Tuesday, August 12, 2008


EDITOR BUKU
BUKAN “KUTU” DALAM BUKU*
sepercik tukar pengalaman


Siapa mau jadi editor?
Editor atau penyunting (buku) barangkali merupakan salah satu profesi yang tergolong langka peminat. Hampir sebagian besar editor yang ada saat ini, tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada akhirnya ia harus menggantungkan hidupnya dari profesi ini.

Fakta berbicara. (1) anak muda lebih tertantang untuk ‘bermimpi’ menjadi dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum, polisi, tentara, atau pilot, ketimbang menjadi editor; (2) mereka juga rela berdesak-desakan sekadar untuk mengikuti audisi untuk menjadi penyanyi, foto model, atau pemain sinetron; (3) adakah orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi seorang editor? –tentunya bukan orang tua yang bekerja di penerbitan; (4) profesi editor belum bisa dipakai sebagai ‘iming-iming’ untuk melamar seorang gadis.

Jika demikian, mengapa kita harus tetap bertahan menjadi editor?
Jawabnya pun beragam, kalau bukan karena (1) terpaksa/tidak ada pekerjaan lain; (2) ditugaskan sehingga tak bisa menolak; (3) telanjur sayang dengan pekerjaan itu; (4) memang ingin menjadi editor.

Bagaimana apresiasi terhadap editor?
Ada dua jenis apresiasi: dari lembaga tempat bekerja dan dari masyarakat umum. Apresiasi dari lembaga tentu saja berbeda antara satu lembaga dan lembaga lain, bergantung pada kebijakan tiap lembaga. Hingga saat ini belum ada aturan main yang seragam tentang hak dan kewajiban editornya. Sementara, apresiasi masyarakat umum yaitu penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu karya buku. Apakah yang menjadi perhatian masyarakat (pembaca) terhadap sebuah karya buku? Jawabnya, judul, pengarang, penerbit, dan (sekarang mulai menjadi perhatian) desainer sampul. Adakah yang juga memberi perhatian pada siapa editor buku tersebut?

Memang, kejernihan informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana editor buku baru ditimang oleh kalangan terbatas; lingkup insan perbukuan dan masyarakat yang ‘gila’ buku. Selebihnya, (1) tidak sadar bahwa sebuah buku tidak akan pernah terbit tanpa campur tangan seorang editor; (2) beranggapan bahwa siapa saja bisa menjadi editor.

Pengalaman empiris membuktikan, minornya pemahaman masyarakat atas profesi editor buku menjadi pelatuk utama munculnya anggapan bahwa editor di industri penerbitan buku tidak lebih dari seorang ‘tukang’. Tugasnya sungguh tidak menantang karena sebatas mengutak-atik bahasa, membetulkan letak titik-koma, dan mengetik naskah saja. Celakanya, hal ini mendorong munculnya pengarang-pengarang ‘hebat’—yaitu menafikan fungsi editor dalam menerbitkan karyanya. Lebih celaka lagi, jika pengarang jenis ini bertemu dengan mantan mahasiswanya yang kebetulan bekerja sebagai editor di penerbit tempat sang dosen akan menerbitkan naskahnya.

Apakah ruang lingkup kerja editor?
Tugas seorang editor dalam industri perbukuan bukan semata-mata menyunting kebahasaan suatu naskah. Tugas ini seharusnya sudah diemban oleh editorial assistant atau copyeditor.
Seorang editor seyogianya menguasai tugas-tugas yang termasuk dalam substantive editing dan mechanical editing. Dalam substantive editing, editor harus mampu menilai dan mempertimbangkan kelayakan terbit sebuah naskah. Di sini, tidak tertutup kemungkinan seorang editor mencetuskan ide atau konsep buku yang akan diterbitkan, sekaligus mencari penulisnya. Termasuk dalam tugas ini, misalnya, seorang editor juga harus dapat berkomunikasi dengan pengarang atau penerbit luar negeri guna menjajaki kemungkinan penerbitan alih bahasa.

Sementara, dalam mechanical editing, seorang editor mulai memasuki proses panjang penerbitan buku. Selain memeriksa kembali hasil penyuntingan kebahasaan yang telah dilakukan oleh asisten editor atau copyeditor, seorang editor harus piawai dalam melakukan sejumlah tugas, misalnya menyusun ide pengarang ke dalam bentuk yang semenarik mungkin (gaya bahasa yang digunakan, mengatur sistematika penulisan), menyusun indeks, meramu sinopsis, dan memberi pertimbangan-pertimbangan kepada bagian visual dan desain buku. Bahkan ada kalanya editor dituntut mengenal seluk-beluk produksi buku, analisis pasar, hingga melakukan pra-kalkulasi. Pendek kata, seorang editor harus siap menjadi seorang generalis dalam bidang penerbitan buku, di samping tetap sebagai spesialis dalam salah satu ilmu.
Lembaga penerbitan yang profesional, biasanya sudah membedakan secara tajam fungsi-fungsi copyeditor, editor, sampai acquisition editor (posisi yang disebut terakhir masih langka dalam struktur organisasi penerbit di Indonesia). Masing-masing memiliki ruang lingkup kerja sendiri, bahkan ada pula penerbit yang mempertajamnya dengan menyediakan editor-editor khusus—sesuai dengan bidang garapan. Misalnya, editor fiksi, editor sains, editor humaniora, editor kesehatan, dll.
Oleh karena itu, kehadiran editor dari berbagai disiplin ilmu mutlak diperlukan dalam satu usaha penerbitan umum. Tetapi, inilah hambatannya, biasanya penerbit kesulitan menemukan orang yang menguasai suatu ilmu, menyukai dunia perbukuan, sekaligus memahami tatacara penyuntingan. Kendala ini muncul akibat belum banyak mahasiswa yang benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja sebagai editor selepas dari perguruan tinggi. Itu sebabnya, menjadi editor sebenarnya tidak gampang.

Tips Penutup
  • Editor adalah pembantu penulis naskah. Oleh karena itu, sebaiknya editor tidak menempatkan diri pada posisi penulis naskah.
  • Editor haruslah rendah hati atau tidak angkuh dalam menghadapi penulis naskah, meskipun ada kemungkinan editor lebih pintar dan ‘lebih tinggi’ ilmunya daripada penulis naskah.
  • Sebelum mulai mengubah-ubah dan mencoret-coret naskah, sebaiknya editor berkonsultasi terlebih dulu dengan penulis naskah.
  • Sebelum mulai mengedit naskah, sebaiknya editor memahami benar cirri khas naskah bersangkutan. Tanpa pemahaman itu, hasil kerja editor akan berantakan.
  • Kenali benar watak dan temparemen penulis naskah: termasuk kategori penulis yang gampang, sulit, atau yang sulit-sulit gampang.
  • Setelah buku terbit, segeralah baca ulang untuk menemukan sekiranya ada hal-hal yang harus segera diperbaiki.

© ariobimonusantara
mei 2006
*Diolah kembali dari artikel yang pernah dimuat di Berita Buku, Juli 1996 dengan judul yang sama. Disajikan di Pusgrafin Politeknik UI jurusan ilmu penerbitan

Thursday, July 24, 2008

SEJUTA PESONA KUIL DI KYOTO

oleh Ariobimo Nusantara

Wisata kuil. Barangkali itulah sebutan yang paling tepat bila kita mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang. Betapa tidak, hampir di setiap kota di Jepang selalu dapat ditemui sejumlah kuil yang rata-rata masih berfungsi aktif. Memang, secara umum kuil-kuil tersebut tampaknya nyaris sama antara satu dengan yang lain. Namun, cerita di balik tiap kuil tidaklah sama. Dan, itulah daya tarik yang sebenarnya karena “rasa” Jepang-nya sungguh nyata dibanding hanya keluar-masuk mal yang tak jauh beda dengan mal-mal di Tanah Air.

Salah satu kuil yang sempat saya kunjungi bersama delegasi dari sejumlah negara ketika berada di Kyoto adalah kuil Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua milik sekte Hosso dalam agama Buddha. Memang, Hosso hanya sebuah sekte kecil yang berkembang sekitar tahun 657 yang didirikan oleh biksu Dosho dari Cina. Tetapi, jangan anggap remeh. Kompleks kuil ini terbilang sangat luas dengan memanfaatkan kontur alam yang luar biasa indahnya. Luasnya tak kurang dari 130,000 meter persegi dengan lebih dari 30 bangunan di dalamnya, terletak di atas sebuah perbukitan. Begitu pentingnya objek wisata ini sehingga jika kita tidak dalam rombongan wisata, kita tidak perlu khawatir karena tersedia bus umum nomor 206 atau 207 tujuan Kiyomizu-michi atau Gojo-zaka yang menuju objek wisata ini—tentu saja kita tetap harus berjalan sekitar 10 menit karena lokasinya tertutup untuk didaki kendaraan.



Bangunan utama di Kiyomizu-dera, dengan
latar belakang pemandangan kota Kyoto.
Namun, kita tidak perlu khawatir akan merasa lelah atau bosan, sebab selama berjalan mendaki itu, mata kita akan dipuaskan oleh sederetan toko suvenir yang menarik dan mengusik nafsu belanja kita. Mulai dari suvenir kain sutra, boneka tradisional, aneka model samurai, atau porselen Kiyomizu-yaki yang sangat khas; hingga aneka makanan khas seperti es krim rasa teh hijau. Tapi, tahan dulu. Sebaiknya nafsu berbelanja suvenir kita simpan hingga kita menuntaskan maksud tujuan ke tempat ini: Kiyomizu-dera!

