Saturday, June 28, 2008




KIYOMIZU-DERA,

Kuil Sejuta Pesona di Kyoto

oleh Ariobimo Nusantara






Wisata kuil. Barangkali itulah sebutan yang paling tepat bila kita mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang. Betapa tidak, hampir di setiap kota di Jepang selalu dapat ditemui sejumlah kuil yang rata-rata masih berfungsi aktif. Memang, secara umum kuil-kuil tersebut tampaknya nyaris sama antara satu dengan yang lain. Namun, cerita di balik tiap kuil tidaklah sama. Dan, itulah daya tarik yang sebenarnya karena “rasa” Jepang-nya sungguh nyata dibanding hanya keluar-masuk mal yang tak jauh beda dengan mal-mal di Tanah Air.

Salah satu kuil yang sempat saya kunjungi bersama delegasi dari sejumlah negara ketika berada di Kyoto adalah kuil Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua milik sekte Hosso dalam agama Buddha. Memang, Hosso hanya sebuah sekte kecil yang berkembang sekitar tahun 657 yang didirikan oleh biksu Dosho dari Cina. Tetapi, jangan anggap remeh. Kompleks kuil ini terbilang sangat luas dengan memanfaatkan kontur alam yang luar biasa indahnya. Luasnya tak kurang dari 130,000 meter persegi dengan lebih dari 30 bangunan di dalamnya, terletak di atas sebuah perbukitan. Begitu pentingnya objek wisata ini sehingga jika kita tidak dalam rombongan wisata, kita tidak perlu khawatir karena tersedia bus umum nomor 206 atau 207 tujuan Kiyomizu-michi atau Gojo-zaka yang menuju objek wisata ini—tentu saja kita tetap harus berjalan sekitar 10 menit karena lokasinya tertutup untuk didaki kendaraan.


"Bangunan utama di Kiyomizu-dera. " (sumber: www.nara.accu.or.jp)


Kuil yang dibangun lebih dari 1200 tahun lalu ini tercatat dalam daftar World Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh UNESCO pada Desember 1994. Meski demikian, kebanyakan bangunan yang ada sudah tidak asli karena kuil ini sempat hancur dan beberapa kali mengalami pemugaran. Kuil ini dibangun pada 798, tetapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1633 atas prakarsa Shogun Iemitsu Tokugawa.

Air yang Jernih
Sepanjang sejarahnya, banyak bangunan kuil di Kyoto yang terbakar dan dibangun kembali. Tetapi, bangunan-bangunan di kiyomizudera banyak yang masih tetap utuh karena kuil ini tidak pernah terlibat dalam peperangan. Dengan kata lain, kuil ini tidak punya “musuh” sehingga tak ada alasan untuk menghancurkannya. Pernah, kuil ini terbakar sekali, tetapi pada 1633 direkonstruksi oleh Shogun. Maka, meski bangunan sekarang berumur kurang lebih 350 tahun, bangunan aslinya lebih dari 1200 tahun lalu, hampir 20 tahun sebelum ibukota Jepang pindah ke Kyoto.








"Pancuran Otowa-no-taki. Langsung diminum, tak
perlu ragu soal faktor higienis."


Kiyomizu-dera secara harfiah artinya air yang jernih. Dinamakan demikian karena di bagian bawah kuil ini terdapat air terjun yang terkenal, yang bersumber dari Gunung Otowa selama ribuan tahun. Ini adalah satu dari sepuluh air jernih yang terkenal di Jepang. Sumber air yang jernih ini kemudian dipancurkan melalui tiga pancuran dan dipercaya sebagai air suci. Pancuran ini disebut Otowa-no-taki (Sound of Feathers Waterfall).


Menurut legenda ketiga pancuran ini masing-masing melambangkan wajah tampan/cantik, umur panjang, dan kebijaksanaan. Di sinilah uniknya, saking jernihnya air yang keluar dari pancuran-pancuran ini maka air bisa langsung diminum. Namun, ada aturannya. Orang hanya boleh minum dari salah satu pancuran. Silakan, mau pilih (dari kiri ke kanan) umur panjang, berwajah tampan/cantik, atau bijaksana. Apa yang akan Anda pilih? Ingat, jika Anda “tamak” dan meminum ketiga sumber tersebut maka Anda justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Apalagi kita hanya boleh berada di depan pancuran ini selama 45 detik saja!


Cara mengambil air ini pun sangat unik. Di dekat pancuran tersebut tersedia sejumlah gayung bergagang untuk mengambil air dan meminumnya langsung. Pancuran tersebut tetap mengucur deras hingga hari ini, meski tiap hari ratusan hingga ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia dan meminumnya. Higienis? Jangan khawatir. Gayung-gayung ini ditempatkan dalam semacam lorong yang disinari oleh sinar ultra untuk sterilisasi. Sungguh merupakan konsep perpaduan antara unsur tradisional dan modernitas yang sangat jenial.


Agaknya, inilah roh dari kuil ini, mengingat pendirinya, biksu Enchin, pada awalnya memang memimpikan untuk membangun sebuah kuil di sebuah air terjun dari sebuah sumber yang jernih, Sungai Yodogawa. Menurut legenda, mimpi itu segera diwujudkannya ketika suatu hari ia melintas di air terjun di Otowa dan bertemu dengan Gyoei, seorang pendeta tua yang memberinya balok kayu, yang harus diukirnya dengan wajah Kannon.

Kompleks Raksasa
Kompleks kuil ini memang luar biasa luasnya dengan sejumlah bangunan yang sayang untuk dilewatkan. Tengok saja bangunan utamanya. Bangunan aslinya yang merupakan sumbangan dari Tamuramaro telah hancur terbakar pada 1629, sedang bangunan yang sekarang adalah berarsitek periode Heian. Di dalamnya, didekorasi oleh 30 lukisan sumbangan para pedagang selama pembangunan tahun 1633. Konon kabarnya, gambar asli Kannon yang dibuat oleh Echin disimpan di sebuah kotak dengan 28 tiruannya di sisinya. Namun, apabila Anda berharap menyaksikan langsung gambar dewa berwajah-sebelas dengan seribu-senjata ini, Anda harus menunggu hingga tahun 2010. Pasalnya, gambar asli ini hanya ditunjukkan sekali dalam 30 tahun dan penunjukkan yang terakhir adalah pada 1977.


