Saturday, May 02, 2009

KIAT MERENGKUH PASAR REMAJA
Oleh : A. Ariobimo Nusantara

Dalam kebijakan pemasaran ada kepercayaan bahwa salah satu lahan bisnis yang menuntungkan adalah pasar remaja. Kepercayaan ini bukan tanpa alasan, karena menurut laporan Survei Research Indonesia (SRI) dari tujuh kota besar di Indonesia, seperlima dari pasar adalah kaum remaja.

Maka tidaklah mengherankan bahwa kelas ini diincar oleh banyak produk yang diciptakan khusus untuk mereka. Misalnya, Close Up, Belia, Nike, BENETTON, SWATCH. Bukan hanya itu, produsen pun tampaknya berani berspekulasi untuk tumpang tindih mengeluarkan produk-produk sejenis. Contoh konkret misalnya, di tahun 1980-an remaja kita begitu tergila-gila pada jam merek ALBA. Tetapi popularitas ALBA mendadak tergeser oleh SWATCH. Itu pun tidak lama bertengger karena kemudian BENETTON mampu meraup perhatian remaja kita. Demikian berturut-turut, sampai munculnya demam BOSSINI dan GUESS akhir-akhir ini.

Menurut Ronald Alsop dan Bill Abrams dalam The Wall Street Journal on Marketing, para pemasar setuju bahwa pasar remaja adalah pasar yang tidak pernah stabil. Untuk itu, bila ingin tetap menyasar pasar remaja David Hirsch, Presdir dari Santa Cruz Import Inc., pernah menyarankan agar perusahaan mempunyai budaya yang mampu mengatisipasi setiap perubahan selera remaja.

Remaja sebagai “Trendsetter”
Kondisi yang sama juga terjadi dalam industri perbukuan. Remaja tahun 1980-an begitu tergila-gila pada buku-buku petualangan misalnya Cerita dari Lima Benua dan Seri Lima Sekawan. Tetapi, selera itu secara drastis berubah di tahun 1990-an. Lewat seri Lupus seakan-akan kaum remaja kita menemukan selera dan idola baru. Tokoh yang sedikit urakan, gaya bahasa yang manasuka, dan kemasan yang nyleneh ternyata sangat digemari. Begitu pula ketika komik-komik terjemahan mulai mengisi outlet-outlet toko buku Indonesia, kaum remaja akan semakin termanjakan. Komik-komik dengan cerita silat ringan dan romansa menjadi oase yang menyejukkan dahaga keliaran imajinasi mereka.

Judul lain yang juga mendapat sambutan adalah seri Goosebumps dan Fear Street keduanya karya R.L. Stine. Berbeda dengan dua jenis buku sebelumnya, Goosebumps dan Fear Street menyuguhkan cerita-cerita super seram dan misteri yang menengangkan. Bahkan, untuk mengikat loyalitas pembaca, penerbit kedua buku ini berani menjamin setiap bulan muncul judul baru.

Memang, salah satu strategi untuk mereguk profit dari menerbitkan buku-buku remaja adalah memelihara baik-baik loyalitas pembaca. Keberhasilan dari strategi ini sudah teruji. Ambil contoh, ketika remaja kita sedang gandrung pada Lupus, strategi promosi dan pemasaran buku ini lalu mendapat perhatian khusus. Misalnya, mengadakan jumpa penggemar dengan pengarang; menjamin kelancaran terbitnya judul baru setiap bulan; dan setelah mulai mengakar membuat varian dari seri ini (Lupus kecil).

Dampaknya sungguh luar biasa. Seri Lupus telah tercetak di atas satu juta eksemplar, satu angka fantastis bagi dunia perbukuan. Bahkan mungkin angka ini masih bisa didongkrak lagi mengingat tokoh Lupus mulai digarap lewat sinetron.

Hal yang sama juga dialami oleh komik-komik terjemahan. Meski di sana-sini masih terdengar upaya penolakan terhadap produk ini, toh judul-judul unggulan dari komik terjemahan minimal dicetak 40.000 eksemplar. Angka ini akan semakin terlihat fantastis karena setiap judul terdiri dari belasan hingga puluhan nomor. Bahkan posisi produk ini dikabarkan semakin kuat mencengkram dan mampu meluaskan pasar sasaran ketika jaringan televise swasta ikut menayangkannya dalam bentuk film kartun.

Kendala Penerbit Indonesia
Sayangnya, seperti sering dikeluhkan, kebanyakan buku yang digemari oleh remaja kita adalah karya-karya asing yang dialih-bahasakan. Memang, inilah masalah laten dunia penerbitan kita. Dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak dan remaja. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabarnya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan bacaan anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri “Pengarang Bacaan Anak-anak dan Remaja”. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-anak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60 penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Ditilik dari sisi pengarang kondisinya lebih menyedihkan. Untuk produk sekelas Lupus, kita hanya memiliki Hilam Hariwijaya, Gola Gong, Zara Zetirra ZR, Mira W, Gus TF Sakai, Bubie Lantang, Lutfie dan Dwianto Setyawan. Kondisi ini jelas tidak sebanding dengan gejolak dinamis konsumen remaja, sehingga tidak mengherankan jika penerbit selalu terseok-seok dalam mengantisipasi setiap perubahan selera remaja.

Mendulang Selera Remaja
Lantas bagiamanakah cirri utama buku yang digemari remaja kita saat ini? Yang jelas, bukan buku dengan plot cerita yang datar-datar saja, yang hanya berkisa tentang tokoh Tono dan Tini (meminjam istilah P. Drost. SJ), yakni tokoh yang selalu alim, berbudi baik, penurut , dan seabreg nilai positif. Yang sedang digandrungi adalah sosok yang benar-benar jauh dari dunia keseharian mereka, yang memberi sentakan-sentakan tersendiri. Kebetulan, cirri utama ini baru ditemukan dalam buku-buku sekelas Lupus dan cerita impor.

Mari kita urai bersama. Lupus misalnya, dia digambarkan sebagai tokoh yang urakan, ceplas-ceplos, suka jail. Bagaimana dengan tokoh Usagi dalam komik Sailor Moon? Sama saja. Karakter Usagi adalah seorang siswa SMP yang suka bangun kesiangan dan nilai ulangannya selalu jelek. Namun, kekurangan itu ditutup dengan unsur heroik dan romantisme yang memukau. Nah, formula inilah yang perlu dikembangkan oleh para pengarang buku yang bersasaran remaja.

Pendeknya, pengarang tak perlu membangun cerita berdasarkan plot-plot keseharian, tetapi bisa ‘liar’ meloncat kemana saja berusaha mendulang tren, selera dan gejolak remaja yang dinamis. Inilah sejumput kiat bagi penerbit dan pengarang yang hendak menyasar pasar remaja.



[pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku 1995]
QUO VADIS BACAAN ANAK-ANAK?
Oleh A. Ariobimo Nusantara

Menjelang tahun 2001 tampaknya kita akan menjumpai suatu pemandangan yang cukup menyedihkan dalam dunia perbukuan, khususnya dalam hal interaksi antara anak dan buku. Bagaimana tidak, jika sekarang saja kita sudah sulit menemukan anak yang tergolong kutu buku. Peranan buku semakin tersingkir dan keberadaannya digantikan oleh media yang lebih menarik – media pandang dengar dalam bentuk siaran televisi, video, hingga laser disc.

Sebagai orangtua, kita seolah tidak berdaya dan hanya mampu menjadi penonton dari melebarnya jurang pemisah antara anak dan buku. Sementara pihak lain, penerbit – dengan kemampuannya masing-masing – berusaha untuk mencari terobosan di sana-sini guna mengimbangi membanjirnya arus informasi melalui siaran pandang dengar itu. Meskipun di satu sisi posisi buku kian terpuruk, di sisi lain keberadaan buku sebagai media informasi tertulis tidak akan pernah tergantikan. Oleh sebab itu, pentingnya buku sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa juga diamanatkan dalam GBHN 1983. Bahkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) atau organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di lingkungan PBB sendiri sudah mencanangkan semboyan “buku untuk semua”.

Dilema Buku Anak-Anak di Indonesia
Pada hakekatnya, buku merupakan sarana komunikasi tulis yang mendokumentasikan sekaligus menyampaikan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Selain itu, buku juga merupakan sarana yang uckup strategis untuk mempengaruhi opini publik dan sebagai penentu tingkah laku. Artinya, buku mampu meningkatkan mutu hidup manusia, tetapi juga mampu menggiring pembaca ke a lam fantasi yang jauh dari akar budaya dan kepribadian bangsa. Khusus bagi anak-anak (membaca) buku berdampak: anak akan tahu segala hal, membuka wawasannya, menambah pengalaman batin, dan membuat anak menjadi gembira. Masalahnya sekarang adalah bagaimana situasi perbukuan di Indonesia?

Jika diperhatikan, sejak tahun 1987 grafik produksi buku nasional cenderung bergerak turun. Kalau produksi b uku pada tahun 1987 ada 6.000 judul, pada tahun 1988 dan 1989 turun menjadi 4.000 judul Bahkan kini kabarnya, produksi buku nasional tahun-tahun ini hanya berkisar antara 1.000-3.000 judul. Dari sekian judul itu, hitung saja berapa judul kira-kira buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Bila dibandingkan dengan negara anggota asean lainnya, tampak jelas bahwa Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabaranya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan buku anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri ‘Pengarang Bacaan Anak-Anak dan remaja’. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-nak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak (Kompas, 12 Agustus 1993).

Kelesuan penerbitan buku anak ini sebenarnya diawali ketika proyek buku Inpres mulai menurun. Proyek yang berkibar pada dekade 1970 hingga 1980-an ini kabarnya sempat menggemukkan beberapa penerbit dan pengarang Indonesia. Betapa tidak, sejak tahun 1973 saja proyek ini telah mengucurkan dana sebesar 651.6 miliar rupiah.

Namun, proyek besar itu kemudian kandas di tengah jalan, berbarengan dengan menyurutnya kualitas buku-buku itu sendiri. Bahkan begitu proyek ini mulai surut, banyak penerbit buku yang memilih gulung tikar atau mengalihkan modalnya ke usaha lian yang lebih menguntungkan. Sinyalemen ini menunjukkan bahwa banyak pemodal yang berkedok penerbit karena hanya mau menerbitkan buku (anak) bila situasi benar-benar menguntungkan dari segi bisnis. Mereka tidak berangkat dari tradisi intelektual atau idealisme.