Sesampainya di gerbang utama Kiyomizu-dera, hal pertama yang tampak di sisi kiri adalah kandang kuda kuno yang biasa digunakan oleh mereka yang datang untuk bersembahyang kepada Kannon. Dan, sebelum sampai ke kuil utama, Anda harus melewati Nio-mon atau Gerbang Raja-raja Dewa, yang melindungi kuil dari kejahatan. Raja Dewa di sebelah kanan mulutnya terbuka, seperti mengucap "A", bunyi pertama dari bahasa Sanskrit, sedangkan mulut yang lain tertutup seperti mengucap "UN", bunyi terakhir. Jadi, artinya para raja dewa mewakili ajaran Buddha secara komplet.

Kuil yang dibangun lebih dari 1200 tahun lalu ini tercatat dalam daftar World Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh UNESCO pada Desember 1994. Meski demikian, kebanyakan bangunan yang ada sudah tidak asli karena kuil ini sempat hancur dan beberapa kali mengalami pemugaran. Kuil ini dibangun pada 798, tetapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1633 atas prakarsa Shogun Iemitsu Tokugawa.

Berlama-lama di bangunan tinggi ini kita hanya bisa berdecak kagum tiada henti: teknologi apa yang telah dipakai manusia pada masa itu untuk menghasilkan bangunan spektakular semacam ini.


Air yang Jernih
Sepanjang sejarahnya, banyak bangunan kuil di Kyoto yang terbakar dan dibangun kembali. Tetapi, bangunan-bangunan di kiyomizudera banyak yang masih tetap utuh karena kuil ini tidak pernah terlibat dalam peperangan. Dengan kata lain, kuil ini tidak punya “musuh” sehingga tak ada alasan untuk menghancurkannya. Pernah, kuil ini terbakar sekali, tetapi pada 1633 direkonstruksi oleh Shogun. Maka, meski bangunan sekarang berumur kurang lebih 350 tahun, bangunan aslinya lebih dari 1200 tahun lalu, hampir 20 tahun sebelum ibukota Jepang pindah ke Kyoto.



Kiyomizu-dera secara harfiah artinya air yang jernih. Dinamakan demikian karena di bagian bawah kuil ini terdapat air terjun yang terkenal, yang bersumber dari Gunung Otowa selama ribuan tahun. Ini adalah satu dari sepuluh air jernih yang terkenal di Jepang. Sumber air yang jernih ini kemudian dipancurkan melalui tiga pancuran dan dipercaya sebagai air suci. Pancuran ini disebut Otowa-no-taki (Sound of Feathers Waterfall).

Pancuran Otowa-no-taki. Sudah tak terbilang orang yang minum air dari pancuran ini. [repro: japan page] -

Menurut legenda ketiga pancuran ini masing-masing melambangkan wajah tampan/cantik, umur panjang, dan kebijaksanaan. Di sinilah uniknya, saking jernihnya air yang keluar dari pancuran-pancuran ini maka air bisa langsung diminum. Namun, ada aturannya. Orang hanya boleh minum dari salah satu pancuran. Silakan, mau pilih (dari kiri ke kanan) umur panjang, berwajah tampan/cantik, atau bijaksana. Apa yang akan Anda pilih? Ingat, jika Anda “tamak” dan meminum ketiga sumber tersebut maka Anda justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Apalagi kita hanya boleh berada di depan pancuran ini selama 45 detik saja!

Cara mengambil air ini pun sangat unik. Di dekat pancuran tersebut tersedia sejumlah gayung bergagang untuk mengambil air dan meminumnya langsung. Pancuran tersebut tetap mengucur deras hingga hari ini, meski tiap hari ratusan hingga ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia dan meminumnya. Higienis? Jangan khawatir. Gayung-gayung ini ditempatkan dalam semacam lorong yang disinari oleh sinar ultra untuk sterilisasi. Sungguh merupakan konsep perpaduan antara unsur tradisional dan modernitas yang sangat jenial.
Dengan rasa penuh ingin tahu—antara percaya dan tidak—saya pun memberanikan diri ikut meminum ”air ajaib” itu. Saya coba buang jauh-jauh perasaan ragu dan jijik saat mengambil salah satu gayung dan menadah air. ”Peduli amat, siapa tahu kepercayaan ini memang benar adanya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi saya bisa sampai ke tempat ini,” begitu pikir saya. Tapi, jujur saja, saat di depan pancuran, saya tak sempat lagi memilih mau memilih khasiat yang mana. Semuanya berlalu begitu cepat!

Agaknya, inilah roh dari kuil ini, mengingat pendirinya, biksu Enchin, pada awalnya memang memimpikan untuk membangun sebuah kuil di sebuah air terjun dari sebuah sumber yang jernih, Sungai Yodogawa. Menurut legenda, mimpi itu segera diwujudkannya ketika suatu hari ia melintas di air terjun di Otowa dan bertemu dengan Gyoei, seorang pendeta tua yang memberinya balok kayu, yang harus diukirnya dengan wajah Kannon.

Kompleks Raksasa
Beruntung, saya sempat mengunjungi kompleks ini pada awal-awal musim semi. Selain udara yang tidak terlalu panas juga bisa menyaksikan saat bunga-bunga sakura hendak mulai bermekaran. Lansekap tempat ini memang banyak ditumbuhi oleh tanaman khas Negeri Matahari Terbit itu. Sangat sentimental. Toh demikian, kita juga perlu berhati-hati saat menghirup udara karena serbuk-serbuk bunga yang sangat halus bisa saja ikut terhirup dan mengganggu pernapasan kita. Hidung bisa tiba-tiba terasa perih dan tiba-tiba mengalami mimisan. Setidaknya sekali-dua kali saya sempat mengalami hal itu.

Kompleks kuil ini memang luar biasa luasnya dengan sejumlah bangunan yang sayang untuk dilewatkan. Tengok saja bangunan utamanya. Bangunan aslinya yang merupakan sumbangan dari Tamuramaro telah hancur terbakar pada 1629, sedang bangunan yang sekarang adalah berarsitek periode Heian. Di dalamnya, didekorasi oleh 30 lukisan sumbangan para pedagang selama pembangunan tahun 1633. Konon kabarnya, gambar asli Kannon yang dibuat oleh Echin disimpan di sebuah kotak dengan 28 tiruannya di sisinya. Namun, apabila Anda berharap menyaksikan langsung gambar dewa berwajah-sebelas dengan seribu-senjata ini, Anda harus menunggu hingga tahun 2010. Pasalnya, gambar asli ini hanya ditunjukkan sekali dalam 30 tahun dan penunjukkan yang terakhir adalah pada 1977.

Di bagian luar dari bangunan ini terdapat sebuah panggung tari atau yang disebut Butai. Panggung ini dibuat dari kayu-kayu perancah dari pohon zelkova yang menyangga panggung seluas 10 meter persegi di atas tebing setinggi 12 meter. Bangunan ini berada di titik tertinggi dalam kompleks. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan karena sejauh mata memandang kita akan dipuaskan oleh keindahan panorama sekitar tanpa halangan. Begitu tingginya tempat ini sehingga ada pepatah Jepang mengatakan ‘jumping of the Kiyomizu’ yang maknanya baru akan kita mengerti setelah kita berada di tempat ini. Betapa tidak, siapa pun orangnya dan apa pun alasannya, orang harus berpikir seribu kali sebelum melompat dari Butai. Inilah tempat favorit bagi para wisatawan untuk berfoto dan sangat popular menghiasi kartupos-kartupos dari Kyoto. Ke arah selatan Anda akan melihat Koyasu-no-to (pagoda utk memudahkan kelahiran), yang berisi gambar Koyasu Kannon. Pemandangan ini sangat indah difoto, terutama saat musim gugur ketika daun-daunan berwarna oranye dan merah.

Setiap bangunan yang ada di kuil ini memiliki fungsi masing-masing. Kyodo misalnya, bangunan ini adalah tempat menyimpan naskah-naskah suci. Sementara, Kanisan-do merupakan bangunan tempat menyimpan gambar para pendiri kuil ini. Bangunan yang juga disebut Tamura-do ini dipindahkan dari Nagaoka ke Kiyomizu-dera pada akhir abad ke-8.

Ada hal yang menarik di kompleks ini, yakni di sisi bangunan Asakura-do terdapat telapak kaki Buddha. (Pada masa-masa awal buddhisme, untuk mengingat sang Buddha tidak ditunjukkan dengan gambar Buddha atau boddhisatva melainkan diwakili oleh gambar telapak kaki.) Menurut kepercayaan, jika seseorang melihat ke arah telapak kaki itu maka seluruh dosanya akan terampuni. Bila diamati lebih dekat pada telapak kaki itu akan terlihat sejumlah simbol termasuk sepasang ikan, hiasan bunga, dan kerang-kerangan. Ke arah tumit, samar-samar akan terlihat roda hukum kebenaran Buddha.

Bangunan yang juga cukup menarik adalah Amida-do, sebuah bangunan kecil yang memuat 180 patung-patung kecil Jizo (penjaga anak-anak). Menurut cerita rakyat, ini adalah tempat bersembahyang bagi orang tua yang kehilangan anaknya. Dengan bersembahyang di sini, mereka akan mendapatkan ketenangan batin dan bila ada di antara patung-patung kecil itu yang terlihat menyerupai wajah si anak, maka itu pertanda bahwa sang anak ada dalam kedamaian.

Berfoto dan ”mengawetkan diri” alias bergaya di tempat-tempat wisata adalah hukum tak tertulis bagi para wisatawan. Namun, bila suatu hari nanti Anda berkesempatan berkunjung ke Kiyomizu-dera, Anda akan merasa rugi bila hanya disibukkan dengan acara mengambil gambar di sana-sini lalu pergi. Banyak hal yang bisa kita lakukan di kuil yang sangat fenomenal ini. Misalnya saja, menyimak cerita-cerita menarik dari pemandu wisata (dan menggalinya lebih dalam), mengamati atau mengikuti para peziarah, hingga merasakan segarnya air Otowa-no-taki. Karena, hanya dengan penghayatan secara totallah kita benar-benar bisa mengecap pesona Kiyomizu-dera seutuhnya.