Di bagian luar dari bangunan ini terdapat sebuah panggung tari atau yang disebut Butai. Panggung ini dibuat dari kayu-kayu perancah dari pohon zelkova yang menyangga panggung seluas 10 meter persegi di atas tebing setinggi 12 meter. Bangunan ini berada di titik tertinggi dalam kompleks. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan karena sejauh mata memandang kita akan dipuaskan oleh keindahan panorama sekitar tanpa halangan. Begitu tingginya tempat ini sehingga ada pepatah Jepang mengatakan ‘jumping of the Kiyomizu’ yang maknanya baru akan kita mengerti setelah kita berada di tempat ini. Betapa tidak, siapa pun orangnya dan apa pun alasannya, orang harus berpikir seribu kali sebelum melompat dari Butai. Inilah tempat favorit bagi para wisatawan untuk berfoto dan sangat popular menghiasi kartupos-kartupos dari Kyoto. Ke arah selatan Anda akan melihat Koyasu-no-to (pagoda utk memudahkan kelahiran), yang berisi gambar Koyasu Kannon. Pemandangan ini sangat indah difoto, terutama saat musim gugur ketika daun-daunan berwarna oranye dan merah.


Untuk mencapai kuil ini, kita harus berjalan di sepanjang jalan yang agak menanjak, yang di kiri-kanannya dipenuhi oleh toko-toko suvenir. Sesampainya di gerbang utama Kiyomizu-dera, hal pertama yang tampak di sisi kiri adalah kandang kuda kuno yang biasa digunakan oleh mereka yang datang untuk bersembahyang kepada Kannon. Dan, sebelum sampai ke kuil utama, Anda harus melewati Nio-mon atau Gerbang Raja-raja Dewa, yang melindungi kuil dari kejahatan. Raja Dewa di sebelah kanan mulutnya terbuka, seperti mengucap "A", bunyi pertama dari bahasa Sanskrit, sedangkan mulut yang lain tertutup seperti mengucap "UN", bunyi terakhir. Jadi, artinya para raja dewa mewakili ajaran Buddha secara komplet.


Setiap bangunan yang ada di kuil ini memiliki fungsi masing-masing. Kyodo misalnya, bangunan ini adalah tempat menyimpan naskah-naskah suci. Sementara, Kanisan-do merupakan bangunan tempat menyimpan gambar para pendiri kuil ini. Bangunan yang juga disebut Tamura-do ini dipindahkan dari Nagaoka ke Kiyomizu-dera pada akhir abad ke-8.


Ada hal yang menarik di kompleks ini, yakni di sisi bangunan Asakura-do terdapat telapak kaki Buddha. (Pada masa-masa awal buddhisme, untuk mengingat sang Buddha tidak ditunjukkan dengan gambar Buddha atau boddhisatva melainkan diwakili oleh gambar telapak kaki.) Menurut kepercayaan, jika seseorang melihat ke arah telapak kaki itu maka seluruh dosanya akan terampuni. Bila diamati lebih dekat pada telapak kaki itu akan terlihat sejumlah simbol termasuk sepasang ikan, hiasan bunga, dan kerang-kerangan. Ke arah tumit, samar-samar akan terlihat roda hukum kebenaran Buddha.


Bangunan yang juga cukup menarik adalah Amida-do, sebuah bangunan kecil yang memuat 180 patung-patung kecil Jizo (penjaga anak-anak). Menurut cerita rakyat, ini adalah tempat bersembahyang bagi orang tua yang kehilangan anaknya. Dengan bersembahyang di sini, mereka akan mendapatkan ketenangan batin dan bila ada di antara patung-patung kecil itu yang terlihat menyerupai wajah si anak, maka itu pertanda bahwa sang anak ada dalam kedamaian.


Kenikmatan berkunjung ke Kiyomizu-dera tak akan pernah terasa bila sebatas foto sana-sini lalu pergi. Sebab, banyak yang bisa kita lakukan untuk lebih menghayati kuil yang sangat fenomenal ini. Menyimak cerita-cerita menarik dari pemandu wisata (dan menggalinya lebih dalam), mengamati atau mengikuti para peziarah, hingga merasakan segarnya air Otowa-no-taki adalah kegiatan-kegiatan yang menyenangkan untuk kita lakukan. Karena, hanya dengan penghayatan secara totallah kita benar-benar bisa mengecap pesona Kiyomizu-dera seutuhnya.
Nara:
Kota Kecil dengan Patung Buddha Terbesar di Dunia


Oleh Ariobimo Nusantara


Kunjungan saya ke Nara atas undangan ACCU (Asia/Pacific Cultural Center for Unesco) yang berpusat di Tokyo, yang baru saja meresmikan kantor cabangnya yang baru di kota Nara. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan, mengingat bahwa kantor cabang ini akan lebih banyak berurusan dengan “tangible heritage” dari seluruh dunia, maka dipilihlah sebuah kota yang memiliki aset warisan sejarah dan budaya yang cukup lengkap, bukan saja yang tampak di permukaan tanah, tetapi juga yang masih berada di bawah permukaan tanah.


Kekayaan Nara bukan main-main, misalnya saja, "Monumen Buddhist di wilayah Horyu-ji" atau "Monumen Sejarah Kota Lama Nara" kini termasuk dalam daftar warisan dunia, yang dikenal luas sebagai “rumah spiritual” bagi masyarakat Jepang.