Berangkat dari sinyalemen itu, wajarlah kalau dewasa ini muncul semacam gugatan dari masyarakat terhadap kemampuan penerbit Indonesia dalam menerbitkan buku anak yang bermutu unggul. Sebenarnya, dari kalangan penerbit sendiri sudah ada rasa risih kalau harus terus menerus menerbitkan karya terjemahan. Alasan utamanya, buku-buku tersebut dapat menyebabkan posisi buku-buku karya pengarang dan cerita lokal kian terdesak, meskipun diakui bahwa penerbitan karya terjemahan lebih murah dan menguntungkan. Akan tetapi, di lain pihak, penerbit sendiri juga kesulitan menemukan pengarang lokal yang berkualitas dan mampu mengethaui kebutuhan anak zaman sekarang, sementara roda penerbitan harus terus berputar. Kondisi yang sangat dilematis inilah yang akhirnya memaksa penerbit untuk berburu cerita terjemahan.

Dari sisi persebaran buku, snagat terasa bahwa buku-buku yang mengandung informasi mutakhir masih menjadi milik anak-anak di perkotaan. Sebaliknya, anak-anak di desa sangat kekurangan bacaan. Mereka hanya mengandalkan perpustakaan sekolah yang miskin koleksi sehingga hanya membaca buku-buku lama yang mungkin sudah berkali-kali dibaca.

Back to Comic
Mengembalikan “kejayaan” buku Inpres seperti di tahun 1970-an di tengah menderasnya arus globalisasi ini tidaklah gampang. Perkembangan wawasan serta pola pikir anak-anak sekarang ternyata begitu cepat dan melampaui perkiraan kita. Anak sekarang, yang merupakan generasi di tahun 2001 nanti adalah generasi yang lahir di tengah-tengah segala hal yang serba instan dan serba mutakhir. Mereka lebih terbiasa mencerna keampuhan “pedang matahari” atau “senapan laser” daripada “keris Empu Gandring” atau “Nagasasra, Sabuk Inten”. Pahlawan mereka sekarang bukan lagi yang ber”otot kawat balung wesi”, tetapi yang seluruh tubuhnya terbungkus baja. Pendeknya, semua yang serba futuristik yang kini tengah menguasai sebagian imajinasi anak.

Dalam hal bacaan, anak sekarang lebih selektif lagi. Mereka tidak mau menyentuh bacaan-bacaan yang dikemas seperti bacaan tahun 1970-an dulu. Mungkin karena pengaruh yang serba instant tadi, anak lebih memilih bacaan yang mampu memberi kenikmatan membaca (teks) dan melihat (gambar) sekaligus, yang lazim disebut komik. Itu baru dari segi penyajian. Dari segi ide cerita, anak ternyata juga lebih cenderung lekat pada tokoh-tokoh impor, baik yang dilahirkan di Negeri Paman Sam maupun yang lahir di Negeri Sakura. “Permintaan pasar" inilah yang akhirnya mendorong penerbit untuk berlomba-lomba berburu copyright ke kedua negara tersebut.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya kehadiran komik di Indonesia bukanlah hal baru. Kita tentu masih ingat ketika pada tahun 1970-an komik-komik H.C. Andersen, Tintin, atau album Donal Bebek menjadi bagian dari bacaan kita. Begitu pula dengan boom komik-komik lokal seperti karya Jan Mintaraga, Ganes TH, Hans Jaladara, dan Teguh Santosa. Meskipun demikian, tampaknya “selera zama” lebih memainkan peranan. Komik-komik k arya koikus lokal semakin hari tampak semakin kedodoran dan pasrah menjadi saksi berkibarnya komik-komik terjemahan di negeri ini. Sebaliknya, di Negeri Sakura komik (lokal) justru sedang mengalami booming yang mencapai 2,16 miliar kopi. Demikian pula yang terjadi di Amerika, komik (setempat) mendapat tempat yang layak di negerinya sendiri.

Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1994 ini, cerita sedih tentang komik Indonesia tampaknya mulai mendapat pelipur lara. Seiring dengan perputaran selera yang “back to comic”, di pasaran mulai muncul komik Indonesia yang dikemas sejajar dengan kualitas komik terjemahan. Langkah ini diawali oleh Dunia Fantasi dengan melontarkan komik Ramayana yang dikemas dengan gaya futuristik. Ide atau pakem cerita tetap seperti aslinya, hanya visualisasi gedung, senjata dan kostum para tokohnya sedikit dipoles dengan sentuhan “tahun 3000”. Tidak lama kemudian, Elex Media Komputindo juga melontarkan seri komik lokal dengan kualitas komik terjemahan, berjudul Imperium Majapahit. Bedanya, komik terbitan Elex tetap setiap pada pakem aslinya secara utuh, meskipun kedua jenis komik itu dihasilkan oleh komikus yang sama: Jan Mintaraga.

Melihat kehadiran kedua “kelinci percobaan” tersebut, dapat diprediksi bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi trend komik anak-anak di Indonesia akan dibawah kembali kepada cerita-cerita lokal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kehadiran komik terjemahan tampaknya sudah mencapai titik jenuh. Jika ramalan ini bisa dibenarkan, penerbit dan komikus Indonesia harus mulai bersiap-siap bekerjasama lagi mengantarkan cerita-cerita lokal kepada anak-anak generasi tahun 2001.

Penutup
Menggiatkan kembali peta buku anak nasional, seperti yang pernah berkibar di tahun 1970-an memang merupakan suatu tantangan yang cukup berat bila ditinjau dari lesunya dunia perbukuan dan perekonomian saat ini. Namun, tanpa usaha dan upaya yang didukung kemauan yang sungguh-sungguh dan kerja sama antar-lingkungan terkait, rasanya akan sulit membangkitkan gairah baru dalam penulisan buku anak-anak Indonesia beserta pemasyarakatannya. Apalagi bila kita tidak mau dikatakan tertinggal dari negara-negara lain baik ASEAN maupun Eropa. Kiranya inilah yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus tanggung jawab kita, baik sebagai orangtua, pendidik, maupun kalangan penerbit.


[tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 1994]
TIPS BINA GEMAR MEMBACA
Oleh A. Ariobimo Nusantara

Persoalan meningkatkan gemar membaca barangkali sudah menjadi topik yang selalu diulang-ulang setiap kali ada kegiatan perbukuan. Bisa jadi ada di antara kita yang sudah “putus asa” menghadapi persoalan ini. Alhasil, kata-kata “Meningkatkan Gemar Membaca” pun dirasa sekadar slogan, basa-basi belaka yang hasilnya sukar teraba.

Benar memang. Membiasakan gemar membaca (di Indonesia) bukan masalah enteng. Konon, ada yang menyebut bahwa hal ini merupakan indikasi kuat bahwa tradisi lisan teramat melekat erat di masyarakat. Buktinya, orang lebih senang menghabiskan waktu dengan mengobral obrol; lebih betah memelototi televisi atau memeluk radio berjam-jam lamanya ketimbang membaca; pertunjukan musik, layar tancap, arisan dan seminar lebih mudah menarik massa daripada pameran buku.

Dari sini, semakin kentaralah bahwa perubahan drastis ke arh masyarakat gemar membaca masih membutuhkan waktu panjang. Namun, bukan berarti kondisi ke arah itu tidak bisa diciptakan. Salah satunya ialah dengan sedini mungkin mendekatkan anak dengan buku. Mengutip pendapat Prof. Janine Despinette, seorang ahli dan kritikus buku anak asal Prancis, bahwa sejak usia dini anak juga perlu belajar mendengarkan cerita yang dibacakan orangtua atau guru mereka, sehingga mereka mampu menghargai apa yang ada dalam cerita itu.

Sayangnya, sekarang banyak orangtua sudah semakin sibuk untuk mengemban tugas ini. Sementara, anak belum siap dilepas sendiri mengupas buku-buku cerita. Lantas, usaha apa yang pantas dilakukan agar anak semakin berjabat erta dengan buku?

Banyak saran mengatakan alangkah baiknya jika orangtua bisa menyediakan waktunya untuk menemani anak dalam memilih bacaannya, bahkan kalau perlu ikut menyukai dan membacakannya. Dengan demikian, orangtua dapat mengarahkan dan menjelaskan kepada anaknya bacaan apa yang sesuai dengan usia dan tingkat pengetahuannya. Tetapi, bagaimana bila saran ini kurang mempan bagi bangsa yang terlanjur akrab dengan tradisi lisan?

Karen O’Connor, dalam buku How to Hook Your Kids on Books (diterbitkan Thomas Nelson Publisher: Neshville, 1995), mencoba menjawab masalah semacam itu. Ia mengulas berbagai teknik dan cara mendorong anak agar gemar membaca. Sistematika buku ini dibagi dalam tiga bab utama, yaitu mengenalkan buku (Introduce Book), mendorong minat baca (Encourage Reading), dan membantu pengayaan minat baca (Foster Reading Enrichment). Tiap-tiap bab membawahi beberapa kiat yang tidak saling mengikat.

Buku ini ternyata menyimpan segudang pengalaman dan kiat bina gemar membaca yang tidak pernah kita dengar sebelumnya.

Mendorong anak untuk gemar membaca pada dasarnya bermuara pada peran aktif orangtua. Seorang ibu yang sedang mengandung misalnya, tidak salah bila mulai suka membacakan cerita-cerita bagi janinnya. Setelah lahir, si bayi tetap dikondisikan dekat dengan buku. Caranya, sisipkanlah satu-dua buku (dimulai dari pictorial book) di antara mainannya. Begitu seterusnya, seturut perkembangan anak sampai akhirnya anak memiliki semacam koleksi pribadi.

Setelah anak lepas dari masa “balita”, orangtua dapat mendorong pengalaman perbukuan yang lebih serius. Ada beberapa cara: membacakan cerita menjelang tidur, membiasakan hadiah berupa buku, mengadakan semacam “arisan keluarga” dengan kegiatan utama membaca satu-dua buku cerita, atau mendiskusikan tema suatu buku. Gagasan yang cukup menarik adalah menggunakan buku untuk merencanakan kegiatan liburan. Misalnya, anak mempunyai bacaan tentang dinosaurus, tidak ada salahnya bila pada suatu kesempatan, mereka diajak mengunjungi museum biologi yang memiliki koleksi binatang purba.

Cara lain, mengadakan semacam studi wisata ke penerbit atau perpustakaan, memotivasi anak untuk terbiasa memberi santunan buku kepada anak terlantar. Atau, yang lebih serius, mendorong anak berbuat sosial dengan cara membacakan cerita bagi pasien anak-anak di rumah sakit.

Bagi anak remaja, O’Connor menyarankan agara orangtua mulai menugasi anak membuat satu narasi tentang keluarga, bisa tentang silsilah, acara liburan, menulis surat, atau membuat buku harian. Anak yang lebih tua diminta membacakan cerita bagi adik-adiknya, atau membuat synopsis dan anotasi dari suatu cerita.