*(versi cetak telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 20 Juli 2008)

Sunday, July 06, 2008

BUNGA CANTIK DALAM POT RETAK


oleh A. Ariobimo Nusantara



Sudah beberapa bulan belakangan ini, saya dan beberapa teman di kantor mempunyai hobi baru. Kami—para bapak ini—sedang tertarik untuk membiakkan tanaman Adenium obesum atau yang dikenal dengan kamboja jepang. Sosoknya mirip tanaman bonsai dan semakin tua, akar tanaman ini akan makin membesar seperti umbi. Akar yang gendut itu akan meliuk ke kiri-kanan. Penampilannya pun jadi tambah unik dan memikat siapa saja yang melihatnya. Maka, dapat dibayangkan, betapa lucunya ketika para bapak ini ngobrol soal bunga!

Hobi baru ini bermula tanpa sengaja, ketika suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman. Di sana, saya menyaksikan betapa indahnya bunga-bunga kamboja jepang yang merimbun di sana-sini. Kurang lebih ada 70 pot! Saat pertama itu, saya hanya berkomentar “Bagaimana kamu bisa mengurusi tanaman begini banyak. Apa tidak menghabiskan waktu?”

Tapi, dengan penuh senyum teman itu menjawab bahwa di situlah ‘roh’ dari hobi ini. “Merawat tanaman ini jauh lebih gampang ketimbang memelihara anggrek. Asal cukup sinar
matahari penuh, tak perlu banyak air, dan memakai media tanam yang porous. Bila ketiga hal tadi dipenuhi, dijamin adenium bakal tumbuh subur.”


Ketika ia asyik menunjukkan tanaman-tanaman bunganya, kami sampai pada satu tanaman yang lebat tertutup oleh bunga berwarna merah beludru. Tapi saya jadi heran sekali, melihat ia tertanam dalam sebuah pot yang kotor, retak di sana-sini. Dalam hati saya berkata, “Meski indah bunganya, setelah melihat wadahnya aku jadi tak tertarik pada tanaman ini. Kalau ini tanamanku pastilah wadah itu sudah kubuang jauh-jauh dan tanaman ini kupindahkan ke dalam pot yang lebih indah dan aman.” Dengan kalem, teman saya mengatakan, “Memang tidak selayaknyalah bunga yang cantik itu berada dalam wadah yang amburadul seperti ini. Aku memang berniat membuang pot itu.”

Saya tercenung sebentar, membayangkan bagaimana sekiranya pot itu adalah sebuah ‘rumah tangga’ dan bunga-bunga cantik itu adalah anggota keluarga; dengan Allah sebagai si empunya taman. Betapa pun cantik dan indahnya anggota keluarga, bila rumah tangga yang mewadahinya mulai retak, penyok, dan bahkan mungkin berkarat, maka semua keindahan itu akan sia-sia. Lalu, akan ada berapa ‘pot keluarga’ yang terpaksa harus dibuang oleh-Nya karena tidak berfungsi lagi? Ah, sungguh beruntung manusia. Sebab, Allah masih mencintai umat-Nya. Ia telah dan selalu memberi kesempatan bagi kita—sebagai anggota keluarga—untuk memperbaiki ‘pot keluarga’ kita setiap kali mulai tampak kusam, retak, atau bahkan sudah berantakan sekalipun. Saya menarik napas lega. Dalam hati saya membatin, “Sungguh sebenarnya kita punya kesempatan yang luar biasa yang tidak mungkin diberikan oleh temanku ini kepada tanaman-tanaman adeniumnya!”


[ditulis pada 30 Juni 2006 untuk sebuah newsletter komunitas]

Friday, July 04, 2008




THE “BLUE GOLD”
A. Ariobimo Nusantara





Water is a resource that we, human beings, share with other forms of life. In order to live, we need water as much as we need air. Human settlements first arose where there was fresh water for drinking, bathing and for irrigating food crops. Modern industrial civilization, built entirely upon the generation of power, is no less dependent on water.

In the history of mankind, there were many stories that illustrated the relation between human and water. One instance took place twelve years ago in a village, Pasir Kadu, in West Java. The village once was suffered of water shortages for the irrigation of rice fields until a 50 years old woman made the change. Mrs. Eroh, the old and illiterate woman who came from a small farmer family, has undertaken a huge task by herself to make a 4,500 meters waterworks!

The waterworks was from a resource called Cilitung. To reach rice fields in the village, it has to cross eight hills. To do so, Mrs. Eroh had to excavate a hillside of 17 meters height. She did it with a borrowed hoe and a balincong (sort of short crowbar).

Witnessing the pioneer effort of Mrs. Eroh, the local villagers eventually helped her to make the waterworks that they managed to finalise in 2 years and 5 months. The dry soil of rice fields became fertile. The great effort that Mrs. Eroh had put forward astonished many people and has be acknowledged internationally. She became the first woman who received many awards for her pioneering. Amongst the awards were given by the Tasikmalaya regent, West Java Governor, Ministry of Forestry and Ministry of Home Affairs. She was given the national award in environment achievement, KALPATARU, in 1988. And in 1989, the United Nations awarded her with the Global 500 Honour-Roll of the United Nations Environment Programme.

Another great story about water took place in village Cigarag, Majalengka, in West Java. Mrs. Yuyu Yusanah has taken a tremendous step to undertake a hard task. Unsatisfied with the irrigation system which depended mainly on the rain water that harvest only occurred once a year, she was motivated to make the change.

Mrs. Yuyu determined to resource the river water across a hill adjacent to her rice field for irrigation purpose. With simple tools such as crowbar, hammer, stone chisel and mirror, she managed to make a 213 meters water tunnel through the hill. It took her 2 years to finish this hard work. The flow of water was not only useful to irrigate her rice field but also other villagers’. Changes were obvious following the success of this determination; many acres of rice fields were viewed everywhere; green colour during cultivating period and yellow gold when the harvest arrived.

It was indeed a pursuit of the blue gold, and it moves the heart!

*

Water shortages is the major world issue this time especially with the increase of water pollution caused by human activities including mega electricity water power plant projects, industrial and urban pollution, forest destroyed, the use of pesticides, dumping of waste and mining waste. The case with Subak system in Bali serves as the illustration.

Subak is the Balinese traditional irrigation system that regulates the construction and maintenance of waterworks, and the distribution of life-giving water that they supply. Such regulation is essential to efficient wet-rice cultivation on Bali, where water travels through very deep ravines and across countless terraces in its journey from the mountains to the sea.

Subak is an independent organization, not lied to the government. Everything to do with irrigation is performed by the Subak, whose members are all farmers. Their main function is to ensure that the distribution of water is made equitably. Subak is responsible for coordinating the planting of seeds and the transplanting of seedlings so as to achieve optimal growing conditions, as well as for organizing ritual offerings and festivals at Subak temple. All members are called upon to participate in these activities, especially at feasts honoring the rice goddess Sri.

No farm must be given more or less than their fair share. The equal distribution of water is not done through modern equipment but can be arranged because of a spirit of solidarity and a high level of tolerance and mutual responsibility, despite there being only very simple means to share out the water.

The spirit of cooperation is clearly evident in Subak. The irrigation techniques are inheritance down from generation to generation. Subak has certain laws or rules that regulate the mutual livelihoods of its members.

These are based on Tri Hita Karana philosophy (harmonious relationship between human to God, human to human, and human to other living creatures). If anyone breaks the rules traditional and religious sanctions are invoked. The sanctions against anyone breaking the rules are intended to restore harmony between the material and spirit worlds. An offender can be fined or if an offence is not mentioned in the regulations, the members of Subak can decide it upon. The majority makes decisions democratically.

Like many organizations, Subak has a number of office holders consisting of Sedahan Agung (chief controller), Sedahan (other controllers), Pekaseh, and Klian (chief of a village) as well as the ordinary members of Subak who own land. Controllers are decided by the government and the members of Subak appoint lesser officials. The tasks and responsibilities of those appointed are quite heavy. However, Subak pays these officials.

The system of distributing water to the rice fields is as follows: whenever the water volume was high in the basin, the distribution would be arranged from the upper course side to the downstream side. When the volume is low, water will be distributed in turns or in rotation. If the latter is the case – and which is hardly took place, except in a long drought – the area of one Subak would be seen as if divided into three groups; the field on the upper course side, on the downstream side and those which are in betweens. The first group is the downstream side; that is in the farthest location from the water resource. The distribution will be done when the water volume is considered ample. This is base on the view that if the volume is so low, the water will not reach the farthest location from the resource as it would be dried out on the way.

The second group is fields in between downstream and upper course side and it is the last group to receive the distribution. And the last group on the distribution list is those on the upper course side, in the closest location to the water resource. While the volume is low, the last group will be able to receive the water to irrigate their padi fields. Average duration of the distribution is two week to one month per group.

The existence of Subak, although it is a traditional form of organization, is and will remain relevant in Bali. This is because of the high degree of cooperation that exists amongst its members and because all feel advantaged. This is an organization formed by farmers for the welfare of the farming community.

How is the situation related to Subak nowadays? The rapid development on roads, residential and business properties have their impacts to Subak that many of these organizations are diminished. The development has cut the irrigation lines, causing many acre of land dried out and became deserted which eventually turned into property development. We may say that the civilization in Bali has moved from water (river) civilization to high ways civilization. The impact of this change has its own time to be realized when Bali started to suffer from flood during the rainy season.

