4.000 judul Bahkan kini kabarnya, produksi buku nasional tahun-tahun ini hanya berkisar antara 1.000-3.000 judul. Dari sekian judul itu, hitung saja berapa judul kira-kira buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Bila dibandingkan dengan negara anggota asean lainnya, tampak jelas bahwa Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabaranya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan buku anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri ‘Pengarang Bacaan Anak-Anak dan remaja’. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-nak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak (Kompas, 12 Agustus 1993).

Kelesuan penerbitan buku anak ini sebenarnya diawali ketika proyek buku Inpres mulai menurun. Proyek yang berkibar pada dekade 1970 hingga 1980-an ini kabarnya sempat menggemukkan beberapa penerbit dan pengarang Indonesia. Betapa tidak, sejak tahun 1973 saja proyek ini telah mengucurkan dana sebesar 651.6 miliar rupiah.

Namun, proyek besar itu kemudian kandas di tengah jalan, berbarengan dengan menyurutnya kualitas buku-buku itu sendiri. Bahkan begitu proyek ini mulai surut, banyak penerbit buku yang memilih gulung tikar atau mengalihkan modalnya ke usaha lian yang lebih menguntungkan. Sinyalemen ini menunjukkan bahwa banyak pemodal yang berkedok penerbit karena hanya mau menerbitkan buku (anak) bila situasi benar-benar menguntungkan dari segi bisnis. Mereka tidak berangkat dari tradisi intelektual atau idealisme.

Berangkat dari sinyalemen itu, wajarlah kalau dewasa ini muncul semacam gugatan dari masyarakat terhadap kemampuan penerbit Indonesia dalam menerbitkan buku anak yang bermutu unggul. Sebenarnya, dari kalangan penerbit sendiri sudah ada rasa risih kalau harus terus menerus menerbitkan karya terjemahan. Alasan utamanya, buku-buku tersebut dapat menyebabkan posisi buku-buku karya pengarang dan cerita lokal kian terdesak, meskipun diakui bahwa penerbitan karya terjemahan lebih murah dan menguntungkan. Akan tetapi, di lain pihak, penerbit sendiri juga kesulitan menemukan pengarang lokal yang berkualitas dan mampu mengethaui kebutuhan anak zaman sekarang, sementara roda penerbitan harus terus berputar. Kondisi yang sangat dilematis inilah yang akhirnya memaksa penerbit untuk berburu cerita terjemahan.

Dari sisi persebaran buku, snagat terasa bahwa buku-buku yang mengandung informasi mutakhir masih menjadi milik anak-anak di perkotaan. Sebaliknya, anak-anak di desa sangat kekurangan bacaan. Mereka hanya mengandalkan perpustakaan sekolah yang miskin koleksi sehingga hanya membaca buku-buku lama yang mungkin sudah berkali-kali dibaca.

Back to Comic
Mengembalikan “kejayaan” buku Inpres seperti di tahun 1970-an di tengah menderasnya arus globalisasi ini tidaklah gampang. Perkembangan wawasan serta pola pikir anak-anak sekarang ternyata begitu cepat dan melampaui perkiraan kita. Anak sekarang, yang merupakan generasi di tahun 2001 nanti adalah generasi yang lahir di tengah-tengah segala hal yang serba instan dan serba mutakhir. Mereka lebih terbiasa mencerna keampuhan “pedang matahari” atau “senapan laser” daripada “keris Empu Gandring” atau “Nagasasra, Sabuk Inten”. Pahlawan mereka sekarang bukan lagi yang ber”otot kawat balung wesi”, tetapi yang seluruh tubuhnya terbungkus baja. Pendeknya, semua yang serba futuristik yang kini tengah menguasai sebagian imajinasi anak.