Bagaimana jika anak tetap tidak mau akrab dengan buku? Gampang. Orangtua jangan selalu bersedia menjadi “ensiklopedi berjalan” yang mampu menjawab setiap pertanyaan anak. Sekali waktu arahkan anak untuk mencari jawab atas pertanyaannya lewat buku atau ensiklopedi.

Kiat-kiat jitu O’Connor boleh dikata khas Amerika, yakni memberi keleluasaan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya. Namun demikian, bukan berarti buku ini tidak cocok untuk kondisi Indonesia karena ada kiat-kiat yang bersifat universal; bisa diterima di mana saja.

Jadi, bila kita memang berniat mengembangkan minat baca pada anak, berikan dan ciptakan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk bergaul dengan bacaan.



[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1995]
GEMAR MEMBACA, GEMAR MENULIS
Oleh A. Ariobimo Nusantara



Jika Anda tergolong orang yang gemar membaca, tentu belum lekang dari ingatan Anda serentetan iklan layanan masyarakat yang digeber harian Kompas di penghujung tahun 1996. Iklan gede-gedean yang diprakarsai oleh harian tersebut bekerja sama dengan berbagai perusahaan periklanan itu menekankan pentingnya gemar membaca sejak dini. Copy iklannya cukup menarik dan menggelitik, meski kita tak pernah tahu apakah iklan layanan masyarakat itu benar-benar “menyentakkan” masyarakat – khususnya yang belum menikmati renyahnya membaca.

Bolehlah saya kutipkan beberapa copy iklan yang menggelitik itu. “Bacaan Anda menunjukkan siapa Anda” (30/12/96), “Persiapan kehidupan: Buah hati Anda membutuhkan wawasan. Ajaklah mereka gemar membaca…” (31/12/96), “Akankah buku tetap menjadi sebuah ‘daftar’ hanya karena soal HARGA?” (29/12/96), “Membaca membuka mata hati memperluas wawasan” (3/1/97). Tentu saja, copy iklan itu masih diikuti body text yang kalau kita baca seluruhnya akan menunjukkan “perang kreativitas” di antara pekerja iklan.
Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah: Apa keuntungan dari iklan layanan yang tentu berharga jutaan bahkan mungkin puluhan juta rupiah itu? Jelas, namanya saja iklan layanan masyarakat sehingga sifatnya bukan “menjual” sesuatu. Akan tetapi, sebenarnya lewat iklan itu kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga. Apa itu? Keluasan wawasan para pembuatnya, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa mereka juga termasuk orang-orang yang “gila buku”. Lebih jauh lagi, kita mendapatkan bukti nyata bahwa dengan gila membaca dan berolah kata pun orang dapat beroleh penghasilan yang menarik.

Revolusi Tulisan
Boleh dikata, ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh dari “revolusi tulisan” yang tidak pernah dibayangkan oleh pencetusnya. Ketika pertam kali manusia menciptakan Alfabet (abjad) tentu bukan tanpa maksud. Alfabet (berasal dari nama huruf pertama Yunani alpha dan huruf kedua beta) berarti susunan huruf dalam urutan tertentu untuk menuliskan kata-kata atau bunyi dalam satu atau beberapa bahasa. Dengan alphabet, manusia lebih mudah menuangkan gagasan secara sistematis. Penciptaan alphabet boleh dibilang merupakan “revolusi besar” dalam sejarah kehidupan manusia karena manusia mulai memasuki tradisi baru, tradisi tulisan (literacy).

Menurut sejarahnya, alphabet tertua ditemukan pada abad ke 13 SM di Ugasit, Fenisia dalam bentuk tulisan paku yang mungkin merupakan contoh bagi alphabet Yunani yang dipakai sejak 900 SM. Alfabet Yunani ini dibawa oleh bangsa Etruria ke Roma yang kemudian menjadi abjad Latin.

Revolusi alphabet semakin besar-besaran manakala pada abad ke 15 Masehi, Gutenberg – seorang warga negara Jerman, menemukan sistem produksi karya cetak. Dengan kata lain, Gutenberg sebagai penemu mesin cetak, tinta cetak, huruf cetak yang dapat dilepas dan dipasang; penemu metode cetak, metode membuat huruf cetak dari campuran logam, telah menimbulkan revolusi di bidang perbukuan dan persurat-kabaran.
Penemuan Gutenberg semakin memacu lahirnya tradisi tulisan. Namun demikian, “revolusi” yang diciptakannya itu terpaksa memakan korban. Korban pertama adalah Gutenberg sendiri. Penemu ini terjerat hutang dan tidak sempat menikmati hasil penemuannya, bahkan hidup sengsara karena penemuannya. Sedangkan, korban yang lebih besar adalah tergesernya tradisi lisan (oral) oleh tradisi tulisan (literacy).

Akan tetapi, meski revolusi tulis menulis ini telah berabad-abad berpengaruh pada tradisi kelisanan kita, nyatanya tradisi tulisan belum sepenuhnya mengendap dalam budaya masyarakat kita. Mengenai hal ini, A. Teeuw memang pernah menyinggung bahwa masyarakat Indonesia masih dalam tahap peralihan dari tradisi lisan (oral) menuju tradisi tulisan (literacy). Banyak takaran mengenai hal ini, misalnya sinyalemen rendahnya minat baca, kesulitan mahasiswa dalam menulis skripsi, minimalnya produktivitas sarjana dalam melahirkan tulisan, termasuk juga banyaknya guru yang tak mampu menulis.
Padahal, di sisi lain kita sudah memasuki tahap pasca-tulisan (post-literacy), yakni ditandai dengan maraknya sarana komunikasi elektronik. Anehnya justru tradisi pasca-tulisan lebih cepat berkembang daripada tradisi tulisan. Mengapa? Satu-satunya jawab adalah karena memiliki kemiripan dengan tradisi lisan, meski yang terjadi hanya komunikasi satu arah.
Praktis, dengan cepatnya loncatan tradisi ini, tradisi tulisan seolah semakin alot berkembang. Betapa tidak, bila untuk memahami isi ensiklopedi misalnya, orang tidak perlu lagi bersusah payah membacanya, karena teknologi CD-ROM kini siap menampulkan seluruh isi ensiklopedi berikut gambar bergerak dan suaranya.

Tugas Membaca dan Menulis
Itulah sebabnya, Taufiq G Ismail – seorang penyair kondang – sangat prihatin karena pelajaran mengarang di sekolah menengah saat ini mendapat porsi yang sangat sedikit (Kompas, 22/12/95). Ia pun mengaku tak heran lagi bila saat ini banyak mahasiswa kesulitan menulis skripsi, yang selain menuntut ketrampilan berbahasa juga menuntut ketrampilan menyajikan gagasan ke dalam tulisan secara sistematis dan logis.

Memang, bagi sebagian besar mahasiswa, tugas menulis skripsi masih dipandang sebagai satu tugas yang mematikan. Untuk bisa melampaui tugas ini, seorang mahasiswa dituntut menguasai beberapa hal, mulai dari menguasai (membaca) sejumlah buku, memilih judul, membuat outline, merumuskan latar belakang masalah, kerangka pemikiran, dan metode penelitian – yang semuanya serba tertulis.

Padahal, latihan-latihan menulis, sebagaimana diprihatinkan oleh Taufiq G Ismail, jarang diperoleh lagi selepas dari sekolah dasar. Menulis, yang menjadi bagian dalam matapelajaran Bahasa Indonesia, terkadang harus tergusur oleh padatnya pengetahuan ketatabahasaan yang harus dipahami siswa. Jeda yang cukup panjang dalam latihan tulis menulis ini, jelas membawa pengaruh pada kerancuan berpikir dalam bahasa tulis.

Di sisi lain, tugas-tugas menulis/mengarang terkadang masih dianggap sebagai beban karena guru harus membaca semua hasil tulisan siswa. Sementara, nyatanya belum tentu semua guru memiliki minat besar dalam hal membaca dan menulis.

Sebagai konsekuensinya, kesulitan mengutarakan gagasan lewat tulisan tidak hanya dialami sewaktu menjadi mahasiswa, tetapi berlanjut terus, meski seseorang telah memasuki dunia kerja. Ironisnya, kesulitan ini banyak juga dialami oleh orang yang pekerjaan sehari-harinya justru bergelut dengan perkara tulis menulis, misalnya sekretaris, wartawan dan editor penerbit.

Kondisi ini membuktikan kepada kita bahwa hingga memasuki era cyberspace pun ternyata masih cukup banyak sumber daya manusia yang tak mampu mengorganisasikan gagasan dalam bangunan tulisan yang jelas dan logis. Akibatnya, banyak sekali kasus yang “memalukan” – dosen menjiplak skripsi mahasiswanya, larisnya bisnis jual-beli skripsi, atau minimnya penulis buku lokal.

Untuk mengatasi kondisi ini, tidak ada salahnya bila kebiasaan membaca dan latihan menulis sejak dini digiatkan terus tanpa mengalami senjang waktu. Sejalan dengan itu, kepada pelajar, mahasiswa, dan umum perlu dipikirkan kegiatan yang dapat merangsang kegemaran membaca dan menulis.

Bagi pelajar misalnya, bolehlah menghidupkan kembali tradisi mewajibkan siswa meminjam buku di perpustakaan kemudian pada kesempatan berikutnya guru mengadakan tes pemahaman siswa terhadap isi buku itu. Atau, memperbanyak tugas-tugas menulis, baik menulis surat, mengarang cerita, maupun menulis ilmiah.
Sebagai sumber daya manusia di abad ini, kita sudah cukup beruntung karena alphabet telah lama ditemukan. Kepentingan kita sekarang adalah meningkatkan kebiasaan disiplin berpikir, agar terasahlah kemampuan menyerap gagasan tertulis dan mengutarakan gagasan lewat bahasa yang jelas, logis, dan tertulis.



[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1996]

Tuesday, August 12, 2008


EDITOR BUKU
BUKAN “KUTU” DALAM BUKU*
sepercik tukar pengalaman


Siapa mau jadi editor?
Editor atau penyunting (buku) barangkali merupakan salah satu profesi yang tergolong langka peminat. Hampir sebagian besar editor yang ada saat ini, tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada akhirnya ia harus menggantungkan hidupnya dari profesi ini.