It is factual that recently the water resource is determined by the economic value that will benefit a group of people with strong economical support. This is the evident in modern time; something that is considered common resources is no longer managed together and is not under responsibility of anybody.

*

From the illustration of human relation with water in the culture of Indonesia, it can be seen that within a traditional community - an older organization than the state institution – the unique interaction pattern between human and water has survived for decades. It is the modern civilization that do not prioritize water as human’s friend, instead positions it as an object or even as an enemy that has to be conquered. Modernization gives opportunities for the inequality for fresh water usage. Groups with better and strong economic position will have bigger access of fresh water. Ironically, those with lesser economic position have to provide a lot of fund to fulfill their need of fresh water.

Water should have been valued as social and cultural treasure, not merely as an object or as a commodity. Water is life. And as life, it possesses the intrinsic value that cannot be measured nor managed as some ’thing’. In the perspective of environmental ethic, water with its benefits for life deserves to be measured more than just for its instrumental value. Until the end of time, water will never change; it offers itself as the blue gold and it is up to us to accept it as an enemy or as a friend!

[presented at ACCU NARA – in related with The 3rd Water Forum, March 2003]

Saturday, June 28, 2008




KIYOMIZU-DERA,

Kuil Sejuta Pesona di Kyoto

oleh Ariobimo Nusantara






Wisata kuil. Barangkali itulah sebutan yang paling tepat bila kita mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang. Betapa tidak, hampir di setiap kota di Jepang selalu dapat ditemui sejumlah kuil yang rata-rata masih berfungsi aktif. Memang, secara umum kuil-kuil tersebut tampaknya nyaris sama antara satu dengan yang lain. Namun, cerita di balik tiap kuil tidaklah sama. Dan, itulah daya tarik yang sebenarnya karena “rasa” Jepang-nya sungguh nyata dibanding hanya keluar-masuk mal yang tak jauh beda dengan mal-mal di Tanah Air.

Salah satu kuil yang sempat saya kunjungi bersama delegasi dari sejumlah negara ketika berada di Kyoto adalah kuil Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua milik sekte Hosso dalam agama Buddha. Memang, Hosso hanya sebuah sekte kecil yang berkembang sekitar tahun 657 yang didirikan oleh biksu Dosho dari Cina. Tetapi, jangan anggap remeh. Kompleks kuil ini terbilang sangat luas dengan memanfaatkan kontur alam yang luar biasa indahnya. Luasnya tak kurang dari 130,000 meter persegi dengan lebih dari 30 bangunan di dalamnya, terletak di atas sebuah perbukitan. Begitu pentingnya objek wisata ini sehingga jika kita tidak dalam rombongan wisata, kita tidak perlu khawatir karena tersedia bus umum nomor 206 atau 207 tujuan Kiyomizu-michi atau Gojo-zaka yang menuju objek wisata ini—tentu saja kita tetap harus berjalan sekitar 10 menit karena lokasinya tertutup untuk didaki kendaraan.


"Bangunan utama di Kiyomizu-dera. " (sumber: www.nara.accu.or.jp)


Kuil yang dibangun lebih dari 1200 tahun lalu ini tercatat dalam daftar World Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh UNESCO pada Desember 1994. Meski demikian, kebanyakan bangunan yang ada sudah tidak asli karena kuil ini sempat hancur dan beberapa kali mengalami pemugaran. Kuil ini dibangun pada 798, tetapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1633 atas prakarsa Shogun Iemitsu Tokugawa.

Air yang Jernih
Sepanjang sejarahnya, banyak bangunan kuil di Kyoto yang terbakar dan dibangun kembali. Tetapi, bangunan-bangunan di kiyomizudera banyak yang masih tetap utuh karena kuil ini tidak pernah terlibat dalam peperangan. Dengan kata lain, kuil ini tidak punya “musuh” sehingga tak ada alasan untuk menghancurkannya. Pernah, kuil ini terbakar sekali, tetapi pada 1633 direkonstruksi oleh Shogun. Maka, meski bangunan sekarang berumur kurang lebih 350 tahun, bangunan aslinya lebih dari 1200 tahun lalu, hampir 20 tahun sebelum ibukota Jepang pindah ke Kyoto.








"Pancuran Otowa-no-taki. Langsung diminum, tak
perlu ragu soal faktor higienis."


Kiyomizu-dera secara harfiah artinya air yang jernih. Dinamakan demikian karena di bagian bawah kuil ini terdapat air terjun yang terkenal, yang bersumber dari Gunung Otowa selama ribuan tahun. Ini adalah satu dari sepuluh air jernih yang terkenal di Jepang. Sumber air yang jernih ini kemudian dipancurkan melalui tiga pancuran dan dipercaya sebagai air suci. Pancuran ini disebut Otowa-no-taki (Sound of Feathers Waterfall).


Menurut legenda ketiga pancuran ini masing-masing melambangkan wajah tampan/cantik, umur panjang, dan kebijaksanaan. Di sinilah uniknya, saking jernihnya air yang keluar dari pancuran-pancuran ini maka air bisa langsung diminum. Namun, ada aturannya. Orang hanya boleh minum dari salah satu pancuran. Silakan, mau pilih (dari kiri ke kanan) umur panjang, berwajah tampan/cantik, atau bijaksana. Apa yang akan Anda pilih? Ingat, jika Anda “tamak” dan meminum ketiga sumber tersebut maka Anda justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Apalagi kita hanya boleh berada di depan pancuran ini selama 45 detik saja!


Cara mengambil air ini pun sangat unik. Di dekat pancuran tersebut tersedia sejumlah gayung bergagang untuk mengambil air dan meminumnya langsung. Pancuran tersebut tetap mengucur deras hingga hari ini, meski tiap hari ratusan hingga ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia dan meminumnya. Higienis? Jangan khawatir. Gayung-gayung ini ditempatkan dalam semacam lorong yang disinari oleh sinar ultra untuk sterilisasi. Sungguh merupakan konsep perpaduan antara unsur tradisional dan modernitas yang sangat jenial.


Agaknya, inilah roh dari kuil ini, mengingat pendirinya, biksu Enchin, pada awalnya memang memimpikan untuk membangun sebuah kuil di sebuah air terjun dari sebuah sumber yang jernih, Sungai Yodogawa. Menurut legenda, mimpi itu segera diwujudkannya ketika suatu hari ia melintas di air terjun di Otowa dan bertemu dengan Gyoei, seorang pendeta tua yang memberinya balok kayu, yang harus diukirnya dengan wajah Kannon.

Kompleks Raksasa
Kompleks kuil ini memang luar biasa luasnya dengan sejumlah bangunan yang sayang untuk dilewatkan. Tengok saja bangunan utamanya. Bangunan aslinya yang merupakan sumbangan dari Tamuramaro telah hancur terbakar pada 1629, sedang bangunan yang sekarang adalah berarsitek periode Heian. Di dalamnya, didekorasi oleh 30 lukisan sumbangan para pedagang selama pembangunan tahun 1633. Konon kabarnya, gambar asli Kannon yang dibuat oleh Echin disimpan di sebuah kotak dengan 28 tiruannya di sisinya. Namun, apabila Anda berharap menyaksikan langsung gambar dewa berwajah-sebelas dengan seribu-senjata ini, Anda harus menunggu hingga tahun 2010. Pasalnya, gambar asli ini hanya ditunjukkan sekali dalam 30 tahun dan penunjukkan yang terakhir adalah pada 1977.


Di bagian luar dari bangunan ini terdapat sebuah panggung tari atau yang disebut Butai. Panggung ini dibuat dari kayu-kayu perancah dari pohon zelkova yang menyangga panggung seluas 10 meter persegi di atas tebing setinggi 12 meter. Bangunan ini berada di titik tertinggi dalam kompleks. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan karena sejauh mata memandang kita akan dipuaskan oleh keindahan panorama sekitar tanpa halangan. Begitu tingginya tempat ini sehingga ada pepatah Jepang mengatakan ‘jumping of the Kiyomizu’ yang maknanya baru akan kita mengerti setelah kita berada di tempat ini. Betapa tidak, siapa pun orangnya dan apa pun alasannya, orang harus berpikir seribu kali sebelum melompat dari Butai. Inilah tempat favorit bagi para wisatawan untuk berfoto dan sangat popular menghiasi kartupos-kartupos dari Kyoto. Ke arah selatan Anda akan melihat Koyasu-no-to (pagoda utk memudahkan kelahiran), yang berisi gambar Koyasu Kannon. Pemandangan ini sangat indah difoto, terutama saat musim gugur ketika daun-daunan berwarna oranye dan merah.


Untuk mencapai kuil ini, kita harus berjalan di sepanjang jalan yang agak menanjak, yang di kiri-kanannya dipenuhi oleh toko-toko suvenir. Sesampainya di gerbang utama Kiyomizu-dera, hal pertama yang tampak di sisi kiri adalah kandang kuda kuno yang biasa digunakan oleh mereka yang datang untuk bersembahyang kepada Kannon. Dan, sebelum sampai ke kuil utama, Anda harus melewati Nio-mon atau Gerbang Raja-raja Dewa, yang melindungi kuil dari kejahatan. Raja Dewa di sebelah kanan mulutnya terbuka, seperti mengucap "A", bunyi pertama dari bahasa Sanskrit, sedangkan mulut yang lain tertutup seperti mengucap "UN", bunyi terakhir. Jadi, artinya para raja dewa mewakili ajaran Buddha secara komplet.


Setiap bangunan yang ada di kuil ini memiliki fungsi masing-masing. Kyodo misalnya, bangunan ini adalah tempat menyimpan naskah-naskah suci. Sementara, Kanisan-do merupakan bangunan tempat menyimpan gambar para pendiri kuil ini. Bangunan yang juga disebut Tamura-do ini dipindahkan dari Nagaoka ke Kiyomizu-dera pada akhir abad ke-8.