Ibarat sebuah laboratorium alam, Nara tak henti menjadi pusat penelitian sejarah budaya Jepang. Lihat saja, istana Nara yang pernah menjadi nadi kehidupan politik Jepang selama 74 tahun dari tahun 710 itu, saat ini baru berhasil diekskavasi 1/3 bagian dari total 120 hektar. Padahal, ekskavasi arkeologis itu telah dimulai sejak 1955. Meski demikian, kehati-hatian dan kecermatan para peneliti berhasil menyingkap bagaimana peran istana dan menelusur sistem administrasi dan birokrasi, perubahan-perubahan sejarah yang dialami, serta gaya hidup masyarakat di masa itu.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kota ini bisa begitu rapi dan awet menyimpan warisan sejarah mereka? Bisa jadi hal ini terkait dengan letak geografis Nara yang ibarat telor mata sapi, dikelilingi oleh barisan pegunungan, dengan Nara sebagai ‘kuning telornya’. Konon, letak geografis semacam inilah yang dulu juga melatari pertimbangan pemilihan kota ini sebagai ibu kota lawas Jepang. Secara alami, letak geografis Nara yang terlindung ini dinilai sangat membantu dalam bidang pertahanan dan keamanan kota.
"Pemandangan Kota Nara yang sama modernnya dengan kota-kota lain di Jepang,
meskipun tidak sesibuk Kyoto, apalagi Tokyo."

Bagi wisatawan yang punya minat dan ketertarikan dalam hal budaya, kunjungan ke Nara memang patut dimasukkan dalam rencana. Namun, bukan berarti lantas kota berpenduduk 300.000 jiwa ini boleh dilewatkan begitu saja. Sebab, bila ada niat, wisatawan bisa ‘menghabiskan’ kota ini dalam sehari saja. Dan, itu adalah pemandangan biasa di Nara: wisatawan asing berdatangan pada pagi hari (umumnya dari kota-kota di sekitar Nara) dan pulang pada sore harinya. Tetapi, kalau punya waktu berlebih, menginap semalam-dua malam di Nara juga tidak ada ruginya karena dengan demikian kita dapat mengenal Nara dengan lebih detail. Kunjungan ke berbagai objek wisata bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya ikut city tour, menyewa taksi, bus kota, atau bahkan berjalan kaki bagi mereka yang doyan jalan kaki.
Kota Pelajar
Selain sebagai kota budaya, Nara juga dikenal sebagai kota pelajar. Situasi kota ini memang sangat mendukung kegiatan belajar-mengajar. Nyaman dan tenang, apalagi boleh dibilang tidak ada kehidupan malam di kota ini. Inilah barangkali yang juga menjadi alasan mengapa para wisatawan memilih menjadi komuter untuk mengunjungi kota ini.

Periode Nara sebagai ibukota Jepang memang sangat pendek, dibandingkan dengan Kyoto yang menjadi ibu kota Jepang lebih dari satu milenium. Meski demikian, periode ini sangat penting karena pada masa-masa inilah Jepang mengadakan komunikasi aktif dengan negara-negara Asia Timur dengan mengembangkan sistem politik dan legal yang mirip dengan Negeri Cina. Perpindahan ibu kota ini berdampak pula pada kehidupan penduduk Nara. Sebab, begitu ibu kota dipindahkan ke Kyoto maka sebagian besar wilayah Nara lambat laun berubah menjadi areal persawahan. Kecuali sejumlah kuil yang tetap bercokol di Nara sehingga Nara dikenal sebagai kota kuil.
"Kijang bebas berkeliaran di halaman
kompleks Kuil Todai-ji tanpa takut akan disakiti oleh manusia."
Sebagai salah satu kota yang termasuk dalam “the most beautiful cities in the world” sekaligus sebagai kota antik seperti Athena dan Roma, Nara menjadi tempat persilangan budaya Timur dan Barat karena terletak pada “jalur sutra” (jalur perdagangan internasional dari Cina ke Mediterranian di masa pramodern). Mayoritas kuil Buddha yang ada di Nara mendapat pengaruh dari jazirah Korea atau juga dari Cina di abad ke-8 yang lantas mengalami proses perkembangan yang unik di Jepang. Bangunannya menyajikan budaya arsitektur kayu di abad ke-8 yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Jepang dengan Cina dan Korea.

Nara kini sudah menjadi kota modern. Meski demikian, di kota ini masih terpelihara bangunan-bangunan bersejarah yang berumur hingga 1300 tahun sehingga menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke kota ini. Suasana Nara terasa sangat nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk seperti layaknya di Kyoto, apalagi Tokyo. Namun, jangan lantas membayangkan Nara sebagai kota yang kumuh dan sederhana. Tertib masyarakat sebagai ciri masyarakat Jepang tetap terpelihara, demikian pula Nara tidak ditelantarkan dalam hal modernisasi kota.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Nara adalah tempat lahirnya budaya Jepang. Tak heran bila Nara mendapat status yang signifikan dalam keseluruhan budaya Jepang. Di antara bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Nara, delapan monumen telah ditetapkan sebagai bagian dari “The World Cultural Heritage”. Salah satunya adalah Kuil Todai-ji di mana di dalamnya terdapat patung Buddha yang terbesar di dunia.

Kuil Buddha Terbesar
Dua kuil yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah Kofuku-ji dan Todai-ji. Tak pelak, pembentukan kota pun berpusar pada dua kekuatan ini. Namun, kedua kuil besar ini akhirnya harus hancur saat terjadi peperangan antara klan Minamoto dan Taira (1180). Renovasi pun segera dilakukan dan itulah yang kita li
hat hingga saat ini—khususnya kuil Kofuku-ji. Sebab, sekali lagi, Todai-ji menjadi korban perang, terbakar (1567). Kembali, kuil ini mengalami renovasi, sayangnya ukurannya terpaksa mengecil menjadi hanya 2/3 dari aslinya.
Kompleks Todai-ji dibangun tahun 743, terdiri dari beberapa bangunan yang tersebar di dalam kompleks. Fungsinya antara lain sebagai tempat belajar, tempat memuja Buddha guna memohon kedamaian, tempat penyembuhan—semacam rumah sakit, tempat diskusi politik, ekonomi, dan hubungan internasional, serta sebagai tempat menyimpan kekayaan seni Buddhis. Katakanlah sebagai sebuah pusat budaya di Jepang.