Fakta berbicara. (1) anak muda lebih tertantang untuk ‘bermimpi’ menjadi dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum, polisi, tentara, atau pilot, ketimbang menjadi editor; (2) mereka juga rela berdesak-desakan sekadar untuk mengikuti audisi untuk menjadi penyanyi, foto model, atau pemain sinetron; (3) adakah orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi seorang editor? –tentunya bukan orang tua yang bekerja di penerbitan; (4) profesi editor belum bisa dipakai sebagai ‘iming-iming’ untuk melamar seorang gadis.

Jika demikian, mengapa kita harus tetap bertahan menjadi editor?
Jawabnya pun beragam, kalau bukan karena (1) terpaksa/tidak ada pekerjaan lain; (2) ditugaskan sehingga tak bisa menolak; (3) telanjur sayang dengan pekerjaan itu; (4) memang ingin menjadi editor.

Bagaimana apresiasi terhadap editor?
Ada dua jenis apresiasi: dari lembaga tempat bekerja dan dari masyarakat umum. Apresiasi dari lembaga tentu saja berbeda antara satu lembaga dan lembaga lain, bergantung pada kebijakan tiap lembaga. Hingga saat ini belum ada aturan main yang seragam tentang hak dan kewajiban editornya. Sementara, apresiasi masyarakat umum yaitu penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu karya buku. Apakah yang menjadi perhatian masyarakat (pembaca) terhadap sebuah karya buku? Jawabnya, judul, pengarang, penerbit, dan (sekarang mulai menjadi perhatian) desainer sampul. Adakah yang juga memberi perhatian pada siapa editor buku tersebut?

Memang, kejernihan informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana editor buku baru ditimang oleh kalangan terbatas; lingkup insan perbukuan dan masyarakat yang ‘gila’ buku. Selebihnya, (1) tidak sadar bahwa sebuah buku tidak akan pernah terbit tanpa campur tangan seorang editor; (2) beranggapan bahwa siapa saja bisa menjadi editor.

Pengalaman empiris membuktikan, minornya pemahaman masyarakat atas profesi editor buku menjadi pelatuk utama munculnya anggapan bahwa editor di industri penerbitan buku tidak lebih dari seorang ‘tukang’. Tugasnya sungguh tidak menantang karena sebatas mengutak-atik bahasa, membetulkan letak titik-koma, dan mengetik naskah saja. Celakanya, hal ini mendorong munculnya pengarang-pengarang ‘hebat’—yaitu menafikan fungsi editor dalam menerbitkan karyanya. Lebih celaka lagi, jika pengarang jenis ini bertemu dengan mantan mahasiswanya yang kebetulan bekerja sebagai editor di penerbit tempat sang dosen akan menerbitkan naskahnya.

Apakah ruang lingkup kerja editor?
Tugas seorang editor dalam industri perbukuan bukan semata-mata menyunting kebahasaan suatu naskah. Tugas ini seharusnya sudah diemban oleh editorial assistant atau copyeditor.
Seorang editor seyogianya menguasai tugas-tugas yang termasuk dalam substantive editing dan mechanical editing. Dalam substantive editing, editor harus mampu menilai dan mempertimbangkan kelayakan terbit sebuah naskah. Di sini, tidak tertutup kemungkinan seorang editor mencetuskan ide atau konsep buku yang akan diterbitkan, sekaligus mencari penulisnya. Termasuk dalam tugas ini, misalnya, seorang editor juga harus dapat berkomunikasi dengan pengarang atau penerbit luar negeri guna menjajaki kemungkinan penerbitan alih bahasa.

Sementara, dalam mechanical editing, seorang editor mulai memasuki proses panjang penerbitan buku. Selain memeriksa kembali hasil penyuntingan kebahasaan yang telah dilakukan oleh asisten editor atau copyeditor, seorang editor harus piawai dalam melakukan sejumlah tugas, misalnya menyusun ide pengarang ke dalam bentuk yang semenarik mungkin (gaya bahasa yang digunakan, mengatur sistematika penulisan), menyusun indeks, meramu sinopsis, dan memberi pertimbangan-pertimbangan kepada bagian visual dan desain buku. Bahkan ada kalanya editor dituntut mengenal seluk-beluk produksi buku, analisis pasar, hingga melakukan pra-kalkulasi. Pendek kata, seorang editor harus siap menjadi seorang generalis dalam bidang penerbitan buku, di samping tetap sebagai spesialis dalam salah satu ilmu.
Lembaga penerbitan yang profesional, biasanya sudah membedakan secara tajam fungsi-fungsi copyeditor, editor, sampai acquisition editor (posisi yang disebut terakhir masih langka dalam struktur organisasi penerbit di Indonesia). Masing-masing memiliki ruang lingkup kerja sendiri, bahkan ada pula penerbit yang mempertajamnya dengan menyediakan editor-editor khusus—sesuai dengan bidang garapan. Misalnya, editor fiksi, editor sains, editor humaniora, editor kesehatan, dll.
Oleh karena itu, kehadiran editor dari berbagai disiplin ilmu mutlak diperlukan dalam satu usaha penerbitan umum. Tetapi, inilah hambatannya, biasanya penerbit kesulitan menemukan orang yang menguasai suatu ilmu, menyukai dunia perbukuan, sekaligus memahami tatacara penyuntingan. Kendala ini muncul akibat belum banyak mahasiswa yang benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja sebagai editor selepas dari perguruan tinggi. Itu sebabnya, menjadi editor sebenarnya tidak gampang.

Tips Penutup
  • Editor adalah pembantu penulis naskah. Oleh karena itu, sebaiknya editor tidak menempatkan diri pada posisi penulis naskah.
  • Editor haruslah rendah hati atau tidak angkuh dalam menghadapi penulis naskah, meskipun ada kemungkinan editor lebih pintar dan ‘lebih tinggi’ ilmunya daripada penulis naskah.
  • Sebelum mulai mengubah-ubah dan mencoret-coret naskah, sebaiknya editor berkonsultasi terlebih dulu dengan penulis naskah.
  • Sebelum mulai mengedit naskah, sebaiknya editor memahami benar cirri khas naskah bersangkutan. Tanpa pemahaman itu, hasil kerja editor akan berantakan.
  • Kenali benar watak dan temparemen penulis naskah: termasuk kategori penulis yang gampang, sulit, atau yang sulit-sulit gampang.
  • Setelah buku terbit, segeralah baca ulang untuk menemukan sekiranya ada hal-hal yang harus segera diperbaiki.

© ariobimonusantara
mei 2006
*Diolah kembali dari artikel yang pernah dimuat di Berita Buku, Juli 1996 dengan judul yang sama. Disajikan di Pusgrafin Politeknik UI jurusan ilmu penerbitan

Thursday, July 24, 2008

SEJUTA PESONA KUIL DI KYOTO

oleh Ariobimo Nusantara

Wisata kuil. Barangkali itulah sebutan yang paling tepat bila kita mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang. Betapa tidak, hampir di setiap kota di Jepang selalu dapat ditemui sejumlah kuil yang rata-rata masih berfungsi aktif. Memang, secara umum kuil-kuil tersebut tampaknya nyaris sama antara satu dengan yang lain. Namun, cerita di balik tiap kuil tidaklah sama. Dan, itulah daya tarik yang sebenarnya karena “rasa” Jepang-nya sungguh nyata dibanding hanya keluar-masuk mal yang tak jauh beda dengan mal-mal di Tanah Air.

Salah satu kuil yang sempat saya kunjungi bersama delegasi dari sejumlah negara ketika berada di Kyoto adalah kuil Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua milik sekte Hosso dalam agama Buddha. Memang, Hosso hanya sebuah sekte kecil yang berkembang sekitar tahun 657 yang didirikan oleh biksu Dosho dari Cina. Tetapi, jangan anggap remeh. Kompleks kuil ini terbilang sangat luas dengan memanfaatkan kontur alam yang luar biasa indahnya. Luasnya tak kurang dari 130,000 meter persegi dengan lebih dari 30 bangunan di dalamnya, terletak di atas sebuah perbukitan. Begitu pentingnya objek wisata ini sehingga jika kita tidak dalam rombongan wisata, kita tidak perlu khawatir karena tersedia bus umum nomor 206 atau 207 tujuan Kiyomizu-michi atau Gojo-zaka yang menuju objek wisata ini—tentu saja kita tetap harus berjalan sekitar 10 menit karena lokasinya tertutup untuk didaki kendaraan.



Bangunan utama di Kiyomizu-dera, dengan
latar belakang pemandangan kota Kyoto.
Namun, kita tidak perlu khawatir akan merasa lelah atau bosan, sebab selama berjalan mendaki itu, mata kita akan dipuaskan oleh sederetan toko suvenir yang menarik dan mengusik nafsu belanja kita. Mulai dari suvenir kain sutra, boneka tradisional, aneka model samurai, atau porselen Kiyomizu-yaki yang sangat khas; hingga aneka makanan khas seperti es krim rasa teh hijau. Tapi, tahan dulu. Sebaiknya nafsu berbelanja suvenir kita simpan hingga kita menuntaskan maksud tujuan ke tempat ini: Kiyomizu-dera!

Sesampainya di gerbang utama Kiyomizu-dera, hal pertama yang tampak di sisi kiri adalah kandang kuda kuno yang biasa digunakan oleh mereka yang datang untuk bersembahyang kepada Kannon. Dan, sebelum sampai ke kuil utama, Anda harus melewati Nio-mon atau Gerbang Raja-raja Dewa, yang melindungi kuil dari kejahatan. Raja Dewa di sebelah kanan mulutnya terbuka, seperti mengucap "A", bunyi pertama dari bahasa Sanskrit, sedangkan mulut yang lain tertutup seperti mengucap "UN", bunyi terakhir. Jadi, artinya para raja dewa mewakili ajaran Buddha secara komplet.

Kuil yang dibangun lebih dari 1200 tahun lalu ini tercatat dalam daftar World Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh UNESCO pada Desember 1994. Meski demikian, kebanyakan bangunan yang ada sudah tidak asli karena kuil ini sempat hancur dan beberapa kali mengalami pemugaran. Kuil ini dibangun pada 798, tetapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1633 atas prakarsa Shogun Iemitsu Tokugawa.

Berlama-lama di bangunan tinggi ini kita hanya bisa berdecak kagum tiada henti: teknologi apa yang telah dipakai manusia pada masa itu untuk menghasilkan bangunan spektakular semacam ini.


Air yang Jernih
Sepanjang sejarahnya, banyak bangunan kuil di Kyoto yang terbakar dan dibangun kembali. Tetapi, bangunan-bangunan di kiyomizudera banyak yang masih tetap utuh karena kuil ini tidak pernah terlibat dalam peperangan. Dengan kata lain, kuil ini tidak punya “musuh” sehingga tak ada alasan untuk menghancurkannya. Pernah, kuil ini terbakar sekali, tetapi pada 1633 direkonstruksi oleh Shogun. Maka, meski bangunan sekarang berumur kurang lebih 350 tahun, bangunan aslinya lebih dari 1200 tahun lalu, hampir 20 tahun sebelum ibukota Jepang pindah ke Kyoto.