Ada hal yang menarik di kompleks ini, yakni di sisi bangunan Asakura-do terdapat telapak kaki Buddha. (Pada masa-masa awal buddhisme, untuk mengingat sang Buddha tidak ditunjukkan dengan gambar Buddha atau boddhisatva melainkan diwakili oleh gambar telapak kaki.) Menurut kepercayaan, jika seseorang melihat ke arah telapak kaki itu maka seluruh dosanya akan terampuni. Bila diamati lebih dekat pada telapak kaki itu akan terlihat sejumlah simbol termasuk sepasang ikan, hiasan bunga, dan kerang-kerangan. Ke arah tumit, samar-samar akan terlihat roda hukum kebenaran Buddha.


Bangunan yang juga cukup menarik adalah Amida-do, sebuah bangunan kecil yang memuat 180 patung-patung kecil Jizo (penjaga anak-anak). Menurut cerita rakyat, ini adalah tempat bersembahyang bagi orang tua yang kehilangan anaknya. Dengan bersembahyang di sini, mereka akan mendapatkan ketenangan batin dan bila ada di antara patung-patung kecil itu yang terlihat menyerupai wajah si anak, maka itu pertanda bahwa sang anak ada dalam kedamaian.


Kenikmatan berkunjung ke Kiyomizu-dera tak akan pernah terasa bila sebatas foto sana-sini lalu pergi. Sebab, banyak yang bisa kita lakukan untuk lebih menghayati kuil yang sangat fenomenal ini. Menyimak cerita-cerita menarik dari pemandu wisata (dan menggalinya lebih dalam), mengamati atau mengikuti para peziarah, hingga merasakan segarnya air Otowa-no-taki adalah kegiatan-kegiatan yang menyenangkan untuk kita lakukan. Karena, hanya dengan penghayatan secara totallah kita benar-benar bisa mengecap pesona Kiyomizu-dera seutuhnya.
Nara:
Kota Kecil dengan Patung Buddha Terbesar di Dunia


Oleh Ariobimo Nusantara


Kunjungan saya ke Nara atas undangan ACCU (Asia/Pacific Cultural Center for Unesco) yang berpusat di Tokyo, yang baru saja meresmikan kantor cabangnya yang baru di kota Nara. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan, mengingat bahwa kantor cabang ini akan lebih banyak berurusan dengan “tangible heritage” dari seluruh dunia, maka dipilihlah sebuah kota yang memiliki aset warisan sejarah dan budaya yang cukup lengkap, bukan saja yang tampak di permukaan tanah, tetapi juga yang masih berada di bawah permukaan tanah.


Kekayaan Nara bukan main-main, misalnya saja, "Monumen Buddhist di wilayah Horyu-ji" atau "Monumen Sejarah Kota Lama Nara" kini termasuk dalam daftar warisan dunia, yang dikenal luas sebagai “rumah spiritual” bagi masyarakat Jepang.

Ibarat sebuah laboratorium alam, Nara tak henti menjadi pusat penelitian sejarah budaya Jepang. Lihat saja, istana Nara yang pernah menjadi nadi kehidupan politik Jepang selama 74 tahun dari tahun 710 itu, saat ini baru berhasil diekskavasi 1/3 bagian dari total 120 hektar. Padahal, ekskavasi arkeologis itu telah dimulai sejak 1955. Meski demikian, kehati-hatian dan kecermatan para peneliti berhasil menyingkap bagaimana peran istana dan menelusur sistem administrasi dan birokrasi, perubahan-perubahan sejarah yang dialami, serta gaya hidup masyarakat di masa itu.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kota ini bisa begitu rapi dan awet menyimpan warisan sejarah mereka? Bisa jadi hal ini terkait dengan letak geografis Nara yang ibarat telor mata sapi, dikelilingi oleh barisan pegunungan, dengan Nara sebagai ‘kuning telornya’. Konon, letak geografis semacam inilah yang dulu juga melatari pertimbangan pemilihan kota ini sebagai ibu kota lawas Jepang. Secara alami, letak geografis Nara yang terlindung ini dinilai sangat membantu dalam bidang pertahanan dan keamanan kota.
"Pemandangan Kota Nara yang sama modernnya dengan kota-kota lain di Jepang,
meskipun tidak sesibuk Kyoto, apalagi Tokyo."

Bagi wisatawan yang punya minat dan ketertarikan dalam hal budaya, kunjungan ke Nara memang patut dimasukkan dalam rencana. Namun, bukan berarti lantas kota berpenduduk 300.000 jiwa ini boleh dilewatkan begitu saja. Sebab, bila ada niat, wisatawan bisa ‘menghabiskan’ kota ini dalam sehari saja. Dan, itu adalah pemandangan biasa di Nara: wisatawan asing berdatangan pada pagi hari (umumnya dari kota-kota di sekitar Nara) dan pulang pada sore harinya. Tetapi, kalau punya waktu berlebih, menginap semalam-dua malam di Nara juga tidak ada ruginya karena dengan demikian kita dapat mengenal Nara dengan lebih detail. Kunjungan ke berbagai objek wisata bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya ikut city tour, menyewa taksi, bus kota, atau bahkan berjalan kaki bagi mereka yang doyan jalan kaki.
Kota Pelajar
Selain sebagai kota budaya, Nara juga dikenal sebagai kota pelajar. Situasi kota ini memang sangat mendukung kegiatan belajar-mengajar. Nyaman dan tenang, apalagi boleh dibilang tidak ada kehidupan malam di kota ini. Inilah barangkali yang juga menjadi alasan mengapa para wisatawan memilih menjadi komuter untuk mengunjungi kota ini.

Periode Nara sebagai ibukota Jepang memang sangat pendek, dibandingkan dengan Kyoto yang menjadi ibu kota Jepang lebih dari satu milenium. Meski demikian, periode ini sangat penting karena pada masa-masa inilah Jepang mengadakan komunikasi aktif dengan negara-negara Asia Timur dengan mengembangkan sistem politik dan legal yang mirip dengan Negeri Cina. Perpindahan ibu kota ini berdampak pula pada kehidupan penduduk Nara. Sebab, begitu ibu kota dipindahkan ke Kyoto maka sebagian besar wilayah Nara lambat laun berubah menjadi areal persawahan. Kecuali sejumlah kuil yang tetap bercokol di Nara sehingga Nara dikenal sebagai kota kuil.
"Kijang bebas berkeliaran di halaman
kompleks Kuil Todai-ji tanpa takut akan disakiti oleh manusia."
Sebagai salah satu kota yang termasuk dalam “the most beautiful cities in the world” sekaligus sebagai kota antik seperti Athena dan Roma, Nara menjadi tempat persilangan budaya Timur dan Barat karena terletak pada “jalur sutra” (jalur perdagangan internasional dari Cina ke Mediterranian di masa pramodern). Mayoritas kuil Buddha yang ada di Nara mendapat pengaruh dari jazirah Korea atau juga dari Cina di abad ke-8 yang lantas mengalami proses perkembangan yang unik di Jepang. Bangunannya menyajikan budaya arsitektur kayu di abad ke-8 yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Jepang dengan Cina dan Korea.

Nara kini sudah menjadi kota modern. Meski demikian, di kota ini masih terpelihara bangunan-bangunan bersejarah yang berumur hingga 1300 tahun sehingga menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke kota ini. Suasana Nara terasa sangat nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk seperti layaknya di Kyoto, apalagi Tokyo. Namun, jangan lantas membayangkan Nara sebagai kota yang kumuh dan sederhana. Tertib masyarakat sebagai ciri masyarakat Jepang tetap terpelihara, demikian pula Nara tidak ditelantarkan dalam hal modernisasi kota.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Nara adalah tempat lahirnya budaya Jepang. Tak heran bila Nara mendapat status yang signifikan dalam keseluruhan budaya Jepang. Di antara bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Nara, delapan monumen telah ditetapkan sebagai bagian dari “The World Cultural Heritage”. Salah satunya adalah Kuil Todai-ji di mana di dalamnya terdapat patung Buddha yang terbesar di dunia.

Kuil Buddha Terbesar
Dua kuil yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah Kofuku-ji dan Todai-ji. Tak pelak, pembentukan kota pun berpusar pada dua kekuatan ini. Namun, kedua kuil besar ini akhirnya harus hancur saat terjadi peperangan antara klan Minamoto dan Taira (1180). Renovasi pun segera dilakukan dan itulah yang kita li
hat hingga saat ini—khususnya kuil Kofuku-ji. Sebab, sekali lagi, Todai-ji menjadi korban perang, terbakar (1567). Kembali, kuil ini mengalami renovasi, sayangnya ukurannya terpaksa mengecil menjadi hanya 2/3 dari aslinya.
Kompleks Todai-ji dibangun tahun 743, terdiri dari beberapa bangunan yang tersebar di dalam kompleks. Fungsinya antara lain sebagai tempat belajar, tempat memuja Buddha guna memohon kedamaian, tempat penyembuhan—semacam rumah sakit, tempat diskusi politik, ekonomi, dan hubungan internasional, serta sebagai tempat menyimpan kekayaan seni Buddhis. Katakanlah sebagai sebuah pusat budaya di Jepang.

Pada masa itu, agama Buddha memang berada pada puncak kejayaannya, dan menjadi agama negara. Peninggalan yang sangat terkenal dari kuil ini adalah Daibutsu, patung Buddha setinggi 15 meter! Pembuatan patung yang terbuat dari campuran tembaga (499 ton), merkuri (2.5 ton), timah (8,5 ton), dan emas (440 kg) ini konon mengerahkan kurang lebih 3 juta orang.