Dalam hal bacaan, anak sekarang lebih selektif lagi. Mereka tidak mau menyentuh bacaan-bacaan yang dikemas seperti bacaan tahun 1970-an dulu. Mungkin karena pengaruh yang serba instant tadi, anak lebih memilih bacaan yang mampu memberi kenikmatan membaca (teks) dan melihat (gambar) sekaligus, yang lazim disebut komik. Itu baru dari segi penyajian. Dari segi ide cerita, anak ternyata juga lebih cenderung lekat pada tokoh-tokoh impor, baik yang dilahirkan di Negeri Paman Sam maupun yang lahir di Negeri Sakura. “Permintaan pasar" inilah yang akhirnya mendorong penerbit untuk berlomba-lomba berburu copyright ke kedua negara tersebut.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya kehadiran komik di Indonesia bukanlah hal baru. Kita tentu masih ingat ketika pada tahun 1970-an komik-komik H.C. Andersen, Tintin, atau album Donal Bebek menjadi bagian dari bacaan kita. Begitu pula dengan boom komik-komik lokal seperti karya Jan Mintaraga, Ganes TH, Hans Jaladara, dan Teguh Santosa. Meskipun demikian, tampaknya “selera zama” lebih memainkan peranan. Komik-komik k arya koikus lokal semakin hari tampak semakin kedodoran dan pasrah menjadi saksi berkibarnya komik-komik terjemahan di negeri ini. Sebaliknya, di Negeri Sakura komik (lokal) justru sedang mengalami booming yang mencapai 2,16 miliar kopi. Demikian pula yang terjadi di Amerika, komik (setempat) mendapat tempat yang layak di negerinya sendiri.

Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1994 ini, cerita sedih tentang komik Indonesia tampaknya mulai mendapat pelipur lara. Seiring dengan perputaran selera yang “back to comic”, di pasaran mulai muncul komik Indonesia yang dikemas sejajar dengan kualitas komik terjemahan. Langkah ini diawali oleh Dunia Fantasi dengan melontarkan komik Ramayana yang dikemas dengan gaya futuristik. Ide atau pakem cerita tetap seperti aslinya, hanya visualisasi gedung, senjata dan kostum para tokohnya sedikit dipoles dengan sentuhan “tahun 3000”. Tidak lama kemudian, Elex Media Komputindo juga melontarkan seri komik lokal dengan kualitas komik terjemahan, berjudul Imperium Majapahit. Bedanya, komik terbitan Elex tetap setiap pada pakem aslinya secara utuh, meskipun kedua jenis komik itu dihasilkan oleh komikus yang sama: Jan Mintaraga.

Melihat kehadiran kedua “kelinci percobaan” tersebut, dapat diprediksi bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi trend komik anak-anak di Indonesia akan dibawah kembali kepada cerita-cerita lokal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kehadiran komik terjemahan tampaknya sudah mencapai titik jenuh. Jika ramalan ini bisa dibenarkan, penerbit dan komikus Indonesia harus mulai bersiap-siap bekerjasama lagi mengantarkan cerita-cerita lokal kepada anak-anak generasi tahun 2001.

Penutup
Menggiatkan kembali peta buku anak nasional, seperti yang pernah berkibar di tahun 1970-an memang merupakan suatu tantangan yang cukup berat bila ditinjau dari lesunya dunia perbukuan dan perekonomian saat ini. Namun, tanpa usaha dan upaya yang didukung kemauan yang sungguh-sungguh dan kerja sama antar-lingkungan terkait, rasanya akan sulit membangkitkan gairah baru dalam penulisan buku anak-anak Indonesia beserta pemasyarakatannya. Apalagi bila kita tidak mau dikatakan tertinggal dari negara-negara lain baik ASEAN maupun Eropa. Kiranya inilah yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus tanggung jawab kita, baik sebagai orangtua, pendidik, maupun kalangan penerbit.


[tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 1994]
TIPS BINA GEMAR MEMBACA
Oleh A. Ariobimo Nusantara

Persoalan meningkatkan gemar membaca barangkali sudah menjadi topik yang selalu diulang-ulang setiap kali ada kegiatan perbukuan. Bisa jadi ada di antara kita yang sudah “putus asa” menghadapi persoalan ini. Alhasil, kata-kata “Meningkatkan Gemar Membaca” pun dirasa sekadar slogan, basa-basi belaka yang hasilnya sukar teraba.

Benar memang. Membiasakan gemar membaca (di Indonesia) bukan masalah enteng. Konon, ada yang menyebut bahwa hal ini merupakan indikasi kuat bahwa tradisi lisan teramat melekat erat di masyarakat. Buktinya, orang lebih senang menghabiskan waktu dengan mengobral obrol; lebih betah memelototi televisi atau memeluk radio berjam-jam lamanya ketimbang membaca; pertunjukan musik, layar tancap, arisan dan seminar lebih mudah menarik massa daripada pameran buku.

Dari sini, semakin kentaralah bahwa perubahan drastis ke arh masyarakat gemar membaca masih membutuhkan waktu panjang. Namun, bukan berarti kondisi ke arah itu tidak bisa diciptakan. Salah satunya ialah dengan sedini mungkin mendekatkan anak dengan buku. Mengutip pendapat Prof. Janine Despinette, seorang ahli dan kritikus buku anak asal Prancis, bahwa sejak usia dini anak juga perlu belajar mendengarkan cerita yang dibacakan orangtua atau guru mereka, sehingga mereka mampu menghargai apa yang ada dalam cerita itu.