Kiyomizu-dera secara harfiah artinya air yang jernih. Dinamakan demikian karena di bagian bawah kuil ini terdapat air terjun yang terkenal, yang bersumber dari Gunung Otowa selama ribuan tahun. Ini adalah satu dari sepuluh air jernih yang terkenal di Jepang. Sumber air yang jernih ini kemudian dipancurkan melalui tiga pancuran dan dipercaya sebagai air suci. Pancuran ini disebut Otowa-no-taki (Sound of Feathers Waterfall).

Pancuran Otowa-no-taki. Sudah tak terbilang orang yang minum air dari pancuran ini. [repro: japan page] -

Menurut legenda ketiga pancuran ini masing-masing melambangkan wajah tampan/cantik, umur panjang, dan kebijaksanaan. Di sinilah uniknya, saking jernihnya air yang keluar dari pancuran-pancuran ini maka air bisa langsung diminum. Namun, ada aturannya. Orang hanya boleh minum dari salah satu pancuran. Silakan, mau pilih (dari kiri ke kanan) umur panjang, berwajah tampan/cantik, atau bijaksana. Apa yang akan Anda pilih? Ingat, jika Anda “tamak” dan meminum ketiga sumber tersebut maka Anda justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Apalagi kita hanya boleh berada di depan pancuran ini selama 45 detik saja!

Cara mengambil air ini pun sangat unik. Di dekat pancuran tersebut tersedia sejumlah gayung bergagang untuk mengambil air dan meminumnya langsung. Pancuran tersebut tetap mengucur deras hingga hari ini, meski tiap hari ratusan hingga ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia dan meminumnya. Higienis? Jangan khawatir. Gayung-gayung ini ditempatkan dalam semacam lorong yang disinari oleh sinar ultra untuk sterilisasi. Sungguh merupakan konsep perpaduan antara unsur tradisional dan modernitas yang sangat jenial.
Dengan rasa penuh ingin tahu—antara percaya dan tidak—saya pun memberanikan diri ikut meminum ”air ajaib” itu. Saya coba buang jauh-jauh perasaan ragu dan jijik saat mengambil salah satu gayung dan menadah air. ”Peduli amat, siapa tahu kepercayaan ini memang benar adanya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi saya bisa sampai ke tempat ini,” begitu pikir saya. Tapi, jujur saja, saat di depan pancuran, saya tak sempat lagi memilih mau memilih khasiat yang mana. Semuanya berlalu begitu cepat!

Agaknya, inilah roh dari kuil ini, mengingat pendirinya, biksu Enchin, pada awalnya memang memimpikan untuk membangun sebuah kuil di sebuah air terjun dari sebuah sumber yang jernih, Sungai Yodogawa. Menurut legenda, mimpi itu segera diwujudkannya ketika suatu hari ia melintas di air terjun di Otowa dan bertemu dengan Gyoei, seorang pendeta tua yang memberinya balok kayu, yang harus diukirnya dengan wajah Kannon.

Kompleks Raksasa
Beruntung, saya sempat mengunjungi kompleks ini pada awal-awal musim semi. Selain udara yang tidak terlalu panas juga bisa menyaksikan saat bunga-bunga sakura hendak mulai bermekaran. Lansekap tempat ini memang banyak ditumbuhi oleh tanaman khas Negeri Matahari Terbit itu. Sangat sentimental. Toh demikian, kita juga perlu berhati-hati saat menghirup udara karena serbuk-serbuk bunga yang sangat halus bisa saja ikut terhirup dan mengganggu pernapasan kita. Hidung bisa tiba-tiba terasa perih dan tiba-tiba mengalami mimisan. Setidaknya sekali-dua kali saya sempat mengalami hal itu.

Kompleks kuil ini memang luar biasa luasnya dengan sejumlah bangunan yang sayang untuk dilewatkan. Tengok saja bangunan utamanya. Bangunan aslinya yang merupakan sumbangan dari Tamuramaro telah hancur terbakar pada 1629, sedang bangunan yang sekarang adalah berarsitek periode Heian. Di dalamnya, didekorasi oleh 30 lukisan sumbangan para pedagang selama pembangunan tahun 1633. Konon kabarnya, gambar asli Kannon yang dibuat oleh Echin disimpan di sebuah kotak dengan 28 tiruannya di sisinya. Namun, apabila Anda berharap menyaksikan langsung gambar dewa berwajah-sebelas dengan seribu-senjata ini, Anda harus menunggu hingga tahun 2010. Pasalnya, gambar asli ini hanya ditunjukkan sekali dalam 30 tahun dan penunjukkan yang terakhir adalah pada 1977.

Di bagian luar dari bangunan ini terdapat sebuah panggung tari atau yang disebut Butai. Panggung ini dibuat dari kayu-kayu perancah dari pohon zelkova yang menyangga panggung seluas 10 meter persegi di atas tebing setinggi 12 meter. Bangunan ini berada di titik tertinggi dalam kompleks. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan karena sejauh mata memandang kita akan dipuaskan oleh keindahan panorama sekitar tanpa halangan. Begitu tingginya tempat ini sehingga ada pepatah Jepang mengatakan ‘jumping of the Kiyomizu’ yang maknanya baru akan kita mengerti setelah kita berada di tempat ini. Betapa tidak, siapa pun orangnya dan apa pun alasannya, orang harus berpikir seribu kali sebelum melompat dari Butai. Inilah tempat favorit bagi para wisatawan untuk berfoto dan sangat popular menghiasi kartupos-kartupos dari Kyoto. Ke arah selatan Anda akan melihat Koyasu-no-to (pagoda utk memudahkan kelahiran), yang berisi gambar Koyasu Kannon. Pemandangan ini sangat indah difoto, terutama saat musim gugur ketika daun-daunan berwarna oranye dan merah.

Setiap bangunan yang ada di kuil ini memiliki fungsi masing-masing. Kyodo misalnya, bangunan ini adalah tempat menyimpan naskah-naskah suci. Sementara, Kanisan-do merupakan bangunan tempat menyimpan gambar para pendiri kuil ini. Bangunan yang juga disebut Tamura-do ini dipindahkan dari Nagaoka ke Kiyomizu-dera pada akhir abad ke-8.

Ada hal yang menarik di kompleks ini, yakni di sisi bangunan Asakura-do terdapat telapak kaki Buddha. (Pada masa-masa awal buddhisme, untuk mengingat sang Buddha tidak ditunjukkan dengan gambar Buddha atau boddhisatva melainkan diwakili oleh gambar telapak kaki.) Menurut kepercayaan, jika seseorang melihat ke arah telapak kaki itu maka seluruh dosanya akan terampuni. Bila diamati lebih dekat pada telapak kaki itu akan terlihat sejumlah simbol termasuk sepasang ikan, hiasan bunga, dan kerang-kerangan. Ke arah tumit, samar-samar akan terlihat roda hukum kebenaran Buddha.

Bangunan yang juga cukup menarik adalah Amida-do, sebuah bangunan kecil yang memuat 180 patung-patung kecil Jizo (penjaga anak-anak). Menurut cerita rakyat, ini adalah tempat bersembahyang bagi orang tua yang kehilangan anaknya. Dengan bersembahyang di sini, mereka akan mendapatkan ketenangan batin dan bila ada di antara patung-patung kecil itu yang terlihat menyerupai wajah si anak, maka itu pertanda bahwa sang anak ada dalam kedamaian.

Berfoto dan ”mengawetkan diri” alias bergaya di tempat-tempat wisata adalah hukum tak tertulis bagi para wisatawan. Namun, bila suatu hari nanti Anda berkesempatan berkunjung ke Kiyomizu-dera, Anda akan merasa rugi bila hanya disibukkan dengan acara mengambil gambar di sana-sini lalu pergi. Banyak hal yang bisa kita lakukan di kuil yang sangat fenomenal ini. Misalnya saja, menyimak cerita-cerita menarik dari pemandu wisata (dan menggalinya lebih dalam), mengamati atau mengikuti para peziarah, hingga merasakan segarnya air Otowa-no-taki. Karena, hanya dengan penghayatan secara totallah kita benar-benar bisa mengecap pesona Kiyomizu-dera seutuhnya.

*(versi cetak telah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu, 20 Juli 2008)

Sunday, July 06, 2008

BUNGA CANTIK DALAM POT RETAK


oleh A. Ariobimo Nusantara



Sudah beberapa bulan belakangan ini, saya dan beberapa teman di kantor mempunyai hobi baru. Kami—para bapak ini—sedang tertarik untuk membiakkan tanaman Adenium obesum atau yang dikenal dengan kamboja jepang. Sosoknya mirip tanaman bonsai dan semakin tua, akar tanaman ini akan makin membesar seperti umbi. Akar yang gendut itu akan meliuk ke kiri-kanan. Penampilannya pun jadi tambah unik dan memikat siapa saja yang melihatnya. Maka, dapat dibayangkan, betapa lucunya ketika para bapak ini ngobrol soal bunga!

Hobi baru ini bermula tanpa sengaja, ketika suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman. Di sana, saya menyaksikan betapa indahnya bunga-bunga kamboja jepang yang merimbun di sana-sini. Kurang lebih ada 70 pot! Saat pertama itu, saya hanya berkomentar “Bagaimana kamu bisa mengurusi tanaman begini banyak. Apa tidak menghabiskan waktu?”

Tapi, dengan penuh senyum teman itu menjawab bahwa di situlah ‘roh’ dari hobi ini. “Merawat tanaman ini jauh lebih gampang ketimbang memelihara anggrek. Asal cukup sinar
matahari penuh, tak perlu banyak air, dan memakai media tanam yang porous. Bila ketiga hal tadi dipenuhi, dijamin adenium bakal tumbuh subur.”


Ketika ia asyik menunjukkan tanaman-tanaman bunganya, kami sampai pada satu tanaman yang lebat tertutup oleh bunga berwarna merah beludru. Tapi saya jadi heran sekali, melihat ia tertanam dalam sebuah pot yang kotor, retak di sana-sini. Dalam hati saya berkata, “Meski indah bunganya, setelah melihat wadahnya aku jadi tak tertarik pada tanaman ini. Kalau ini tanamanku pastilah wadah itu sudah kubuang jauh-jauh dan tanaman ini kupindahkan ke dalam pot yang lebih indah dan aman.” Dengan kalem, teman saya mengatakan, “Memang tidak selayaknyalah bunga yang cantik itu berada dalam wadah yang amburadul seperti ini. Aku memang berniat membuang pot itu.”