Pada masa itu, agama Buddha memang berada pada puncak kejayaannya, dan menjadi agama negara. Peninggalan yang sangat terkenal dari kuil ini adalah Daibutsu, patung Buddha setinggi 15 meter! Pembuatan patung yang terbuat dari campuran tembaga (499 ton), merkuri (2.5 ton), timah (8,5 ton), dan emas (440 kg) ini konon mengerahkan kurang lebih 3 juta orang.

"Patung Buddha terbesar di dunia dalam Kuil Todai-ji."
Bisa kita bayangkan, bila patungnya sendiri sebesar itu, berapa besar gedung yang memuatnya. Daibutsu-den, demikian nama gedung itu, tingginya 47 meter dan seluruhnya terbuat dari kayu. Inilah bangunan kayu terbesar di seluruh muka bumi. Dari luar gedung itu tampak seolah berlantai dua, yakni dengan adanya dua atap bersusun. Namun, sesungguhnya itu hanyalah perhitungan arsitektur yang cermat untuk membagi beban atap gedung yang sangat besar itu. Bukan hanya itu, penempatan sejumlah pilar besar yang menyangganya juga sangat unik. Tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi berada pada semacam tatakan semen. Semua kecermatan arsitektural itu rupanya untuk mengantisipasi bila terjadi gempa bumi. Bangunan ini dikerjakan selama lima tahun dan selesai dibangun pada 752, dengan ukuran tinggi 47 meter, panjang 51 meter, dan lebar 88 meter. Kayu-kayunya kebanyakan didatangkan dari daerah sekitar Nara, Shiga, Hyogo, dan Mie, dan memanfaatkan aliran sungai Kinki.

Memang, bukan berarti lalu kuil ini terhindar dari bencana gempa bumi. Dalam catatan sejarah, karena gempa bumi, kepala patung itu jatuh dan rusak parah sehingga harus mengalami renovasi. Tetapi, tragedi yang justru meluluhlantakkan bangunan bersejarah ini datang dari manusia sendiri: perang antarklan di pertengahan abad ke-16 yang mengakibatkan kompleks kuil itu terbakar (1180 & 1567), kecuali gedung Sangatsu-do dan gerbang Tegai-mon. dengan terbakarnya Daibutsu-den maka patung Buddha Rushana atau Vairocana itu kehilangan “rumah” lebih dari satu abad! Daibutsu-den baru dibangun kembali pada 1692. Dan bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini adalah hasil dari renovasi tahun 1709.

Kompleks kuil Todai-ji juga dilengkapi dengan sebuah taman yang luas. Menariknya, selain dirindangi oleh pepohonan dan bunga-bunga, taman ini juga “dihiasi” oleh kawanan rusa yang hidup bebas. Pengunjung dapat berfoto dan bercengkerama dengan rusa-rusa ini, apalagi kalau pengunjung membawa kue-kue kesukaan rusa.

Shuni-e atau Omizutori
Bila kita berkesempatan mengunjungi kuil Todai-ji di bulan Maret, itu bertepatan dengan sebuah acara khas Todai-ji: upacara Shunie atau Omizutori. Memang, kita tidak bisa terlibat atau melihat langsung upacara tersebut karena ini merupakan upacara intern kuil. Wisatawan hanya bisa menikmati upacara ini pada malam hari—itupun dari luar—yakni saat obor-obor kuil dinyalakan.

"Tiang-tiang Kuil Todai-ji tidak ditanam, melainkan hanya diletakkan di atas tatakan semen."
Upacara Shuni-e dimulai sejak tahun 752 dan berlangsung di gedung Nigatsudo. Pada awalnya, upacara ini dilangsungkan pada bulan Februari (Shuni-e = upacara bulan kedua). Namun, bersamaan dengan dipakainya sistem kalender matahari maka upacara ini kini berlangsung mulai dari tanggal 1-14 Maret. Inti dari ritual yang juga populer dengan nama Omizutori ini (Omizutori = mengambil air suci) adalah pengambilan air suci dari sumur Wakasa pada jam 02.00 dini hari tanggal 13 Maret. Air suci ini lalu dibagikan kepada pengunjung dan juga dipersembahkan kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas di Nigatsudo. Lalu, airu itu dituangkan ke dalam dua wadah: satu berisi air dari upacara tahun lalu, satu lagi wadah yang berisi air dari ritual sepanjang 1200 tahun!

Maksud dari upacara ini adalah untuk kemurnian hidup manusia di muka bumi ini dengan bersembahyang kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia. Antara lain, mereka berdoa untuk korban bencana alam, perang, kelaparan, dan perwujudan perdamaian dunia. Upacara ini dilakukan oleh sebelas pendeta-Buddha (Rengyoshu) yang selama dua minggu mereka membaca sutra enam kali sehari. Inilah ritual yang paling terkenal di Jepang sejak abad ke-8 dan tidak pernah absen dilangsungkan hingga tahun ini, termasuk ketika Perang Dunia dan kekacauan pasca Perang Dunia II.

Sebagai puncak dari ritual ini adalah pesta obor yang sangat indah, yang populer dengan sebutan Otaimatsu. Sebelas keranjang obor yang sudah dipersiapkan dibawa oleh kesebelas Rengyoshu ke balkon Nigatsudo, lalu diayun-ayunkan di depan pengunjung. Tak salah bila ritual ini disebut-sebut sebagai ritual air dan api yang sangat agung. Dan, seolah melengkapi keagungan dari ritual ini, berakhirnya upacara Omizutori menandai berakhirnya musim dingin di Jepang dan awal dari musim semi yang cantik.
* (telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 27 Juli 2003)

FRANKFURT BOOK FAIR 2006:
Sebuah Ziarah Perbukuan Dunia

oleh Ariobimo Nusantara




Setiap memasuki bulan Oktober, mata dunia perbukuan internasional tertuju pada suatu agenda prestisius, Frankfurt Book Fair (FBF), sebuah pameran buku terakbar di muka bumi ini. Tahun 2006, Frankfurt Book Fair memasuki usianya yang kelima puluh delapan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selama penyelenggaraan pameran (4 – 8 Oktober), Frankfurt ibarat sebuah kota ziarah bagi para profesional perbukuan dari seluruh penjuru dunia, tanpa memandang perbedaan ras, bangsa, agama, budaya, dan sosial-politik. Semuanya seolah lebur dalam sebuah keriaan yang sama: buku.