Sayangnya, sekarang banyak orangtua sudah semakin sibuk untuk mengemban tugas ini. Sementara, anak belum siap dilepas sendiri mengupas buku-buku cerita. Lantas, usaha apa yang pantas dilakukan agar anak semakin berjabat erta dengan buku?

Banyak saran mengatakan alangkah baiknya jika orangtua bisa menyediakan waktunya untuk menemani anak dalam memilih bacaannya, bahkan kalau perlu ikut menyukai dan membacakannya. Dengan demikian, orangtua dapat mengarahkan dan menjelaskan kepada anaknya bacaan apa yang sesuai dengan usia dan tingkat pengetahuannya. Tetapi, bagaimana bila saran ini kurang mempan bagi bangsa yang terlanjur akrab dengan tradisi lisan?

Karen O’Connor, dalam buku How to Hook Your Kids on Books (diterbitkan Thomas Nelson Publisher: Neshville, 1995), mencoba menjawab masalah semacam itu. Ia mengulas berbagai teknik dan cara mendorong anak agar gemar membaca. Sistematika buku ini dibagi dalam tiga bab utama, yaitu mengenalkan buku (Introduce Book), mendorong minat baca (Encourage Reading), dan membantu pengayaan minat baca (Foster Reading Enrichment). Tiap-tiap bab membawahi beberapa kiat yang tidak saling mengikat.

Buku ini ternyata menyimpan segudang pengalaman dan kiat bina gemar membaca yang tidak pernah kita dengar sebelumnya.

Mendorong anak untuk gemar membaca pada dasarnya bermuara pada peran aktif orangtua. Seorang ibu yang sedang mengandung misalnya, tidak salah bila mulai suka membacakan cerita-cerita bagi janinnya. Setelah lahir, si bayi tetap dikondisikan dekat dengan buku. Caranya, sisipkanlah satu-dua buku (dimulai dari pictorial book) di antara mainannya. Begitu seterusnya, seturut perkembangan anak sampai akhirnya anak memiliki semacam koleksi pribadi.

Setelah anak lepas dari masa “balita”, orangtua dapat mendorong pengalaman perbukuan yang lebih serius. Ada beberapa cara: membacakan cerita menjelang tidur, membiasakan hadiah berupa buku, mengadakan semacam “arisan keluarga” dengan kegiatan utama membaca satu-dua buku cerita, atau mendiskusikan tema suatu buku. Gagasan yang cukup menarik adalah menggunakan buku untuk merencanakan kegiatan liburan. Misalnya, anak mempunyai bacaan tentang dinosaurus, tidak ada salahnya bila pada suatu kesempatan, mereka diajak mengunjungi museum biologi yang memiliki koleksi binatang purba.

Cara lain, mengadakan semacam studi wisata ke penerbit atau perpustakaan, memotivasi anak untuk terbiasa memberi santunan buku kepada anak terlantar. Atau, yang lebih serius, mendorong anak berbuat sosial dengan cara membacakan cerita bagi pasien anak-anak di rumah sakit.

Bagi anak remaja, O’Connor menyarankan agara orangtua mulai menugasi anak membuat satu narasi tentang keluarga, bisa tentang silsilah, acara liburan, menulis surat, atau membuat buku harian. Anak yang lebih tua diminta membacakan cerita bagi adik-adiknya, atau membuat synopsis dan anotasi dari suatu cerita.

Bagaimana jika anak tetap tidak mau akrab dengan buku? Gampang. Orangtua jangan selalu bersedia menjadi “ensiklopedi berjalan” yang mampu menjawab setiap pertanyaan anak. Sekali waktu arahkan anak untuk mencari jawab atas pertanyaannya lewat buku atau ensiklopedi.

Kiat-kiat jitu O’Connor boleh dikata khas Amerika, yakni memberi keleluasaan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya. Namun demikian, bukan berarti buku ini tidak cocok untuk kondisi Indonesia karena ada kiat-kiat yang bersifat universal; bisa diterima di mana saja.

Jadi, bila kita memang berniat mengembangkan minat baca pada anak, berikan dan ciptakan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk bergaul dengan bacaan.