Saya tercenung sebentar, membayangkan bagaimana sekiranya pot itu adalah sebuah ‘rumah tangga’ dan bunga-bunga cantik itu adalah anggota keluarga; dengan Allah sebagai si empunya taman. Betapa pun cantik dan indahnya anggota keluarga, bila rumah tangga yang mewadahinya mulai retak, penyok, dan bahkan mungkin berkarat, maka semua keindahan itu akan sia-sia. Lalu, akan ada berapa ‘pot keluarga’ yang terpaksa harus dibuang oleh-Nya karena tidak berfungsi lagi? Ah, sungguh beruntung manusia. Sebab, Allah masih mencintai umat-Nya. Ia telah dan selalu memberi kesempatan bagi kita—sebagai anggota keluarga—untuk memperbaiki ‘pot keluarga’ kita setiap kali mulai tampak kusam, retak, atau bahkan sudah berantakan sekalipun. Saya menarik napas lega. Dalam hati saya membatin, “Sungguh sebenarnya kita punya kesempatan yang luar biasa yang tidak mungkin diberikan oleh temanku ini kepada tanaman-tanaman adeniumnya!”


[ditulis pada 30 Juni 2006 untuk sebuah newsletter komunitas]

Friday, July 04, 2008




THE “BLUE GOLD”
A. Ariobimo Nusantara





Water is a resource that we, human beings, share with other forms of life. In order to live, we need water as much as we need air. Human settlements first arose where there was fresh water for drinking, bathing and for irrigating food crops. Modern industrial civilization, built entirely upon the generation of power, is no less dependent on water.

In the history of mankind, there were many stories that illustrated the relation between human and water. One instance took place twelve years ago in a village, Pasir Kadu, in West Java. The village once was suffered of water shortages for the irrigation of rice fields until a 50 years old woman made the change. Mrs. Eroh, the old and illiterate woman who came from a small farmer family, has undertaken a huge task by herself to make a 4,500 meters waterworks!

The waterworks was from a resource called Cilitung. To reach rice fields in the village, it has to cross eight hills. To do so, Mrs. Eroh had to excavate a hillside of 17 meters height. She did it with a borrowed hoe and a balincong (sort of short crowbar).

Witnessing the pioneer effort of Mrs. Eroh, the local villagers eventually helped her to make the waterworks that they managed to finalise in 2 years and 5 months. The dry soil of rice fields became fertile. The great effort that Mrs. Eroh had put forward astonished many people and has be acknowledged internationally. She became the first woman who received many awards for her pioneering. Amongst the awards were given by the Tasikmalaya regent, West Java Governor, Ministry of Forestry and Ministry of Home Affairs. She was given the national award in environment achievement, KALPATARU, in 1988. And in 1989, the United Nations awarded her with the Global 500 Honour-Roll of the United Nations Environment Programme.

Another great story about water took place in village Cigarag, Majalengka, in West Java. Mrs. Yuyu Yusanah has taken a tremendous step to undertake a hard task. Unsatisfied with the irrigation system which depended mainly on the rain water that harvest only occurred once a year, she was motivated to make the change.

Mrs. Yuyu determined to resource the river water across a hill adjacent to her rice field for irrigation purpose. With simple tools such as crowbar, hammer, stone chisel and mirror, she managed to make a 213 meters water tunnel through the hill. It took her 2 years to finish this hard work. The flow of water was not only useful to irrigate her rice field but also other villagers’. Changes were obvious following the success of this determination; many acres of rice fields were viewed everywhere; green colour during cultivating period and yellow gold when the harvest arrived.

It was indeed a pursuit of the blue gold, and it moves the heart!

*

Water shortages is the major world issue this time especially with the increase of water pollution caused by human activities including mega electricity water power plant projects, industrial and urban pollution, forest destroyed, the use of pesticides, dumping of waste and mining waste. The case with Subak system in Bali serves as the illustration.

Subak is the Balinese traditional irrigation system that regulates the construction and maintenance of waterworks, and the distribution of life-giving water that they supply. Such regulation is essential to efficient wet-rice cultivation on Bali, where water travels through very deep ravines and across countless terraces in its journey from the mountains to the sea.

Subak is an independent organization, not lied to the government. Everything to do with irrigation is performed by the Subak, whose members are all farmers. Their main function is to ensure that the distribution of water is made equitably. Subak is responsible for coordinating the planting of seeds and the transplanting of seedlings so as to achieve optimal growing conditions, as well as for organizing ritual offerings and festivals at Subak temple. All members are called upon to participate in these activities, especially at feasts honoring the rice goddess Sri.

No farm must be given more or less than their fair share. The equal distribution of water is not done through modern equipment but can be arranged because of a spirit of solidarity and a high level of tolerance and mutual responsibility, despite there being only very simple means to share out the water.

The spirit of cooperation is clearly evident in Subak. The irrigation techniques are inheritance down from generation to generation. Subak has certain laws or rules that regulate the mutual livelihoods of its members.

These are based on Tri Hita Karana philosophy (harmonious relationship between human to God, human to human, and human to other living creatures). If anyone breaks the rules traditional and religious sanctions are invoked. The sanctions against anyone breaking the rules are intended to restore harmony between the material and spirit worlds. An offender can be fined or if an offence is not mentioned in the regulations, the members of Subak can decide it upon. The majority makes decisions democratically.

Like many organizations, Subak has a number of office holders consisting of Sedahan Agung (chief controller), Sedahan (other controllers), Pekaseh, and Klian (chief of a village) as well as the ordinary members of Subak who own land. Controllers are decided by the government and the members of Subak appoint lesser officials. The tasks and responsibilities of those appointed are quite heavy. However, Subak pays these officials.

The system of distributing water to the rice fields is as follows: whenever the water volume was high in the basin, the distribution would be arranged from the upper course side to the downstream side. When the volume is low, water will be distributed in turns or in rotation. If the latter is the case – and which is hardly took place, except in a long drought – the area of one Subak would be seen as if divided into three groups; the field on the upper course side, on the downstream side and those which are in betweens. The first group is the downstream side; that is in the farthest location from the water resource. The distribution will be done when the water volume is considered ample. This is base on the view that if the volume is so low, the water will not reach the farthest location from the resource as it would be dried out on the way.

The second group is fields in between downstream and upper course side and it is the last group to receive the distribution. And the last group on the distribution list is those on the upper course side, in the closest location to the water resource. While the volume is low, the last group will be able to receive the water to irrigate their padi fields. Average duration of the distribution is two week to one month per group.

The existence of Subak, although it is a traditional form of organization, is and will remain relevant in Bali. This is because of the high degree of cooperation that exists amongst its members and because all feel advantaged. This is an organization formed by farmers for the welfare of the farming community.

How is the situation related to Subak nowadays? The rapid development on roads, residential and business properties have their impacts to Subak that many of these organizations are diminished. The development has cut the irrigation lines, causing many acre of land dried out and became deserted which eventually turned into property development. We may say that the civilization in Bali has moved from water (river) civilization to high ways civilization. The impact of this change has its own time to be realized when Bali started to suffer from flood during the rainy season.

It is factual that recently the water resource is determined by the economic value that will benefit a group of people with strong economical support. This is the evident in modern time; something that is considered common resources is no longer managed together and is not under responsibility of anybody.

*

From the illustration of human relation with water in the culture of Indonesia, it can be seen that within a traditional community - an older organization than the state institution – the unique interaction pattern between human and water has survived for decades. It is the modern civilization that do not prioritize water as human’s friend, instead positions it as an object or even as an enemy that has to be conquered. Modernization gives opportunities for the inequality for fresh water usage. Groups with better and strong economic position will have bigger access of fresh water. Ironically, those with lesser economic position have to provide a lot of fund to fulfill their need of fresh water.

Water should have been valued as social and cultural treasure, not merely as an object or as a commodity. Water is life. And as life, it possesses the intrinsic value that cannot be measured nor managed as some ’thing’. In the perspective of environmental ethic, water with its benefits for life deserves to be measured more than just for its instrumental value. Until the end of time, water will never change; it offers itself as the blue gold and it is up to us to accept it as an enemy or as a friend!

[presented at ACCU NARA – in related with The 3rd Water Forum, March 2003]

Saturday, June 28, 2008




KIYOMIZU-DERA,

Kuil Sejuta Pesona di Kyoto

oleh Ariobimo Nusantara






Wisata kuil. Barangkali itulah sebutan yang paling tepat bila kita mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang. Betapa tidak, hampir di setiap kota di Jepang selalu dapat ditemui sejumlah kuil yang rata-rata masih berfungsi aktif. Memang, secara umum kuil-kuil tersebut tampaknya nyaris sama antara satu dengan yang lain. Namun, cerita di balik tiap kuil tidaklah sama. Dan, itulah daya tarik yang sebenarnya karena “rasa” Jepang-nya sungguh nyata dibanding hanya keluar-masuk mal yang tak jauh beda dengan mal-mal di Tanah Air.

Salah satu kuil yang sempat saya kunjungi bersama delegasi dari sejumlah negara ketika berada di Kyoto adalah kuil Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua milik sekte Hosso dalam agama Buddha. Memang, Hosso hanya sebuah sekte kecil yang berkembang sekitar tahun 657 yang didirikan oleh biksu Dosho dari Cina. Tetapi, jangan anggap remeh. Kompleks kuil ini terbilang sangat luas dengan memanfaatkan kontur alam yang luar biasa indahnya. Luasnya tak kurang dari 130,000 meter persegi dengan lebih dari 30 bangunan di dalamnya, terletak di atas sebuah perbukitan. Begitu pentingnya objek wisata ini sehingga jika kita tidak dalam rombongan wisata, kita tidak perlu khawatir karena tersedia bus umum nomor 206 atau 207 tujuan Kiyomizu-michi atau Gojo-zaka yang menuju objek wisata ini—tentu saja kita tetap harus berjalan sekitar 10 menit karena lokasinya tertutup untuk didaki kendaraan.


"Bangunan utama di Kiyomizu-dera. " (sumber: www.nara.accu.or.jp)


Kuil yang dibangun lebih dari 1200 tahun lalu ini tercatat dalam daftar World Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh UNESCO pada Desember 1994. Meski demikian, kebanyakan bangunan yang ada sudah tidak asli karena kuil ini sempat hancur dan beberapa kali mengalami pemugaran. Kuil ini dibangun pada 798, tetapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1633 atas prakarsa Shogun Iemitsu Tokugawa.