Bagi masyarakat Frankfurt sendiri, FBF sudah menjelma menjadi sebuah peristiwa budaya yang disikapi secara sinergis oleh hampir seluruh elemen masyarakat. Hal ini menjadi bukti bahwa antara pemerintah dan rakyatnya ada kesamaan komitmen dalam menyikapi perhelatan perbukuan internasional ini. Tak jadi soal apakah itu dengan merelakan tempat usahanya ditempeli poster dan agenda pameran, ataukah –bagi para mahasiswa—menjadi volunteer dalam kepanitiaan (termasuk menjadi penjaga karcis, penjaga pintu, atau sopir bus “wira-wiri” di area pameran). Sistem sarana transportasi publik pun menggratiskan ongkos transpor ke dan dari arena pameran. Dan, tentu saja yang paling menarik adalah partisipasi aktif masyarakat saat kesempatan untuk publik dibuka pada dua hari terakhir pameran. Selain memadati ruang-ruang pameran, para remaja Frankfurt juga bersemangat dalam mengikuti kompetisi ‘Big-in-Japan Cosplay’ yang berhadiah seminggu berlibur di Jepang. Atas partisipasi tersebut, panitia menggratiskan biaya masuk bagi mereka yang berpakaian ala tokoh-tokoh komik Jepang (manga) itu.

Tema Pendidikan
Sebagaimana ditradisikan, setiap tahun panitia selalu mengangkat tema utama. Tahun ini tema yang diangkat bertajuk “Pendidikan untuk Masa Depan”. Tema ini sangat menarik karena berangkat dari kesadaran bahwa “Pengembangan sektor pendidikan akan menentukan masa depan individu, masyarakat, dan khususnya adalah dunia penerbitan,” tegas Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, saat membuka pameran. “Dan, mulai tahun ini pula, Frankfurt Book Fair akan fokus pada tema pendidikan dan literasi, sebab masyarakat yang melek baca akan mendukung pertumbuhan bisnis perbukuan di samping meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri,” lanjutnya.

Sejalan dengan tema tersebut, menurut catatan panitia, ada sekitar 1.300 stan yang secara khusus memamerkan produk-produk yang terkait dengan dunia pendidikan. Mulai dari buku pelajaran atau buku teks, buku pengayaan atau pendukung pendidikan, hingga beragam judul referensi bagi dunia pendidikan—termasuk tren model pengajaran masa depan: materi pelajaran yang disajikan secara multimedia.

Sebagai pendukung tema, digelar pula sejumlah seminar/workshop, termasuk kongres guru yang pertama yang membahas peran sekolah dalam meggalakkan program melek baca bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan kampanye melek baca (LitCam: Literacy Campaign)—yang kali ini secara penuh didukung oleh UNESCO. “’Pendidikan untuk Semua’ adalah prioritas bagi UNESCO, mengingat tingkat melek baca masyarakat dunia yang masih belum menggembirakan,” siar UNESCO Institute for Lifelong Learning. Dalam catatan mereka, hingga saat ini lebih dari 770 juta orang di dunia masih belum melek baca. Inilah yang harus diperangi oleh dunia perbukuan secara menyeluruh. Sebab, UNESCO sudah menyatakan bahwa melek baca adalah hak setiap orang dan kunci bagi pengembangan diri manusia.

Secara umum, data statistik pameran kali ini menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kali ini, peserta pameran sekitar 7.272 stan, berasal dari 113 negara, dengan total judul yang dipamerkan kurang lebih 382.466 judul: terdiri dari 270.553 backlist (judul lama) dan 111.913 judul baru! Pertumbuhan yang cukup tajam khususnya terjadi pada sektor rights agent (bank naskah), yang tahun ini jumlahnya ada 283 agen. Peningkatan jumlah agen naskah ini patut dicermati sebagai tren yang akan terus berkembang di masa depan. Dari tahun ke tahun jumlah penerbit yang menyerahkan pengelolaan hak ciptanya kepada agen menunjukkan pertumbuhan positif. Hingga akhir pameran, total jumlah pengunjung mencapai sekitar 286.000 orang, terpaut sedikit dibanding jumlah pengunjung tahun lalu yang tercatat 284.838 orang. (diolah dari: Presse & Unternehmenskommunikation)

India: Guest of Honour 2006



"Sebagian profil pengarang India yang karyanya ditampilkan dalam pameran. "



Menjadi Guest of Honour (tamu kehormatan) bagi India bukanlah pengalaman baru, sebab pada 1986 India pernah menjadi tamu kehormatan. Tahun ini India hadir dengan mengangkat motto “Today’s India” dengan menampilkan sejumlah program budaya, antara lain sastra, musik, tarian, dan film. Lebih dari 150 penerbit ambil bagian dalam pameran (jumlah ini tentu sangat kecil dibanding estimasi jumlah penerbit di India yang mencapai 16.000 penerbit) dan sekitar 70 pengarang India ikut menyemarakkan acara dalam pelbagai diskusi. Nama-nama seperti Amitabh Gosh, Mahashweta Devi, Amit Chaudhuri, Vikram Seth, Arundhati Roy, Vinod Kumar Shukla, Kunwar Narayin, G.P. Deshpande, Shaharyar, Javed Akhatr, dan K. Jayakantan adalah sedikit di antara pengarang India yang telah go international.


"Sebagian karya Guest of Honour dapat
dinikmati secara audible."
Di bawah koordinasi National Book Trust, India menampilkan sekitar 2000 hasil karya pengarang India, termasuk di antaranya karya-karya yang ditulis setelah India merdeka dari Inggris pada 1947. Tentu saja tak ketinggalan, sejumlah produksi Bollywood ikut unjuk diri menyemarakkan pameran ’kebangkitan India’ ini.