"Patung Buddha terbesar di dunia dalam Kuil Todai-ji."
Bisa kita bayangkan, bila patungnya sendiri sebesar itu, berapa besar gedung yang memuatnya. Daibutsu-den, demikian nama gedung itu, tingginya 47 meter dan seluruhnya terbuat dari kayu. Inilah bangunan kayu terbesar di seluruh muka bumi. Dari luar gedung itu tampak seolah berlantai dua, yakni dengan adanya dua atap bersusun. Namun, sesungguhnya itu hanyalah perhitungan arsitektur yang cermat untuk membagi beban atap gedung yang sangat besar itu. Bukan hanya itu, penempatan sejumlah pilar besar yang menyangganya juga sangat unik. Tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi berada pada semacam tatakan semen. Semua kecermatan arsitektural itu rupanya untuk mengantisipasi bila terjadi gempa bumi. Bangunan ini dikerjakan selama lima tahun dan selesai dibangun pada 752, dengan ukuran tinggi 47 meter, panjang 51 meter, dan lebar 88 meter. Kayu-kayunya kebanyakan didatangkan dari daerah sekitar Nara, Shiga, Hyogo, dan Mie, dan memanfaatkan aliran sungai Kinki.

Memang, bukan berarti lalu kuil ini terhindar dari bencana gempa bumi. Dalam catatan sejarah, karena gempa bumi, kepala patung itu jatuh dan rusak parah sehingga harus mengalami renovasi. Tetapi, tragedi yang justru meluluhlantakkan bangunan bersejarah ini datang dari manusia sendiri: perang antarklan di pertengahan abad ke-16 yang mengakibatkan kompleks kuil itu terbakar (1180 & 1567), kecuali gedung Sangatsu-do dan gerbang Tegai-mon. dengan terbakarnya Daibutsu-den maka patung Buddha Rushana atau Vairocana itu kehilangan “rumah” lebih dari satu abad! Daibutsu-den baru dibangun kembali pada 1692. Dan bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini adalah hasil dari renovasi tahun 1709.

Kompleks kuil Todai-ji juga dilengkapi dengan sebuah taman yang luas. Menariknya, selain dirindangi oleh pepohonan dan bunga-bunga, taman ini juga “dihiasi” oleh kawanan rusa yang hidup bebas. Pengunjung dapat berfoto dan bercengkerama dengan rusa-rusa ini, apalagi kalau pengunjung membawa kue-kue kesukaan rusa.

Shuni-e atau Omizutori
Bila kita berkesempatan mengunjungi kuil Todai-ji di bulan Maret, itu bertepatan dengan sebuah acara khas Todai-ji: upacara Shunie atau Omizutori. Memang, kita tidak bisa terlibat atau melihat langsung upacara tersebut karena ini merupakan upacara intern kuil. Wisatawan hanya bisa menikmati upacara ini pada malam hari—itupun dari luar—yakni saat obor-obor kuil dinyalakan.

"Tiang-tiang Kuil Todai-ji tidak ditanam, melainkan hanya diletakkan di atas tatakan semen."
Upacara Shuni-e dimulai sejak tahun 752 dan berlangsung di gedung Nigatsudo. Pada awalnya, upacara ini dilangsungkan pada bulan Februari (Shuni-e = upacara bulan kedua). Namun, bersamaan dengan dipakainya sistem kalender matahari maka upacara ini kini berlangsung mulai dari tanggal 1-14 Maret. Inti dari ritual yang juga populer dengan nama Omizutori ini (Omizutori = mengambil air suci) adalah pengambilan air suci dari sumur Wakasa pada jam 02.00 dini hari tanggal 13 Maret. Air suci ini lalu dibagikan kepada pengunjung dan juga dipersembahkan kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas di Nigatsudo. Lalu, airu itu dituangkan ke dalam dua wadah: satu berisi air dari upacara tahun lalu, satu lagi wadah yang berisi air dari ritual sepanjang 1200 tahun!

Maksud dari upacara ini adalah untuk kemurnian hidup manusia di muka bumi ini dengan bersembahyang kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia. Antara lain, mereka berdoa untuk korban bencana alam, perang, kelaparan, dan perwujudan perdamaian dunia. Upacara ini dilakukan oleh sebelas pendeta-Buddha (Rengyoshu) yang selama dua minggu mereka membaca sutra enam kali sehari. Inilah ritual yang paling terkenal di Jepang sejak abad ke-8 dan tidak pernah absen dilangsungkan hingga tahun ini, termasuk ketika Perang Dunia dan kekacauan pasca Perang Dunia II.

Sebagai puncak dari ritual ini adalah pesta obor yang sangat indah, yang populer dengan sebutan Otaimatsu. Sebelas keranjang obor yang sudah dipersiapkan dibawa oleh kesebelas Rengyoshu ke balkon Nigatsudo, lalu diayun-ayunkan di depan pengunjung. Tak salah bila ritual ini disebut-sebut sebagai ritual air dan api yang sangat agung. Dan, seolah melengkapi keagungan dari ritual ini, berakhirnya upacara Omizutori menandai berakhirnya musim dingin di Jepang dan awal dari musim semi yang cantik.
* (telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 27 Juli 2003)

FRANKFURT BOOK FAIR 2006:
Sebuah Ziarah Perbukuan Dunia

oleh Ariobimo Nusantara




Setiap memasuki bulan Oktober, mata dunia perbukuan internasional tertuju pada suatu agenda prestisius, Frankfurt Book Fair (FBF), sebuah pameran buku terakbar di muka bumi ini. Tahun 2006, Frankfurt Book Fair memasuki usianya yang kelima puluh delapan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selama penyelenggaraan pameran (4 – 8 Oktober), Frankfurt ibarat sebuah kota ziarah bagi para profesional perbukuan dari seluruh penjuru dunia, tanpa memandang perbedaan ras, bangsa, agama, budaya, dan sosial-politik. Semuanya seolah lebur dalam sebuah keriaan yang sama: buku.


Bagi masyarakat Frankfurt sendiri, FBF sudah menjelma menjadi sebuah peristiwa budaya yang disikapi secara sinergis oleh hampir seluruh elemen masyarakat. Hal ini menjadi bukti bahwa antara pemerintah dan rakyatnya ada kesamaan komitmen dalam menyikapi perhelatan perbukuan internasional ini. Tak jadi soal apakah itu dengan merelakan tempat usahanya ditempeli poster dan agenda pameran, ataukah –bagi para mahasiswa—menjadi volunteer dalam kepanitiaan (termasuk menjadi penjaga karcis, penjaga pintu, atau sopir bus “wira-wiri” di area pameran). Sistem sarana transportasi publik pun menggratiskan ongkos transpor ke dan dari arena pameran. Dan, tentu saja yang paling menarik adalah partisipasi aktif masyarakat saat kesempatan untuk publik dibuka pada dua hari terakhir pameran. Selain memadati ruang-ruang pameran, para remaja Frankfurt juga bersemangat dalam mengikuti kompetisi ‘Big-in-Japan Cosplay’ yang berhadiah seminggu berlibur di Jepang. Atas partisipasi tersebut, panitia menggratiskan biaya masuk bagi mereka yang berpakaian ala tokoh-tokoh komik Jepang (manga) itu.

Tema Pendidikan
Sebagaimana ditradisikan, setiap tahun panitia selalu mengangkat tema utama. Tahun ini tema yang diangkat bertajuk “Pendidikan untuk Masa Depan”. Tema ini sangat menarik karena berangkat dari kesadaran bahwa “Pengembangan sektor pendidikan akan menentukan masa depan individu, masyarakat, dan khususnya adalah dunia penerbitan,” tegas Juergen Boos, direktur Frankfurt Book Fair, saat membuka pameran. “Dan, mulai tahun ini pula, Frankfurt Book Fair akan fokus pada tema pendidikan dan literasi, sebab masyarakat yang melek baca akan mendukung pertumbuhan bisnis perbukuan di samping meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri,” lanjutnya.

Sejalan dengan tema tersebut, menurut catatan panitia, ada sekitar 1.300 stan yang secara khusus memamerkan produk-produk yang terkait dengan dunia pendidikan. Mulai dari buku pelajaran atau buku teks, buku pengayaan atau pendukung pendidikan, hingga beragam judul referensi bagi dunia pendidikan—termasuk tren model pengajaran masa depan: materi pelajaran yang disajikan secara multimedia.

Sebagai pendukung tema, digelar pula sejumlah seminar/workshop, termasuk kongres guru yang pertama yang membahas peran sekolah dalam meggalakkan program melek baca bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan kampanye melek baca (LitCam: Literacy Campaign)—yang kali ini secara penuh didukung oleh UNESCO. “’Pendidikan untuk Semua’ adalah prioritas bagi UNESCO, mengingat tingkat melek baca masyarakat dunia yang masih belum menggembirakan,” siar UNESCO Institute for Lifelong Learning. Dalam catatan mereka, hingga saat ini lebih dari 770 juta orang di dunia masih belum melek baca. Inilah yang harus diperangi oleh dunia perbukuan secara menyeluruh. Sebab, UNESCO sudah menyatakan bahwa melek baca adalah hak setiap orang dan kunci bagi pengembangan diri manusia.