[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1995]
GEMAR MEMBACA, GEMAR MENULIS
Oleh A. Ariobimo Nusantara



Jika Anda tergolong orang yang gemar membaca, tentu belum lekang dari ingatan Anda serentetan iklan layanan masyarakat yang digeber harian Kompas di penghujung tahun 1996. Iklan gede-gedean yang diprakarsai oleh harian tersebut bekerja sama dengan berbagai perusahaan periklanan itu menekankan pentingnya gemar membaca sejak dini. Copy iklannya cukup menarik dan menggelitik, meski kita tak pernah tahu apakah iklan layanan masyarakat itu benar-benar “menyentakkan” masyarakat – khususnya yang belum menikmati renyahnya membaca.

Bolehlah saya kutipkan beberapa copy iklan yang menggelitik itu. “Bacaan Anda menunjukkan siapa Anda” (30/12/96), “Persiapan kehidupan: Buah hati Anda membutuhkan wawasan. Ajaklah mereka gemar membaca…” (31/12/96), “Akankah buku tetap menjadi sebuah ‘daftar’ hanya karena soal HARGA?” (29/12/96), “Membaca membuka mata hati memperluas wawasan” (3/1/97). Tentu saja, copy iklan itu masih diikuti body text yang kalau kita baca seluruhnya akan menunjukkan “perang kreativitas” di antara pekerja iklan.
Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah: Apa keuntungan dari iklan layanan yang tentu berharga jutaan bahkan mungkin puluhan juta rupiah itu? Jelas, namanya saja iklan layanan masyarakat sehingga sifatnya bukan “menjual” sesuatu. Akan tetapi, sebenarnya lewat iklan itu kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga. Apa itu? Keluasan wawasan para pembuatnya, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa mereka juga termasuk orang-orang yang “gila buku”. Lebih jauh lagi, kita mendapatkan bukti nyata bahwa dengan gila membaca dan berolah kata pun orang dapat beroleh penghasilan yang menarik.

Revolusi Tulisan
Boleh dikata, ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh dari “revolusi tulisan” yang tidak pernah dibayangkan oleh pencetusnya. Ketika pertam kali manusia menciptakan Alfabet (abjad) tentu bukan tanpa maksud. Alfabet (berasal dari nama huruf pertama Yunani alpha dan huruf kedua beta) berarti susunan huruf dalam urutan tertentu untuk menuliskan kata-kata atau bunyi dalam satu atau beberapa bahasa. Dengan alphabet, manusia lebih mudah menuangkan gagasan secara sistematis. Penciptaan alphabet boleh dibilang merupakan “revolusi besar” dalam sejarah kehidupan manusia karena manusia mulai memasuki tradisi baru, tradisi tulisan (literacy).

Menurut sejarahnya, alphabet tertua ditemukan pada abad ke 13 SM di Ugasit, Fenisia dalam bentuk tulisan paku yang mungkin merupakan contoh bagi alphabet Yunani yang dipakai sejak 900 SM. Alfabet Yunani ini dibawa oleh bangsa Etruria ke Roma yang kemudian menjadi abjad Latin.

Revolusi alphabet semakin besar-besaran manakala pada abad ke 15 Masehi, Gutenberg – seorang warga negara Jerman, menemukan sistem produksi karya cetak. Dengan kata lain, Gutenberg sebagai penemu mesin cetak, tinta cetak, huruf cetak yang dapat dilepas dan dipasang; penemu metode cetak, metode membuat huruf cetak dari campuran logam, telah menimbulkan revolusi di bidang perbukuan dan persurat-kabaran.
Penemuan Gutenberg semakin memacu lahirnya tradisi tulisan. Namun demikian, “revolusi” yang diciptakannya itu terpaksa memakan korban. Korban pertama adalah Gutenberg sendiri. Penemu ini terjerat hutang dan tidak sempat menikmati hasil penemuannya, bahkan hidup sengsara karena penemuannya. Sedangkan, korban yang lebih besar adalah tergesernya tradisi lisan (oral) oleh tradisi tulisan (literacy).

