Saturday, June 28, 2008

Nara:
Kota Kecil dengan Patung Buddha Terbesar di Dunia


Oleh Ariobimo Nusantara


Kunjungan saya ke Nara atas undangan ACCU (Asia/Pacific Cultural Center for Unesco) yang berpusat di Tokyo, yang baru saja meresmikan kantor cabangnya yang baru di kota Nara. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan, mengingat bahwa kantor cabang ini akan lebih banyak berurusan dengan “tangible heritage” dari seluruh dunia, maka dipilihlah sebuah kota yang memiliki aset warisan sejarah dan budaya yang cukup lengkap, bukan saja yang tampak di permukaan tanah, tetapi juga yang masih berada di bawah permukaan tanah.


Kekayaan Nara bukan main-main, misalnya saja, "Monumen Buddhist di wilayah Horyu-ji" atau "Monumen Sejarah Kota Lama Nara" kini termasuk dalam daftar warisan dunia, yang dikenal luas sebagai “rumah spiritual” bagi masyarakat Jepang.

Ibarat sebuah laboratorium alam, Nara tak henti menjadi pusat penelitian sejarah budaya Jepang. Lihat saja, istana Nara yang pernah menjadi nadi kehidupan politik Jepang selama 74 tahun dari tahun 710 itu, saat ini baru berhasil diekskavasi 1/3 bagian dari total 120 hektar. Padahal, ekskavasi arkeologis itu telah dimulai sejak 1955. Meski demikian, kehati-hatian dan kecermatan para peneliti berhasil menyingkap bagaimana peran istana dan menelusur sistem administrasi dan birokrasi, perubahan-perubahan sejarah yang dialami, serta gaya hidup masyarakat di masa itu.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kota ini bisa begitu rapi dan awet menyimpan warisan sejarah mereka? Bisa jadi hal ini terkait dengan letak geografis Nara yang ibarat telor mata sapi, dikelilingi oleh barisan pegunungan, dengan Nara sebagai ‘kuning telornya’. Konon, letak geografis semacam inilah yang dulu juga melatari pertimbangan pemilihan kota ini sebagai ibu kota lawas Jepang. Secara alami, letak geografis Nara yang terlindung ini dinilai sangat membantu dalam bidang pertahanan dan keamanan kota.
"Pemandangan Kota Nara yang sama modernnya dengan kota-kota lain di Jepang,
meskipun tidak sesibuk Kyoto, apalagi Tokyo."

Bagi wisatawan yang punya minat dan ketertarikan dalam hal budaya, kunjungan ke Nara memang patut dimasukkan dalam rencana. Namun, bukan berarti lantas kota berpenduduk 300.000 jiwa ini boleh dilewatkan begitu saja. Sebab, bila ada niat, wisatawan bisa ‘menghabiskan’ kota ini dalam sehari saja. Dan, itu adalah pemandangan biasa di Nara: wisatawan asing berdatangan pada pagi hari (umumnya dari kota-kota di sekitar Nara) dan pulang pada sore harinya. Tetapi, kalau punya waktu berlebih, menginap semalam-dua malam di Nara juga tidak ada ruginya karena dengan demikian kita dapat mengenal Nara dengan lebih detail. Kunjungan ke berbagai objek wisata bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya ikut city tour, menyewa taksi, bus kota, atau bahkan berjalan kaki bagi mereka yang doyan jalan kaki.
Kota Pelajar
Selain sebagai kota budaya, Nara juga dikenal sebagai kota pelajar. Situasi kota ini memang sangat mendukung kegiatan belajar-mengajar. Nyaman dan tenang, apalagi boleh dibilang tidak ada kehidupan malam di kota ini. Inilah barangkali yang juga menjadi alasan mengapa para wisatawan memilih menjadi komuter untuk mengunjungi kota ini.