India memang pantas menjadi tamu kehormatan (lagi) pada acara ini. Dalam sebuah situs resmi perbukuan India dikatakan bahwa industri perbukuan India memang penuh keunikan, barangkali ia menjadi satu-satunya negara di dunia ini yang menerbitkan buku dalam 24 bahasa lokal, di samping bahasa Inggris. Dengan populasi yang lebih dari satu miliar penduduk dan sekitar 77.000 judul baru terbit setiap tahun (sekitar 40%-nya atau 20.000-an judul menggunakan bahasa Inggris) India bukan hanya menjadi “raksasa budaya” tetapi juga akan berkembang menjadi pasar buku dan media yang cukup menjanjikan. Banyaknya terbitan dalam bahasa Inggris ini akhirnya menempatkan India ke dalam peringkat ketiga negara-negara yang memiliki terbitan dalam bahasa Inggris terbanyak (setelah Amerika dan Inggris).


Pesatnya pertumbuhan penerbitan buku di India juga berkat dukungan dunia internasional yang turut menjadi konsumen produksi buku India, khususnya dalam bidang filsafat, agama, yoga, budaya, sejarah, dan sastra. Bahkan tak jarang buku-buku perguruan tinggi India juga diserap oleh negara-negara berkembang. Bagi India, buku sudah menjadi komoditas ekspor yang mencapai 4.3 juta rupees per tahun. Dan, jumlah ini tampaknya akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang mengingat sales yang dicapai oleh India dalam pameran kali ini pun meningkat tajam.


Naringer Singh Randhawa, salah seorang direktur National Book Trust, lembaga yang menjadi koordinator delegasi, mengatakan bahwa di dalam delegasinya ia juga menyertakan sejumlah penerbit baru yang sama sekali belum pernah berurusan dengan dunia internasional. Mereka boleh disebut penerbit skala kecil dan menengah, namun mereka adalah calon pebisnis di masa depan. Sebab, keikutsertaan mereka kali ini lebih ditekankan pada aspek belajar ‘bisnis internasional’ dari para seniornya sekaligus mengenal perkembangan dunia penerbitan internasional. “Kami tidak bisa menutup diri terhadap perubahan dunia yang begitu pesat, termasuk perkembangan kualitas yang dihasilkan oleh negara lain,” tegas Randhawa.

Ziarah Perbukuan
Mengunjungi Frankfurt Book Fair, tampaknya memang bukan sekadar memasuki suatu ‘pesta buku’ melainkan lebih tepat disebut sebagai melakukan suatu ‘ziarah buku’. Mengapa demikian? Di zaman yang serba digital ini, komunikasi bisnis tak lagi mengenal batas-batas ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, kalau perlu, kesepakatan bisnis sudah bisa dicapai melalui teknologi Internet. Pun, memindai judul-judul untuk dialihbahasakan juga lebih nyaman dilakukan lewat berselancar di dunia maya. Yang penting mata dan telinga cukup jeli dalam menangkap kecenderungan pasar.


Bila demikian, apa manfaat secara langsung dari mengunjungi FBF? Ada yang mengatakan bahwa inilah sisi humanis dari bisnis. FBF menjadi ajang perjumpaan pribadi antarpenerbit untuk membina hubungan baik dan kedekatan, yang akan sangat berpengaruh dalam kelangsungan bisnis itu sendiri. “Sekali lagi, pameran buku terbesar di dunia ini telah menunjukkan betapa sangat diperlukannya pameran ini bagi penerbit, penjual, pengarang, dan pembaca untuk bertemu secara personal. Mereka tetap memerlukan forum internasional yang dapat memberi dampak secara global,” tegas Dr. Gottfried Honnefelder, President of the German Publishers & Booksellers Association - Börsenverein.


Dengan kata lain, mengunjungi FBF tak melulu harus berujung pada jual/beli hak cipta. Atmosfer FBF juga bisa dimanfaatkan oleh penerbit untuk berbenah dan meneguhkan diri. Bahkan bukan tak mungkin FBF berpotensi untuk mengubah visi, mimpi, hingga strategi bisnis pengunjungnya—terutama para profesional perbukuan. Bayangkan saja, bila penerbit amatir India yang hadir tahun ini diramalkan akan menjadi pebisnis internasional beberapa tahun ke depan, di manakah penerbit-penerbit terkemuka Indonesia pada saat yang sama? Bagaimanakah kita akan menyikapi fenomena ini? Mungkinkah pada periode yang sama penerbit kita telah melangkah lebih pesat dibanding penerbit amatir India tersebut, ataukah justru menjadi pasar bagi penerbit amatir India ini?


Sampai di sini kita belum bicara tentang mimpi menjadi Guest of Honour. Dalam sebuah obrolan singkat dengan Warran Holger, seorang pengajar dari Goethe University yang setia mengunjungi dan mengamati Frankfurt Book Fair, kami berhitung mengenai modal apa saja yang diperlukan untuk meraih mimpi itu. Modal minimal tentu saja berupa rapor perbukuan nasional: berapa banyak judul lokal yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing, atau berapa besar peta kekuatan judul lokal yang berpotensi mengglobal. Tentu saja, peranserta pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya bisnis perbukuan di Tanah Air juga akan menjadi catatan tersendiri.


"Produk lokal tak kalah menarik dengan produk
luar."

Oleh karena itu, menurut Holger, jika pun kesempatan itu ada, Indonesia harus bersaing dengan Malaysia yang sudah sejak beberapa tahun siap untuk menjadi Guest of Honour. Sejak beberapa tahun terakhir, Malaysia memang amat bersemangat mendekati penyelenggara Frankfurt Book Fair agar peristiwa besar di Jerman itu bertemakan karya-karya buku berbahasa Melayu. Bahkan secara konsisten Malaysia tak pernah absen mengutus wakil-wakilnya. Sebagai catatan, bila pada 2004 Indonesia diwakili oleh lima stan, Malaysia sudah mensponsori sepuluh stan. Satu-satunya wajah Indonesia hanya diwakili oleh stan GagasMedia—itu pun sebagai stan undangan khusus.