Secara umum, data statistik pameran kali ini menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kali ini, peserta pameran sekitar 7.272 stan, berasal dari 113 negara, dengan total judul yang dipamerkan kurang lebih 382.466 judul: terdiri dari 270.553 backlist (judul lama) dan 111.913 judul baru! Pertumbuhan yang cukup tajam khususnya terjadi pada sektor rights agent (bank naskah), yang tahun ini jumlahnya ada 283 agen. Peningkatan jumlah agen naskah ini patut dicermati sebagai tren yang akan terus berkembang di masa depan. Dari tahun ke tahun jumlah penerbit yang menyerahkan pengelolaan hak ciptanya kepada agen menunjukkan pertumbuhan positif. Hingga akhir pameran, total jumlah pengunjung mencapai sekitar 286.000 orang, terpaut sedikit dibanding jumlah pengunjung tahun lalu yang tercatat 284.838 orang. (diolah dari: Presse & Unternehmenskommunikation)

India: Guest of Honour 2006



"Sebagian profil pengarang India yang karyanya ditampilkan dalam pameran. "



Menjadi Guest of Honour (tamu kehormatan) bagi India bukanlah pengalaman baru, sebab pada 1986 India pernah menjadi tamu kehormatan. Tahun ini India hadir dengan mengangkat motto “Today’s India” dengan menampilkan sejumlah program budaya, antara lain sastra, musik, tarian, dan film. Lebih dari 150 penerbit ambil bagian dalam pameran (jumlah ini tentu sangat kecil dibanding estimasi jumlah penerbit di India yang mencapai 16.000 penerbit) dan sekitar 70 pengarang India ikut menyemarakkan acara dalam pelbagai diskusi. Nama-nama seperti Amitabh Gosh, Mahashweta Devi, Amit Chaudhuri, Vikram Seth, Arundhati Roy, Vinod Kumar Shukla, Kunwar Narayin, G.P. Deshpande, Shaharyar, Javed Akhatr, dan K. Jayakantan adalah sedikit di antara pengarang India yang telah go international.


"Sebagian karya Guest of Honour dapat
dinikmati secara audible."
Di bawah koordinasi National Book Trust, India menampilkan sekitar 2000 hasil karya pengarang India, termasuk di antaranya karya-karya yang ditulis setelah India merdeka dari Inggris pada 1947. Tentu saja tak ketinggalan, sejumlah produksi Bollywood ikut unjuk diri menyemarakkan pameran ’kebangkitan India’ ini.


India memang pantas menjadi tamu kehormatan (lagi) pada acara ini. Dalam sebuah situs resmi perbukuan India dikatakan bahwa industri perbukuan India memang penuh keunikan, barangkali ia menjadi satu-satunya negara di dunia ini yang menerbitkan buku dalam 24 bahasa lokal, di samping bahasa Inggris. Dengan populasi yang lebih dari satu miliar penduduk dan sekitar 77.000 judul baru terbit setiap tahun (sekitar 40%-nya atau 20.000-an judul menggunakan bahasa Inggris) India bukan hanya menjadi “raksasa budaya” tetapi juga akan berkembang menjadi pasar buku dan media yang cukup menjanjikan. Banyaknya terbitan dalam bahasa Inggris ini akhirnya menempatkan India ke dalam peringkat ketiga negara-negara yang memiliki terbitan dalam bahasa Inggris terbanyak (setelah Amerika dan Inggris).


Pesatnya pertumbuhan penerbitan buku di India juga berkat dukungan dunia internasional yang turut menjadi konsumen produksi buku India, khususnya dalam bidang filsafat, agama, yoga, budaya, sejarah, dan sastra. Bahkan tak jarang buku-buku perguruan tinggi India juga diserap oleh negara-negara berkembang. Bagi India, buku sudah menjadi komoditas ekspor yang mencapai 4.3 juta rupees per tahun. Dan, jumlah ini tampaknya akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang mengingat sales yang dicapai oleh India dalam pameran kali ini pun meningkat tajam.


Naringer Singh Randhawa, salah seorang direktur National Book Trust, lembaga yang menjadi koordinator delegasi, mengatakan bahwa di dalam delegasinya ia juga menyertakan sejumlah penerbit baru yang sama sekali belum pernah berurusan dengan dunia internasional. Mereka boleh disebut penerbit skala kecil dan menengah, namun mereka adalah calon pebisnis di masa depan. Sebab, keikutsertaan mereka kali ini lebih ditekankan pada aspek belajar ‘bisnis internasional’ dari para seniornya sekaligus mengenal perkembangan dunia penerbitan internasional. “Kami tidak bisa menutup diri terhadap perubahan dunia yang begitu pesat, termasuk perkembangan kualitas yang dihasilkan oleh negara lain,” tegas Randhawa.

Ziarah Perbukuan
Mengunjungi Frankfurt Book Fair, tampaknya memang bukan sekadar memasuki suatu ‘pesta buku’ melainkan lebih tepat disebut sebagai melakukan suatu ‘ziarah buku’. Mengapa demikian? Di zaman yang serba digital ini, komunikasi bisnis tak lagi mengenal batas-batas ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, kalau perlu, kesepakatan bisnis sudah bisa dicapai melalui teknologi Internet. Pun, memindai judul-judul untuk dialihbahasakan juga lebih nyaman dilakukan lewat berselancar di dunia maya. Yang penting mata dan telinga cukup jeli dalam menangkap kecenderungan pasar.


Bila demikian, apa manfaat secara langsung dari mengunjungi FBF? Ada yang mengatakan bahwa inilah sisi humanis dari bisnis. FBF menjadi ajang perjumpaan pribadi antarpenerbit untuk membina hubungan baik dan kedekatan, yang akan sangat berpengaruh dalam kelangsungan bisnis itu sendiri. “Sekali lagi, pameran buku terbesar di dunia ini telah menunjukkan betapa sangat diperlukannya pameran ini bagi penerbit, penjual, pengarang, dan pembaca untuk bertemu secara personal. Mereka tetap memerlukan forum internasional yang dapat memberi dampak secara global,” tegas Dr. Gottfried Honnefelder, President of the German Publishers & Booksellers Association - Börsenverein.


Dengan kata lain, mengunjungi FBF tak melulu harus berujung pada jual/beli hak cipta. Atmosfer FBF juga bisa dimanfaatkan oleh penerbit untuk berbenah dan meneguhkan diri. Bahkan bukan tak mungkin FBF berpotensi untuk mengubah visi, mimpi, hingga strategi bisnis pengunjungnya—terutama para profesional perbukuan. Bayangkan saja, bila penerbit amatir India yang hadir tahun ini diramalkan akan menjadi pebisnis internasional beberapa tahun ke depan, di manakah penerbit-penerbit terkemuka Indonesia pada saat yang sama? Bagaimanakah kita akan menyikapi fenomena ini? Mungkinkah pada periode yang sama penerbit kita telah melangkah lebih pesat dibanding penerbit amatir India tersebut, ataukah justru menjadi pasar bagi penerbit amatir India ini?


Sampai di sini kita belum bicara tentang mimpi menjadi Guest of Honour. Dalam sebuah obrolan singkat dengan Warran Holger, seorang pengajar dari Goethe University yang setia mengunjungi dan mengamati Frankfurt Book Fair, kami berhitung mengenai modal apa saja yang diperlukan untuk meraih mimpi itu. Modal minimal tentu saja berupa rapor perbukuan nasional: berapa banyak judul lokal yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing, atau berapa besar peta kekuatan judul lokal yang berpotensi mengglobal. Tentu saja, peranserta pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya bisnis perbukuan di Tanah Air juga akan menjadi catatan tersendiri.


"Produk lokal tak kalah menarik dengan produk
luar."

Oleh karena itu, menurut Holger, jika pun kesempatan itu ada, Indonesia harus bersaing dengan Malaysia yang sudah sejak beberapa tahun siap untuk menjadi Guest of Honour. Sejak beberapa tahun terakhir, Malaysia memang amat bersemangat mendekati penyelenggara Frankfurt Book Fair agar peristiwa besar di Jerman itu bertemakan karya-karya buku berbahasa Melayu. Bahkan secara konsisten Malaysia tak pernah absen mengutus wakil-wakilnya. Sebagai catatan, bila pada 2004 Indonesia diwakili oleh lima stan, Malaysia sudah mensponsori sepuluh stan. Satu-satunya wajah Indonesia hanya diwakili oleh stan GagasMedia—itu pun sebagai stan undangan khusus.

Masih ada cara untuk mewujudkan mimpi ini, hibur Holger, Indonesia (dan mungkin juga Brunei Darussalam dan Singapura) bukannya bersaing dengan Malaysia, melainkan justru mendukung upaya yang tengah dirintis Malaysia—menjadi sebuah desakan kepada panitia, bukan atas nama suatu negara, melainkan atas nama karya-karya berbahasa Melayu/Indonesia.


Dengan langkah ini, bukan tak mungkin panitia Frankfurt Book Fair akan tergerak untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, sebuah misi diplomasi kebudayaan—khususnya dalam bidang perbukuan—harus mulai dijajagi di tingkat reginoal dan internasional. Kesempatan terdekat adalah pameran tahun 2009 atau 2010, mengingat panitia telah menetapkan tamu kehormatan tahun 2007 (Budaya Catalan) dan 2008 (Turki).


Di tataran riil, catatan ini barangkali bisa menjadi bahan refleksi bagi penerbit Indonesia, di tengah fenomena ‘diskon gede-gedean, cuci gudang, dan jual buku murah’ yang semakin menggejala di kalangan penerbit Indonesia. Ke manakah penerbitan buku di Indonesia akan dibawa melangkah?



"Penerbit kelas dunia berlomba menyediakan tempat yang nyaman
untuk transaksi bisnis."