Akan tetapi, meski revolusi tulis menulis ini telah berabad-abad berpengaruh pada tradisi kelisanan kita, nyatanya tradisi tulisan belum sepenuhnya mengendap dalam budaya masyarakat kita. Mengenai hal ini, A. Teeuw memang pernah menyinggung bahwa masyarakat Indonesia masih dalam tahap peralihan dari tradisi lisan (oral) menuju tradisi tulisan (literacy). Banyak takaran mengenai hal ini, misalnya sinyalemen rendahnya minat baca, kesulitan mahasiswa dalam menulis skripsi, minimalnya produktivitas sarjana dalam melahirkan tulisan, termasuk juga banyaknya guru yang tak mampu menulis.
Padahal, di sisi lain kita sudah memasuki tahap pasca-tulisan (post-literacy), yakni ditandai dengan maraknya sarana komunikasi elektronik. Anehnya justru tradisi pasca-tulisan lebih cepat berkembang daripada tradisi tulisan. Mengapa? Satu-satunya jawab adalah karena memiliki kemiripan dengan tradisi lisan, meski yang terjadi hanya komunikasi satu arah.
Praktis, dengan cepatnya loncatan tradisi ini, tradisi tulisan seolah semakin alot berkembang. Betapa tidak, bila untuk memahami isi ensiklopedi misalnya, orang tidak perlu lagi bersusah payah membacanya, karena teknologi CD-ROM kini siap menampulkan seluruh isi ensiklopedi berikut gambar bergerak dan suaranya.

Tugas Membaca dan Menulis
Itulah sebabnya, Taufiq G Ismail – seorang penyair kondang – sangat prihatin karena pelajaran mengarang di sekolah menengah saat ini mendapat porsi yang sangat sedikit (Kompas, 22/12/95). Ia pun mengaku tak heran lagi bila saat ini banyak mahasiswa kesulitan menulis skripsi, yang selain menuntut ketrampilan berbahasa juga menuntut ketrampilan menyajikan gagasan ke dalam tulisan secara sistematis dan logis.

Memang, bagi sebagian besar mahasiswa, tugas menulis skripsi masih dipandang sebagai satu tugas yang mematikan. Untuk bisa melampaui tugas ini, seorang mahasiswa dituntut menguasai beberapa hal, mulai dari menguasai (membaca) sejumlah buku, memilih judul, membuat outline, merumuskan latar belakang masalah, kerangka pemikiran, dan metode penelitian – yang semuanya serba tertulis.

Padahal, latihan-latihan menulis, sebagaimana diprihatinkan oleh Taufiq G Ismail, jarang diperoleh lagi selepas dari sekolah dasar. Menulis, yang menjadi bagian dalam matapelajaran Bahasa Indonesia, terkadang harus tergusur oleh padatnya pengetahuan ketatabahasaan yang harus dipahami siswa. Jeda yang cukup panjang dalam latihan tulis menulis ini, jelas membawa pengaruh pada kerancuan berpikir dalam bahasa tulis.

Di sisi lain, tugas-tugas menulis/mengarang terkadang masih dianggap sebagai beban karena guru harus membaca semua hasil tulisan siswa. Sementara, nyatanya belum tentu semua guru memiliki minat besar dalam hal membaca dan menulis.

Sebagai konsekuensinya, kesulitan mengutarakan gagasan lewat tulisan tidak hanya dialami sewaktu menjadi mahasiswa, tetapi berlanjut terus, meski seseorang telah memasuki dunia kerja. Ironisnya, kesulitan ini banyak juga dialami oleh orang yang pekerjaan sehari-harinya justru bergelut dengan perkara tulis menulis, misalnya sekretaris, wartawan dan editor penerbit.

Kondisi ini membuktikan kepada kita bahwa hingga memasuki era cyberspace pun ternyata masih cukup banyak sumber daya manusia yang tak mampu mengorganisasikan gagasan dalam bangunan tulisan yang jelas dan logis. Akibatnya, banyak sekali kasus yang “memalukan” – dosen menjiplak skripsi mahasiswanya, larisnya bisnis jual-beli skripsi, atau minimnya penulis buku lokal.

Untuk mengatasi kondisi ini, tidak ada salahnya bila kebiasaan membaca dan latihan menulis sejak dini digiatkan terus tanpa mengalami senjang waktu. Sejalan dengan itu, kepada pelajar, mahasiswa, dan umum perlu dipikirkan kegiatan yang dapat merangsang kegemaran membaca dan menulis.

Bagi pelajar misalnya, bolehlah menghidupkan kembali tradisi mewajibkan siswa meminjam buku di perpustakaan kemudian pada kesempatan berikutnya guru mengadakan tes pemahaman siswa terhadap isi buku itu. Atau, memperbanyak tugas-tugas menulis, baik menulis surat, mengarang cerita, maupun menulis ilmiah.
Sebagai sumber daya manusia di abad ini, kita sudah cukup beruntung karena alphabet telah lama ditemukan. Kepentingan kita sekarang adalah meningkatkan kebiasaan disiplin berpikir, agar terasahlah kemampuan menyerap gagasan tertulis dan mengutarakan gagasan lewat bahasa yang jelas, logis, dan tertulis.



[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1996]