Masih ada cara untuk mewujudkan mimpi ini, hibur Holger, Indonesia (dan mungkin juga Brunei Darussalam dan Singapura) bukannya bersaing dengan Malaysia, melainkan justru mendukung upaya yang tengah dirintis Malaysia—menjadi sebuah desakan kepada panitia, bukan atas nama suatu negara, melainkan atas nama karya-karya berbahasa Melayu/Indonesia.


Dengan langkah ini, bukan tak mungkin panitia Frankfurt Book Fair akan tergerak untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, sebuah misi diplomasi kebudayaan—khususnya dalam bidang perbukuan—harus mulai dijajagi di tingkat reginoal dan internasional. Kesempatan terdekat adalah pameran tahun 2009 atau 2010, mengingat panitia telah menetapkan tamu kehormatan tahun 2007 (Budaya Catalan) dan 2008 (Turki).


Di tataran riil, catatan ini barangkali bisa menjadi bahan refleksi bagi penerbit Indonesia, di tengah fenomena ‘diskon gede-gedean, cuci gudang, dan jual buku murah’ yang semakin menggejala di kalangan penerbit Indonesia. Ke manakah penerbitan buku di Indonesia akan dibawa melangkah?



"Penerbit kelas dunia berlomba menyediakan tempat yang nyaman
untuk transaksi bisnis."

ANNECY YANG SEKSI:
Sisi Lain Romantisisme Prancis

oleh Ariobimo Nusantara

Annecy? Bisa tolong spelling-nya?” begitulah kurang lebih pertanyaan yang saya dapatkan ketika hendak mengurus perjalanan ke sana. Bahkan, ketika melaporkan keberangkatan saya di counter check-in di Frankfurt, saya mendapat pertanyaan yang kurang lebih sama.
“Annecy? Have you been there before?” Ketika saya jawab ‘belum pernah’ dan balas bertanya ‘ya, kenapa?’ Dengan senyum ramah kurang lebih ia mengatakan bahwa ‘tidak banyak orang (asing) yang berkunjung ke sana, tapi Anda pasti akan menyukainya.’ Boleh jadi, dalam hatinya ia bertanya, mengapa saya tidak memilih mengunjungi Paris atau kota-kota besar lainnya di Prancis.
Airport terdekat dengan Annecy adalah bandara Lyon. Penerbangan Frankfurt-Lyon memerlukan waktu sekitar satu jam. Benar juga kata petugas ground crew tadi, sepesawat tak banyak orang asing (apalagi dari Asia seperti saya) yang berkunjung ke Annecy. Situasi ini setidaknya mulai memengaruhi benak saya yang semakin penasaran, seperti apakah kota Annecy itu? Tapi, rasa penasaran itu masih harus saya simpan mengingat perjalanan dari bandara Lyon ke Annecy, kurang lebih memerlukan waktu 2 jam melalui jalan tol (tentu waktunya akan lebih singkat bila ditempuh dengan kereta api, langsung dari bandara ke stasiun kereta di Annecy). Maklum, jarak kota ini dari kota Lyon adalah 133 km, sedangkan bila ditempuh dari Paris jaraknya bisa mencapai 545 km. Namun, bila ditempuh dari Jenewa, kota ini justru hanya berjarak 43 km!
Hal ini tidak mengherankan karena kota kecil di Prancis tenggara ini lokasinya cukup strategis, berbatasan langsung dengan Italia dan Swiss (Jenewa). Dengan demikian, bagi mereka yang gemar melancong, Annecy bisa menjadi tempat persinggahan yang mengasyikkan sebelum melakukan perjalanan ke kawasan pegunungan Alpen di Eropa, yang panjangnya 1.100 kilometer itu, yang dimulai dari tepian Mediterranian, antara Prancis dan Italia. Puncak-puncaknya yang runcing tertutup salju, diselingi oleh hamparan lembah hijau di kaki perbukitan, menjadikan Alpen sebuah rangkaian pegunungan yang memiliki pesona tersendiri. Dari Annecy, wilayah pegunungan ini bisa dicapai dalam waktu satu jam berkendara mobil pribadi.

Meski demikian, Annecy juga bukan kota yang terpencil dari pergaulan internasional. Setidaknya dua kali dalam setahun kota ini menjadi pusat perhatian dunia film karena menjadi tuan rumah Annecy International Animated Film Festival (Festival du film d’animation) setiap bulan Juni dan Annecy Italian Film Festival (Festival du film Italien d’Annecy) setiap bulan Oktober. Bahkan setiap akhir bulan Maret kota ini juga menjadi tuan rumah biennal Spannish Film Festival.



“Venice of Savoie”

"Dasar Danau Annecy yang tampak jelas dari permukaan air."

Barangkali tidaklah berlebihan bila Annecy kita sebut sebagai kota budaya karena di kota ini kita juga masih bisa menyaksikan saksi sejarah cikal bakal kota Annecy, dikenal dengan sebutan area Annecy Tua. Terletak di sebelah utara dari sebuah danau alam yang cukup luas (+ 27 km2), yang dikelilingi oleh gunung-gunung Semnoz, Mont Veyrier, Dents de Lanfon, dan Tournette. Tak ayal, danau alam terbesar kedua di Prancis ini menjadi simbol bagi kota itu. Selain luas, danau Annecy juga terkenal sangat jernih—seolah kita sedang berada di sebuah kolam renang raksasa. Kawasan danau Annecy ditata menjadi semacam taman kota yang sangat asri dan romantis—tempat olahraga, rekreasi, dan interaksi bagi masyarakat umum.


"Ruang publik di sekitar
danau."