ANNECY YANG SEKSI:
Sisi Lain Romantisisme Prancis

oleh Ariobimo Nusantara

Annecy? Bisa tolong spelling-nya?” begitulah kurang lebih pertanyaan yang saya dapatkan ketika hendak mengurus perjalanan ke sana. Bahkan, ketika melaporkan keberangkatan saya di counter check-in di Frankfurt, saya mendapat pertanyaan yang kurang lebih sama.
“Annecy? Have you been there before?” Ketika saya jawab ‘belum pernah’ dan balas bertanya ‘ya, kenapa?’ Dengan senyum ramah kurang lebih ia mengatakan bahwa ‘tidak banyak orang (asing) yang berkunjung ke sana, tapi Anda pasti akan menyukainya.’ Boleh jadi, dalam hatinya ia bertanya, mengapa saya tidak memilih mengunjungi Paris atau kota-kota besar lainnya di Prancis.
Airport terdekat dengan Annecy adalah bandara Lyon. Penerbangan Frankfurt-Lyon memerlukan waktu sekitar satu jam. Benar juga kata petugas ground crew tadi, sepesawat tak banyak orang asing (apalagi dari Asia seperti saya) yang berkunjung ke Annecy. Situasi ini setidaknya mulai memengaruhi benak saya yang semakin penasaran, seperti apakah kota Annecy itu? Tapi, rasa penasaran itu masih harus saya simpan mengingat perjalanan dari bandara Lyon ke Annecy, kurang lebih memerlukan waktu 2 jam melalui jalan tol (tentu waktunya akan lebih singkat bila ditempuh dengan kereta api, langsung dari bandara ke stasiun kereta di Annecy). Maklum, jarak kota ini dari kota Lyon adalah 133 km, sedangkan bila ditempuh dari Paris jaraknya bisa mencapai 545 km. Namun, bila ditempuh dari Jenewa, kota ini justru hanya berjarak 43 km!
Hal ini tidak mengherankan karena kota kecil di Prancis tenggara ini lokasinya cukup strategis, berbatasan langsung dengan Italia dan Swiss (Jenewa). Dengan demikian, bagi mereka yang gemar melancong, Annecy bisa menjadi tempat persinggahan yang mengasyikkan sebelum melakukan perjalanan ke kawasan pegunungan Alpen di Eropa, yang panjangnya 1.100 kilometer itu, yang dimulai dari tepian Mediterranian, antara Prancis dan Italia. Puncak-puncaknya yang runcing tertutup salju, diselingi oleh hamparan lembah hijau di kaki perbukitan, menjadikan Alpen sebuah rangkaian pegunungan yang memiliki pesona tersendiri. Dari Annecy, wilayah pegunungan ini bisa dicapai dalam waktu satu jam berkendara mobil pribadi.

Meski demikian, Annecy juga bukan kota yang terpencil dari pergaulan internasional. Setidaknya dua kali dalam setahun kota ini menjadi pusat perhatian dunia film karena menjadi tuan rumah Annecy International Animated Film Festival (Festival du film d’animation) setiap bulan Juni dan Annecy Italian Film Festival (Festival du film Italien d’Annecy) setiap bulan Oktober. Bahkan setiap akhir bulan Maret kota ini juga menjadi tuan rumah biennal Spannish Film Festival.



“Venice of Savoie”

"Dasar Danau Annecy yang tampak jelas dari permukaan air."

Barangkali tidaklah berlebihan bila Annecy kita sebut sebagai kota budaya karena di kota ini kita juga masih bisa menyaksikan saksi sejarah cikal bakal kota Annecy, dikenal dengan sebutan area Annecy Tua. Terletak di sebelah utara dari sebuah danau alam yang cukup luas (+ 27 km2), yang dikelilingi oleh gunung-gunung Semnoz, Mont Veyrier, Dents de Lanfon, dan Tournette. Tak ayal, danau alam terbesar kedua di Prancis ini menjadi simbol bagi kota itu. Selain luas, danau Annecy juga terkenal sangat jernih—seolah kita sedang berada di sebuah kolam renang raksasa. Kawasan danau Annecy ditata menjadi semacam taman kota yang sangat asri dan romantis—tempat olahraga, rekreasi, dan interaksi bagi masyarakat umum.


"Ruang publik di sekitar
danau."

Satu hal yang patut dicatat dari ruang publik ini adalah kebersihan dan kenyamanan yang sangat dijaga sehingga membuat betah siapa pun yang berada di sana. Di tempat ini pula kita akan menjumpai Pont des Armours à Annecy atau Jembatan Cinta, sebuah jembatan klasik yang berada di samping danau, di atas kanal "le Thiou" yang menyeberang menuju Annecy pusat. Berdiri di atasnya kita akan mencecap segarnya udara, jernihnya air danau, dan berpasang angsa yang berenang-renang di air danau. Sungguh romantis dan sesuai dengan namanya. Konon, mereka yang sedang berpacaran, bila berciuman di jembatan ini, hidupnya akan bahagia. Entah sudah berapa banyak jembatan ini menjadi saksi bisu pasangan-pasangan yang sedang jatuh cinta.

Menyusur danau ini ke arah utara, akan membawa kita ke “patisari” dari kota Annecy, yakni kota Annecy tua (semacam kawasan Kota Lama Jakarta atau Kotagede di Yogyakarta) yang dikenal dengan sebutan Haute Savoie.


"Pemandangan dari atas
jembatan le pont des
armours. "

Sungguh mengagumkan, di sana kita bisa menemui bangunan-bangunan abad ke-12, pasar tradisional, serta sejumlah tempat penunjang wisata. Tapi tentu yang sangat menarik adalah adanya kanal yang membelah kota tua itu, yang konon pernah berfungsi sebagai prasarana transportasi. Itu sebabnya, Annecy juga mendapat julukan sebagai “Venice of Savoie” atau Venisia dari Savoie—mengingatkan kota kanal Venisia di Italia. Menariknya, meski sudah tidak aktif digunakan lagi, kanal tua ini tetap terpelihara kebersihannya. Tak terlihat sedikit pun sampah dibuang ke dalamnya, meski di kanan kiri kanal itu kini banyak berdiri kafe, restoran, bahkan pasar tradisional yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari.



"Keindahan Venice of Savoie dengan kafe teras di kanan-kiri dan latar belakang pasar tradisional."


Menjelajah pusat kota lama yang sarat dengan peninggalan bangunan bersejarah ini tak cukup sekali. Menyusuri jalanan sempit yang dipagari oleh gedung peninggalan abad pertengahan ini menghadirkan suasana romansa tersendiri. Suasana abad pertengahan dan kehidupan modern tampak menyatu dengan hadirnya kafe-kafe masa kini. Duduk berlama-lama menikmati secangkir kopi hangat dengan camilan "les roseaux du lac" (tongkat bambu kecil dari coklat)—pastry khas Annecy—di tempat ini tidak akan pernah terasa membosankan. Keramahan orang Prancis dan aroma pastry yang menggoda selera menjadi bumbu penyedap selama berada di kota tua ini. Atau, bila ingin sekadar melemaskan kaki, berjalan menyusuri pasar tradisional juga menjadi alternatif yang sangat dianjurkan. Boleh jadi inilah pasar tradisional dengan pengunjung internasional.



"Palais de L'Isle yang berdiri dingin."
Kota Annecy tua ini menjadi salah satu objek wisata yang digemari baik oleh wisatawan lokal maupun internasional. Di antara beragam bangunan tua yang masih eksis, ada satu bangunan yang langsung mencuri perhatian karena berdiri dingin-kokoh di tengah kanal; itulah Palais d L’Isle. Semula bangunan ini adalah rumah penguasa Annecy di abad ke-12, yang kemudian berubah fungsi menjadi gedung administratif kota, dan terakhir pada abad pertengahan hingga tahun 1865 disulap menjadi sebuah penjara. Bisa dibayangkan, bagaimana bangunan yang kini menjadi objek turisme ini, pada masanya pernah menjadi bangunan yang sangat menakutkan di mata masyarakat setempat.

Bicara tentang keindahan arsitektur bangunan di area ini tentu tak akan ada habisnya. Bekas kota lama ini memelihara dengan baik keutuhan bangunan-bangunan arkhaik berusia ratusan tahun, meski sebagian peruntukannya sudah berubah menjadi bangunan komersial, ada yang menjadi kafe atau restoran, ada pula yang beralih fungsi sebagai toko cinderamata. Toh demikian pemerintah atau pun pemiliknya tak sedikit pun tergiur untuk lalu merombak, menghancurkan bangunan-bangunan tua itu, demi alasan komersialisasi wisata.

Demikian pula sejumlah gereja yang berdiri di wilayah ini tetap berfungsi sebagai tempat peribadatan. Benar, di situs ini berdiri sejumlah gereja, uniknya ada yang letaknya saling sebelah-menyebelah. Ada gereja Notre Dame de Liesse; Katedral St. Pierre yang dibangun pada abad ke-16 dan kaya akan karya seni baroque dari abad ke-19; gereja St. Maurice yang terkenal dengan bangunan gaya gothic-nya serta lukisan-lukisan klasik dari abad 15 dan 16; dan gereja St. François. Uniknya, keempat gereja yang saling berdekatan itu masih aktif digunakan hingga kini. Selayaknya gereja-gereja kuno, kesan adem dan tenteram langsung menyapa kita begitu menginjakkan kaki di pintu masuknya.

Bangunan yang juga tidak boleh dilewatkan adalah Chateau d’Annecy yang kini menjadi museum yang menyimpan banyak cerita tentang sejarah Annecy dan sekitarnya. Letaknya yang berada di atas pegunungan Semnoz menjadikannya tempat yang sempurna sebagai sebuah museum sejarah kota karena dari tempat ini kita bisa memandang seisi kota berikut danau Annecy yang cantik itu—ibarat mengamati sebuah maket raksasa yang alami.

Annecy boleh dibilang perpaduan dari birunya danau, hijaunya pegunungan, dan arkhaiknya bangunan-bangunan abad pertengahan. Sebuah perpaduan yang menjadikan kota ini menyajikan sisi lain romantisme Prancis. Semuanya menyatu dengan sangat alami dan sempurna, tanpa kesan adanya rekayasa lansekap yang dipaksakan untuk menjadikannya tempat wisata kelas dunia.

* (telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 6 April 2008)