Air yang Jernih
Sepanjang sejarahnya, banyak bangunan kuil di Kyoto yang terbakar dan dibangun kembali. Tetapi, bangunan-bangunan di kiyomizudera banyak yang masih tetap utuh karena kuil ini tidak pernah terlibat dalam peperangan. Dengan kata lain, kuil ini tidak punya “musuh” sehingga tak ada alasan untuk menghancurkannya. Pernah, kuil ini terbakar sekali, tetapi pada 1633 direkonstruksi oleh Shogun. Maka, meski bangunan sekarang berumur kurang lebih 350 tahun, bangunan aslinya lebih dari 1200 tahun lalu, hampir 20 tahun sebelum ibukota Jepang pindah ke Kyoto.








"Pancuran Otowa-no-taki. Langsung diminum, tak
perlu ragu soal faktor higienis."


Kiyomizu-dera secara harfiah artinya air yang jernih. Dinamakan demikian karena di bagian bawah kuil ini terdapat air terjun yang terkenal, yang bersumber dari Gunung Otowa selama ribuan tahun. Ini adalah satu dari sepuluh air jernih yang terkenal di Jepang. Sumber air yang jernih ini kemudian dipancurkan melalui tiga pancuran dan dipercaya sebagai air suci. Pancuran ini disebut Otowa-no-taki (Sound of Feathers Waterfall).


Menurut legenda ketiga pancuran ini masing-masing melambangkan wajah tampan/cantik, umur panjang, dan kebijaksanaan. Di sinilah uniknya, saking jernihnya air yang keluar dari pancuran-pancuran ini maka air bisa langsung diminum. Namun, ada aturannya. Orang hanya boleh minum dari salah satu pancuran. Silakan, mau pilih (dari kiri ke kanan) umur panjang, berwajah tampan/cantik, atau bijaksana. Apa yang akan Anda pilih? Ingat, jika Anda “tamak” dan meminum ketiga sumber tersebut maka Anda justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Apalagi kita hanya boleh berada di depan pancuran ini selama 45 detik saja!


Cara mengambil air ini pun sangat unik. Di dekat pancuran tersebut tersedia sejumlah gayung bergagang untuk mengambil air dan meminumnya langsung. Pancuran tersebut tetap mengucur deras hingga hari ini, meski tiap hari ratusan hingga ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia dan meminumnya. Higienis? Jangan khawatir. Gayung-gayung ini ditempatkan dalam semacam lorong yang disinari oleh sinar ultra untuk sterilisasi. Sungguh merupakan konsep perpaduan antara unsur tradisional dan modernitas yang sangat jenial.


Agaknya, inilah roh dari kuil ini, mengingat pendirinya, biksu Enchin, pada awalnya memang memimpikan untuk membangun sebuah kuil di sebuah air terjun dari sebuah sumber yang jernih, Sungai Yodogawa. Menurut legenda, mimpi itu segera diwujudkannya ketika suatu hari ia melintas di air terjun di Otowa dan bertemu dengan Gyoei, seorang pendeta tua yang memberinya balok kayu, yang harus diukirnya dengan wajah Kannon.

Kompleks Raksasa
Kompleks kuil ini memang luar biasa luasnya dengan sejumlah bangunan yang sayang untuk dilewatkan. Tengok saja bangunan utamanya. Bangunan aslinya yang merupakan sumbangan dari Tamuramaro telah hancur terbakar pada 1629, sedang bangunan yang sekarang adalah berarsitek periode Heian. Di dalamnya, didekorasi oleh 30 lukisan sumbangan para pedagang selama pembangunan tahun 1633. Konon kabarnya, gambar asli Kannon yang dibuat oleh Echin disimpan di sebuah kotak dengan 28 tiruannya di sisinya. Namun, apabila Anda berharap menyaksikan langsung gambar dewa berwajah-sebelas dengan seribu-senjata ini, Anda harus menunggu hingga tahun 2010. Pasalnya, gambar asli ini hanya ditunjukkan sekali dalam 30 tahun dan penunjukkan yang terakhir adalah pada 1977.


Di bagian luar dari bangunan ini terdapat sebuah panggung tari atau yang disebut Butai. Panggung ini dibuat dari kayu-kayu perancah dari pohon zelkova yang menyangga panggung seluas 10 meter persegi di atas tebing setinggi 12 meter. Bangunan ini berada di titik tertinggi dalam kompleks. Pemandangan dari sini sungguh mengagumkan karena sejauh mata memandang kita akan dipuaskan oleh keindahan panorama sekitar tanpa halangan. Begitu tingginya tempat ini sehingga ada pepatah Jepang mengatakan ‘jumping of the Kiyomizu’ yang maknanya baru akan kita mengerti setelah kita berada di tempat ini. Betapa tidak, siapa pun orangnya dan apa pun alasannya, orang harus berpikir seribu kali sebelum melompat dari Butai. Inilah tempat favorit bagi para wisatawan untuk berfoto dan sangat popular menghiasi kartupos-kartupos dari Kyoto. Ke arah selatan Anda akan melihat Koyasu-no-to (pagoda utk memudahkan kelahiran), yang berisi gambar Koyasu Kannon. Pemandangan ini sangat indah difoto, terutama saat musim gugur ketika daun-daunan berwarna oranye dan merah.


Untuk mencapai kuil ini, kita harus berjalan di sepanjang jalan yang agak menanjak, yang di kiri-kanannya dipenuhi oleh toko-toko suvenir. Sesampainya di gerbang utama Kiyomizu-dera, hal pertama yang tampak di sisi kiri adalah kandang kuda kuno yang biasa digunakan oleh mereka yang datang untuk bersembahyang kepada Kannon. Dan, sebelum sampai ke kuil utama, Anda harus melewati Nio-mon atau Gerbang Raja-raja Dewa, yang melindungi kuil dari kejahatan. Raja Dewa di sebelah kanan mulutnya terbuka, seperti mengucap "A", bunyi pertama dari bahasa Sanskrit, sedangkan mulut yang lain tertutup seperti mengucap "UN", bunyi terakhir. Jadi, artinya para raja dewa mewakili ajaran Buddha secara komplet.


Setiap bangunan yang ada di kuil ini memiliki fungsi masing-masing. Kyodo misalnya, bangunan ini adalah tempat menyimpan naskah-naskah suci. Sementara, Kanisan-do merupakan bangunan tempat menyimpan gambar para pendiri kuil ini. Bangunan yang juga disebut Tamura-do ini dipindahkan dari Nagaoka ke Kiyomizu-dera pada akhir abad ke-8.


Ada hal yang menarik di kompleks ini, yakni di sisi bangunan Asakura-do terdapat telapak kaki Buddha. (Pada masa-masa awal buddhisme, untuk mengingat sang Buddha tidak ditunjukkan dengan gambar Buddha atau boddhisatva melainkan diwakili oleh gambar telapak kaki.) Menurut kepercayaan, jika seseorang melihat ke arah telapak kaki itu maka seluruh dosanya akan terampuni. Bila diamati lebih dekat pada telapak kaki itu akan terlihat sejumlah simbol termasuk sepasang ikan, hiasan bunga, dan kerang-kerangan. Ke arah tumit, samar-samar akan terlihat roda hukum kebenaran Buddha.


Bangunan yang juga cukup menarik adalah Amida-do, sebuah bangunan kecil yang memuat 180 patung-patung kecil Jizo (penjaga anak-anak). Menurut cerita rakyat, ini adalah tempat bersembahyang bagi orang tua yang kehilangan anaknya. Dengan bersembahyang di sini, mereka akan mendapatkan ketenangan batin dan bila ada di antara patung-patung kecil itu yang terlihat menyerupai wajah si anak, maka itu pertanda bahwa sang anak ada dalam kedamaian.


Kenikmatan berkunjung ke Kiyomizu-dera tak akan pernah terasa bila sebatas foto sana-sini lalu pergi. Sebab, banyak yang bisa kita lakukan untuk lebih menghayati kuil yang sangat fenomenal ini. Menyimak cerita-cerita menarik dari pemandu wisata (dan menggalinya lebih dalam), mengamati atau mengikuti para peziarah, hingga merasakan segarnya air Otowa-no-taki adalah kegiatan-kegiatan yang menyenangkan untuk kita lakukan. Karena, hanya dengan penghayatan secara totallah kita benar-benar bisa mengecap pesona Kiyomizu-dera seutuhnya.
Nara:
Kota Kecil dengan Patung Buddha Terbesar di Dunia


Oleh Ariobimo Nusantara


Kunjungan saya ke Nara atas undangan ACCU (Asia/Pacific Cultural Center for Unesco) yang berpusat di Tokyo, yang baru saja meresmikan kantor cabangnya yang baru di kota Nara. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan, mengingat bahwa kantor cabang ini akan lebih banyak berurusan dengan “tangible heritage” dari seluruh dunia, maka dipilihlah sebuah kota yang memiliki aset warisan sejarah dan budaya yang cukup lengkap, bukan saja yang tampak di permukaan tanah, tetapi juga yang masih berada di bawah permukaan tanah.


Kekayaan Nara bukan main-main, misalnya saja, "Monumen Buddhist di wilayah Horyu-ji" atau "Monumen Sejarah Kota Lama Nara" kini termasuk dalam daftar warisan dunia, yang dikenal luas sebagai “rumah spiritual” bagi masyarakat Jepang.

Ibarat sebuah laboratorium alam, Nara tak henti menjadi pusat penelitian sejarah budaya Jepang. Lihat saja, istana Nara yang pernah menjadi nadi kehidupan politik Jepang selama 74 tahun dari tahun 710 itu, saat ini baru berhasil diekskavasi 1/3 bagian dari total 120 hektar. Padahal, ekskavasi arkeologis itu telah dimulai sejak 1955. Meski demikian, kehati-hatian dan kecermatan para peneliti berhasil menyingkap bagaimana peran istana dan menelusur sistem administrasi dan birokrasi, perubahan-perubahan sejarah yang dialami, serta gaya hidup masyarakat di masa itu.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kota ini bisa begitu rapi dan awet menyimpan warisan sejarah mereka? Bisa jadi hal ini terkait dengan letak geografis Nara yang ibarat telor mata sapi, dikelilingi oleh barisan pegunungan, dengan Nara sebagai ‘kuning telornya’. Konon, letak geografis semacam inilah yang dulu juga melatari pertimbangan pemilihan kota ini sebagai ibu kota lawas Jepang. Secara alami, letak geografis Nara yang terlindung ini dinilai sangat membantu dalam bidang pertahanan dan keamanan kota.
"Pemandangan Kota Nara yang sama modernnya dengan kota-kota lain di Jepang,
meskipun tidak sesibuk Kyoto, apalagi Tokyo."

Bagi wisatawan yang punya minat dan ketertarikan dalam hal budaya, kunjungan ke Nara memang patut dimasukkan dalam rencana. Namun, bukan berarti lantas kota berpenduduk 300.000 jiwa ini boleh dilewatkan begitu saja. Sebab, bila ada niat, wisatawan bisa ‘menghabiskan’ kota ini dalam sehari saja. Dan, itu adalah pemandangan biasa di Nara: wisatawan asing berdatangan pada pagi hari (umumnya dari kota-kota di sekitar Nara) dan pulang pada sore harinya. Tetapi, kalau punya waktu berlebih, menginap semalam-dua malam di Nara juga tidak ada ruginya karena dengan demikian kita dapat mengenal Nara dengan lebih detail. Kunjungan ke berbagai objek wisata bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya ikut city tour, menyewa taksi, bus kota, atau bahkan berjalan kaki bagi mereka yang doyan jalan kaki.
Kota Pelajar
Selain sebagai kota budaya, Nara juga dikenal sebagai kota pelajar. Situasi kota ini memang sangat mendukung kegiatan belajar-mengajar. Nyaman dan tenang, apalagi boleh dibilang tidak ada kehidupan malam di kota ini. Inilah barangkali yang juga menjadi alasan mengapa para wisatawan memilih menjadi komuter untuk mengunjungi kota ini.

Periode Nara sebagai ibukota Jepang memang sangat pendek, dibandingkan dengan Kyoto yang menjadi ibu kota Jepang lebih dari satu milenium. Meski demikian, periode ini sangat penting karena pada masa-masa inilah Jepang mengadakan komunikasi aktif dengan negara-negara Asia Timur dengan mengembangkan sistem politik dan legal yang mirip dengan Negeri Cina. Perpindahan ibu kota ini berdampak pula pada kehidupan penduduk Nara. Sebab, begitu ibu kota dipindahkan ke Kyoto maka sebagian besar wilayah Nara lambat laun berubah menjadi areal persawahan. Kecuali sejumlah kuil yang tetap bercokol di Nara sehingga Nara dikenal sebagai kota kuil.
"Kijang bebas berkeliaran di halaman
kompleks Kuil Todai-ji tanpa takut akan disakiti oleh manusia."
Sebagai salah satu kota yang termasuk dalam “the most beautiful cities in the world” sekaligus sebagai kota antik seperti Athena dan Roma, Nara menjadi tempat persilangan budaya Timur dan Barat karena terletak pada “jalur sutra” (jalur perdagangan internasional dari Cina ke Mediterranian di masa pramodern). Mayoritas kuil Buddha yang ada di Nara mendapat pengaruh dari jazirah Korea atau juga dari Cina di abad ke-8 yang lantas mengalami proses perkembangan yang unik di Jepang. Bangunannya menyajikan budaya arsitektur kayu di abad ke-8 yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Jepang dengan Cina dan Korea.

Nara kini sudah menjadi kota modern. Meski demikian, di kota ini masih terpelihara bangunan-bangunan bersejarah yang berumur hingga 1300 tahun sehingga menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke kota ini. Suasana Nara terasa sangat nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk seperti layaknya di Kyoto, apalagi Tokyo. Namun, jangan lantas membayangkan Nara sebagai kota yang kumuh dan sederhana. Tertib masyarakat sebagai ciri masyarakat Jepang tetap terpelihara, demikian pula Nara tidak ditelantarkan dalam hal modernisasi kota.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Nara adalah tempat lahirnya budaya Jepang. Tak heran bila Nara mendapat status yang signifikan dalam keseluruhan budaya Jepang. Di antara bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Nara, delapan monumen telah ditetapkan sebagai bagian dari “The World Cultural Heritage”. Salah satunya adalah Kuil Todai-ji di mana di dalamnya terdapat patung Buddha yang terbesar di dunia.

Kuil Buddha Terbesar
Dua kuil yang sangat berpengaruh pada waktu itu adalah Kofuku-ji dan Todai-ji. Tak pelak, pembentukan kota pun berpusar pada dua kekuatan ini. Namun, kedua kuil besar ini akhirnya harus hancur saat terjadi peperangan antara klan Minamoto dan Taira (1180). Renovasi pun segera dilakukan dan itulah yang kita li
hat hingga saat ini—khususnya kuil Kofuku-ji. Sebab, sekali lagi, Todai-ji menjadi korban perang, terbakar (1567). Kembali, kuil ini mengalami renovasi, sayangnya ukurannya terpaksa mengecil menjadi hanya 2/3 dari aslinya.
Kompleks Todai-ji dibangun tahun 743, terdiri dari beberapa bangunan yang tersebar di dalam kompleks. Fungsinya antara lain sebagai tempat belajar, tempat memuja Buddha guna memohon kedamaian, tempat penyembuhan—semacam rumah sakit, tempat diskusi politik, ekonomi, dan hubungan internasional, serta sebagai tempat menyimpan kekayaan seni Buddhis. Katakanlah sebagai sebuah pusat budaya di Jepang.

Pada masa itu, agama Buddha memang berada pada puncak kejayaannya, dan menjadi agama negara. Peninggalan yang sangat terkenal dari kuil ini adalah Daibutsu, patung Buddha setinggi 15 meter! Pembuatan patung yang terbuat dari campuran tembaga (499 ton), merkuri (2.5 ton), timah (8,5 ton), dan emas (440 kg) ini konon mengerahkan kurang lebih 3 juta orang.

"Patung Buddha terbesar di dunia dalam Kuil Todai-ji."
Bisa kita bayangkan, bila patungnya sendiri sebesar itu, berapa besar gedung yang memuatnya. Daibutsu-den, demikian nama gedung itu, tingginya 47 meter dan seluruhnya terbuat dari kayu. Inilah bangunan kayu terbesar di seluruh muka bumi. Dari luar gedung itu tampak seolah berlantai dua, yakni dengan adanya dua atap bersusun. Namun, sesungguhnya itu hanyalah perhitungan arsitektur yang cermat untuk membagi beban atap gedung yang sangat besar itu. Bukan hanya itu, penempatan sejumlah pilar besar yang menyangganya juga sangat unik. Tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi berada pada semacam tatakan semen. Semua kecermatan arsitektural itu rupanya untuk mengantisipasi bila terjadi gempa bumi. Bangunan ini dikerjakan selama lima tahun dan selesai dibangun pada 752, dengan ukuran tinggi 47 meter, panjang 51 meter, dan lebar 88 meter. Kayu-kayunya kebanyakan didatangkan dari daerah sekitar Nara, Shiga, Hyogo, dan Mie, dan memanfaatkan aliran sungai Kinki.

Memang, bukan berarti lalu kuil ini terhindar dari bencana gempa bumi. Dalam catatan sejarah, karena gempa bumi, kepala patung itu jatuh dan rusak parah sehingga harus mengalami renovasi. Tetapi, tragedi yang justru meluluhlantakkan bangunan bersejarah ini datang dari manusia sendiri: perang antarklan di pertengahan abad ke-16 yang mengakibatkan kompleks kuil itu terbakar (1180 & 1567), kecuali gedung Sangatsu-do dan gerbang Tegai-mon. dengan terbakarnya Daibutsu-den maka patung Buddha Rushana atau Vairocana itu kehilangan “rumah” lebih dari satu abad! Daibutsu-den baru dibangun kembali pada 1692. Dan bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini adalah hasil dari renovasi tahun 1709.

Kompleks kuil Todai-ji juga dilengkapi dengan sebuah taman yang luas. Menariknya, selain dirindangi oleh pepohonan dan bunga-bunga, taman ini juga “dihiasi” oleh kawanan rusa yang hidup bebas. Pengunjung dapat berfoto dan bercengkerama dengan rusa-rusa ini, apalagi kalau pengunjung membawa kue-kue kesukaan rusa.

Shuni-e atau Omizutori
Bila kita berkesempatan mengunjungi kuil Todai-ji di bulan Maret, itu bertepatan dengan sebuah acara khas Todai-ji: upacara Shunie atau Omizutori. Memang, kita tidak bisa terlibat atau melihat langsung upacara tersebut karena ini merupakan upacara intern kuil. Wisatawan hanya bisa menikmati upacara ini pada malam hari—itupun dari luar—yakni saat obor-obor kuil dinyalakan.

"Tiang-tiang Kuil Todai-ji tidak ditanam, melainkan hanya diletakkan di atas tatakan semen."
Upacara Shuni-e dimulai sejak tahun 752 dan berlangsung di gedung Nigatsudo. Pada awalnya, upacara ini dilangsungkan pada bulan Februari (Shuni-e = upacara bulan kedua). Namun, bersamaan dengan dipakainya sistem kalender matahari maka upacara ini kini berlangsung mulai dari tanggal 1-14 Maret. Inti dari ritual yang juga populer dengan nama Omizutori ini (Omizutori = mengambil air suci) adalah pengambilan air suci dari sumur Wakasa pada jam 02.00 dini hari tanggal 13 Maret. Air suci ini lalu dibagikan kepada pengunjung dan juga dipersembahkan kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas di Nigatsudo. Lalu, airu itu dituangkan ke dalam dua wadah: satu berisi air dari upacara tahun lalu, satu lagi wadah yang berisi air dari ritual sepanjang 1200 tahun!

Maksud dari upacara ini adalah untuk kemurnian hidup manusia di muka bumi ini dengan bersembahyang kepada dewa Kannon-berkepala-sebelas untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia. Antara lain, mereka berdoa untuk korban bencana alam, perang, kelaparan, dan perwujudan perdamaian dunia. Upacara ini dilakukan oleh sebelas pendeta-Buddha (Rengyoshu) yang selama dua minggu mereka membaca sutra enam kali sehari. Inilah ritual yang paling terkenal di Jepang sejak abad ke-8 dan tidak pernah absen dilangsungkan hingga tahun ini, termasuk ketika Perang Dunia dan kekacauan pasca Perang Dunia II.

Sebagai puncak dari ritual ini adalah pesta obor yang sangat indah, yang populer dengan sebutan Otaimatsu. Sebelas keranjang obor yang sudah dipersiapkan dibawa oleh kesebelas Rengyoshu ke balkon Nigatsudo, lalu diayun-ayunkan di depan pengunjung. Tak salah bila ritual ini disebut-sebut sebagai ritual air dan api yang sangat agung. Dan, seolah melengkapi keagungan dari ritual ini, berakhirnya upacara Omizutori menandai berakhirnya musim dingin di Jepang dan awal dari musim semi yang cantik.
* (telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 27 Juli 2003)