Satu hal yang patut dicatat dari ruang publik ini adalah kebersihan dan kenyamanan yang sangat dijaga sehingga membuat betah siapa pun yang berada di sana. Di tempat ini pula kita akan menjumpai Pont des Armours à Annecy atau Jembatan Cinta, sebuah jembatan klasik yang berada di samping danau, di atas kanal "le Thiou" yang menyeberang menuju Annecy pusat. Berdiri di atasnya kita akan mencecap segarnya udara, jernihnya air danau, dan berpasang angsa yang berenang-renang di air danau. Sungguh romantis dan sesuai dengan namanya. Konon, mereka yang sedang berpacaran, bila berciuman di jembatan ini, hidupnya akan bahagia. Entah sudah berapa banyak jembatan ini menjadi saksi bisu pasangan-pasangan yang sedang jatuh cinta.

Menyusur danau ini ke arah utara, akan membawa kita ke “patisari” dari kota Annecy, yakni kota Annecy tua (semacam kawasan Kota Lama Jakarta atau Kotagede di Yogyakarta) yang dikenal dengan sebutan Haute Savoie.


"Pemandangan dari atas
jembatan le pont des
armours. "

Sungguh mengagumkan, di sana kita bisa menemui bangunan-bangunan abad ke-12, pasar tradisional, serta sejumlah tempat penunjang wisata. Tapi tentu yang sangat menarik adalah adanya kanal yang membelah kota tua itu, yang konon pernah berfungsi sebagai prasarana transportasi. Itu sebabnya, Annecy juga mendapat julukan sebagai “Venice of Savoie” atau Venisia dari Savoie—mengingatkan kota kanal Venisia di Italia. Menariknya, meski sudah tidak aktif digunakan lagi, kanal tua ini tetap terpelihara kebersihannya. Tak terlihat sedikit pun sampah dibuang ke dalamnya, meski di kanan kiri kanal itu kini banyak berdiri kafe, restoran, bahkan pasar tradisional yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari.



"Keindahan Venice of Savoie dengan kafe teras di kanan-kiri dan latar belakang pasar tradisional."


Menjelajah pusat kota lama yang sarat dengan peninggalan bangunan bersejarah ini tak cukup sekali. Menyusuri jalanan sempit yang dipagari oleh gedung peninggalan abad pertengahan ini menghadirkan suasana romansa tersendiri. Suasana abad pertengahan dan kehidupan modern tampak menyatu dengan hadirnya kafe-kafe masa kini. Duduk berlama-lama menikmati secangkir kopi hangat dengan camilan "les roseaux du lac" (tongkat bambu kecil dari coklat)—pastry khas Annecy—di tempat ini tidak akan pernah terasa membosankan. Keramahan orang Prancis dan aroma pastry yang menggoda selera menjadi bumbu penyedap selama berada di kota tua ini. Atau, bila ingin sekadar melemaskan kaki, berjalan menyusuri pasar tradisional juga menjadi alternatif yang sangat dianjurkan. Boleh jadi inilah pasar tradisional dengan pengunjung internasional.



"Palais de L'Isle yang berdiri dingin."
Kota Annecy tua ini menjadi salah satu objek wisata yang digemari baik oleh wisatawan lokal maupun internasional. Di antara beragam bangunan tua yang masih eksis, ada satu bangunan yang langsung mencuri perhatian karena berdiri dingin-kokoh di tengah kanal; itulah Palais d L’Isle. Semula bangunan ini adalah rumah penguasa Annecy di abad ke-12, yang kemudian berubah fungsi menjadi gedung administratif kota, dan terakhir pada abad pertengahan hingga tahun 1865 disulap menjadi sebuah penjara. Bisa dibayangkan, bagaimana bangunan yang kini menjadi objek turisme ini, pada masanya pernah menjadi bangunan yang sangat menakutkan di mata masyarakat setempat.

Bicara tentang keindahan arsitektur bangunan di area ini tentu tak akan ada habisnya. Bekas kota lama ini memelihara dengan baik keutuhan bangunan-bangunan arkhaik berusia ratusan tahun, meski sebagian peruntukannya sudah berubah menjadi bangunan komersial, ada yang menjadi kafe atau restoran, ada pula yang beralih fungsi sebagai toko cinderamata. Toh demikian pemerintah atau pun pemiliknya tak sedikit pun tergiur untuk lalu merombak, menghancurkan bangunan-bangunan tua itu, demi alasan komersialisasi wisata.

Demikian pula sejumlah gereja yang berdiri di wilayah ini tetap berfungsi sebagai tempat peribadatan. Benar, di situs ini berdiri sejumlah gereja, uniknya ada yang letaknya saling sebelah-menyebelah. Ada gereja Notre Dame de Liesse; Katedral St. Pierre yang dibangun pada abad ke-16 dan kaya akan karya seni baroque dari abad ke-19; gereja St. Maurice yang terkenal dengan bangunan gaya gothic-nya serta lukisan-lukisan klasik dari abad 15 dan 16; dan gereja St. François. Uniknya, keempat gereja yang saling berdekatan itu masih aktif digunakan hingga kini. Selayaknya gereja-gereja kuno, kesan adem dan tenteram langsung menyapa kita begitu menginjakkan kaki di pintu masuknya.

Bangunan yang juga tidak boleh dilewatkan adalah Chateau d’Annecy yang kini menjadi museum yang menyimpan banyak cerita tentang sejarah Annecy dan sekitarnya. Letaknya yang berada di atas pegunungan Semnoz menjadikannya tempat yang sempurna sebagai sebuah museum sejarah kota karena dari tempat ini kita bisa memandang seisi kota berikut danau Annecy yang cantik itu—ibarat mengamati sebuah maket raksasa yang alami.

Annecy boleh dibilang perpaduan dari birunya danau, hijaunya pegunungan, dan arkhaiknya bangunan-bangunan abad pertengahan. Sebuah perpaduan yang menjadikan kota ini menyajikan sisi lain romantisme Prancis. Semuanya menyatu dengan sangat alami dan sempurna, tanpa kesan adanya rekayasa lansekap yang dipaksakan untuk menjadikannya tempat wisata kelas dunia.

* (telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 6 April 2008)