Periode Nara sebagai ibukota Jepang memang sangat pendek, dibandingkan dengan Kyoto yang menjadi ibu kota Jepang lebih dari satu milenium. Meski demikian, periode ini sangat penting karena pada masa-masa inilah Jepang mengadakan komunikasi aktif dengan negara-negara Asia Timur dengan mengembangkan sistem politik dan legal yang mirip dengan Negeri Cina. Perpindahan ibu kota ini berdampak pula pada kehidupan penduduk Nara. Sebab, begitu ibu kota dipindahkan ke Kyoto maka sebagian besar wilayah Nara lambat laun berubah menjadi areal persawahan. Kecuali sejumlah kuil yang tetap bercokol di Nara sehingga Nara dikenal sebagai kota kuil.
"Kijang bebas berkeliaran di halaman
kompleks Kuil Todai-ji tanpa takut akan disakiti oleh manusia."
Sebagai salah satu kota yang termasuk dalam “the most beautiful cities in the world” sekaligus sebagai kota antik seperti Athena dan Roma, Nara menjadi tempat persilangan budaya Timur dan Barat karena terletak pada “jalur sutra” (jalur perdagangan internasional dari Cina ke Mediterranian di masa pramodern). Mayoritas kuil Buddha yang ada di Nara mendapat pengaruh dari jazirah Korea atau juga dari Cina di abad ke-8 yang lantas mengalami proses perkembangan yang unik di Jepang. Bangunannya menyajikan budaya arsitektur kayu di abad ke-8 yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Jepang dengan Cina dan Korea.

Nara kini sudah menjadi kota modern. Meski demikian, di kota ini masih terpelihara bangunan-bangunan bersejarah yang berumur hingga 1300 tahun sehingga menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke kota ini. Suasana Nara terasa sangat nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk seperti layaknya di Kyoto, apalagi Tokyo. Namun, jangan lantas membayangkan Nara sebagai kota yang kumuh dan sederhana. Tertib masyarakat sebagai ciri masyarakat Jepang tetap terpelihara, demikian pula Nara tidak ditelantarkan dalam hal modernisasi kota.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Nara adalah tempat lahirnya budaya Jepang. Tak heran bila Nara mendapat status yang signifikan dalam keseluruhan budaya Jepang. Di antara bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Nara, delapan monumen telah ditetapkan sebagai bagian dari “The World Cultural Heritage”. Salah satunya adalah Kuil Todai-ji di mana di dalamnya terdapat patung Buddha yang terbesar di dunia.

Kuil Buddha Terbesar
Dua kuil yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah Kofuku-ji dan Todai-ji. Tak pelak, pembentukan kota pun berpusar pada dua kekuatan ini. Namun, kedua kuil besar ini akhirnya harus hancur saat terjadi peperangan antara klan Minamoto dan Taira (1180). Renovasi pun segera dilakukan dan itulah yang kita li
hat hingga saat ini—khususnya kuil Kofuku-ji. Sebab, sekali lagi, Todai-ji menjadi korban perang, terbakar (1567). Kembali, kuil ini mengalami renovasi, sayangnya ukurannya terpaksa mengecil menjadi hanya 2/3 dari aslinya.
Kompleks Todai-ji dibangun tahun 743, terdiri dari beberapa bangunan yang tersebar di dalam kompleks. Fungsinya antara lain sebagai tempat belajar, tempat memuja Buddha guna memohon kedamaian, tempat penyembuhan—semacam rumah sakit, tempat diskusi politik, ekonomi, dan hubungan internasional, serta sebagai tempat menyimpan kekayaan seni Buddhis. Katakanlah sebagai sebuah pusat budaya di Jepang.

Pada masa itu, agama Buddha memang berada pada puncak kejayaannya, dan menjadi agama negara. Peninggalan yang sangat terkenal dari kuil ini adalah Daibutsu, patung Buddha setinggi 15 meter! Pembuatan patung yang terbuat dari campuran tembaga (499 ton), merkuri (2.5 ton), timah (8,5 ton), dan emas (440 kg) ini konon mengerahkan kurang lebih 3 juta orang.

"Patung Buddha terbesar di dunia dalam Kuil Todai-ji."
Bisa kita bayangkan, bila patungnya sendiri sebesar itu, berapa besar gedung yang memuatnya. Daibutsu-den, demikian nama gedung itu, tingginya 47 meter dan seluruhnya terbuat dari kayu. Inilah bangunan kayu terbesar di seluruh muka bumi. Dari luar gedung itu tampak seolah berlantai dua, yakni dengan adanya dua atap bersusun. Namun, sesungguhnya itu hanyalah perhitungan arsitektur yang cermat untuk membagi beban atap gedung yang sangat besar itu. Bukan hanya itu, penempatan sejumlah pilar besar yang menyangganya juga sangat unik. Tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi berada pada semacam tatakan semen. Semua kecermatan arsitektural itu rupanya untuk mengantisipasi bila terjadi gempa bumi. Bangunan ini dikerjakan selama lima tahun dan selesai dibangun pada 752, dengan ukuran tinggi 47 meter, panjang 51 meter, dan lebar 88 meter. Kayu-kayunya kebanyakan didatangkan dari daerah sekitar Nara, Shiga, Hyogo, dan Mie, dan memanfaatkan aliran sungai Kinki.

Memang, bukan berarti lalu kuil ini terhindar dari bencana gempa bumi. Dalam catatan sejarah, karena gempa bumi, kepala patung itu jatuh dan rusak parah sehingga harus mengalami renovasi. Tetapi, tragedi yang justru meluluhlantakkan bangunan bersejarah ini datang dari manusia sendiri: perang antarklan di pertengahan abad ke-16 yang mengakibatkan kompleks kuil itu terbakar (1180 & 1567), kecuali gedung Sangatsu-do dan gerbang Tegai-mon. dengan terbakarnya Daibutsu-den maka patung Buddha Rushana atau Vairocana itu kehilangan “rumah” lebih dari satu abad! Daibutsu-den baru dibangun kembali pada 1692. Dan bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini adalah hasil dari renovasi tahun 1709.

Kompleks kuil Todai-ji juga dilengkapi dengan sebuah taman yang luas. Menariknya, selain dirindangi oleh pepohonan dan bunga-bunga, taman ini juga “dihiasi” oleh kawanan rusa yang hidup bebas. Pengunjung dapat berfoto dan bercengkerama dengan rusa-rusa ini, apalagi kalau pengunjung membawa kue-kue kesukaan rusa.

Shuni-e atau Omizutori
Bila kita berkesempatan mengunjungi kuil Todai-ji di bulan Maret, itu bertepatan dengan sebuah acara khas Todai-ji: upacara Shunie atau Omizutori. Memang, kita tidak bisa terlibat atau melihat langsung upacara tersebut karena ini merupakan upacara intern kuil. Wisatawan hanya bisa menikmati upacara ini pada malam hari—itupun dari luar—yakni saat obor-obor kuil dinyalakan.

"Tiang-tiang Kuil Todai-ji tidak ditanam, melainkan hanya diletakkan di atas tatakan semen."
Upacara Shuni-e dimulai sejak tahun 752 dan berlangsung di gedung Nigatsudo. Pada awalnya, upacara ini dilangsungkan pada bulan Februari (Shuni-e = upacara bulan kedua). Namun, bersamaan dengan dipakainya sistem kalender matahari maka upacara ini kini berlangsung mulai dari tanggal 1-14 Maret. Inti dari ritual yang juga populer dengan nama Omizutori ini (Omizutori = mengambil air suci) adalah pengambilan air suci dari sumur Wakasa pada jam 02.00 dini hari tanggal 13 Maret. Air suci ini lalu dibagikan kepada pengunjung dan juga dipersembahkan kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas di Nigatsudo. Lalu, airu itu dituangkan ke dalam dua wadah: satu berisi air dari upacara tahun lalu, satu lagi wadah yang berisi air dari ritual sepanjang 1200 tahun!

Maksud dari upacara ini adalah untuk kemurnian hidup manusia di muka bumi ini dengan bersembahyang kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia. Antara lain, mereka berdoa untuk korban bencana alam, perang, kelaparan, dan perwujudan perdamaian dunia. Upacara ini dilakukan oleh sebelas pendeta-Buddha (Rengyoshu) yang selama dua minggu mereka membaca sutra enam kali sehari. Inilah ritual yang paling terkenal di Jepang sejak abad ke-8 dan tidak pernah absen dilangsungkan hingga tahun ini, termasuk ketika Perang Dunia dan kekacauan pasca Perang Dunia II.

Sebagai puncak dari ritual ini adalah pesta obor yang sangat indah, yang populer dengan sebutan Otaimatsu. Sebelas keranjang obor yang sudah dipersiapkan dibawa oleh kesebelas Rengyoshu ke balkon Nigatsudo, lalu diayun-ayunkan di depan pengunjung. Tak salah bila ritual ini disebut-sebut sebagai ritual air dan api yang sangat agung. Dan, seolah melengkapi keagungan dari ritual ini, berakhirnya upacara Omizutori menandai berakhirnya musim dingin di Jepang dan awal dari musim semi yang cantik.
* (telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 27 Juli 2003)

No comments: