Saturday, May 02, 2009

QUO VADIS BACAAN ANAK-ANAK?
Oleh A. Ariobimo Nusantara

Menjelang tahun 2001 tampaknya kita akan menjumpai suatu pemandangan yang cukup menyedihkan dalam dunia perbukuan, khususnya dalam hal interaksi antara anak dan buku. Bagaimana tidak, jika sekarang saja kita sudah sulit menemukan anak yang tergolong kutu buku. Peranan buku semakin tersingkir dan keberadaannya digantikan oleh media yang lebih menarik – media pandang dengar dalam bentuk siaran televisi, video, hingga laser disc.

Sebagai orangtua, kita seolah tidak berdaya dan hanya mampu menjadi penonton dari melebarnya jurang pemisah antara anak dan buku. Sementara pihak lain, penerbit – dengan kemampuannya masing-masing – berusaha untuk mencari terobosan di sana-sini guna mengimbangi membanjirnya arus informasi melalui siaran pandang dengar itu. Meskipun di satu sisi posisi buku kian terpuruk, di sisi lain keberadaan buku sebagai media informasi tertulis tidak akan pernah tergantikan. Oleh sebab itu, pentingnya buku sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa juga diamanatkan dalam GBHN 1983. Bahkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) atau organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di lingkungan PBB sendiri sudah mencanangkan semboyan “buku untuk semua”.

Dilema Buku Anak-Anak di Indonesia
Pada hakekatnya, buku merupakan sarana komunikasi tulis yang mendokumentasikan sekaligus menyampaikan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Selain itu, buku juga merupakan sarana yang uckup strategis untuk mempengaruhi opini publik dan sebagai penentu tingkah laku. Artinya, buku mampu meningkatkan mutu hidup manusia, tetapi juga mampu menggiring pembaca ke a lam fantasi yang jauh dari akar budaya dan kepribadian bangsa. Khusus bagi anak-anak (membaca) buku berdampak: anak akan tahu segala hal, membuka wawasannya, menambah pengalaman batin, dan membuat anak menjadi gembira. Masalahnya sekarang adalah bagaimana situasi perbukuan di Indonesia?

Jika diperhatikan, sejak tahun 1987 grafik produksi buku nasional cenderung bergerak turun. Kalau produksi b uku pada tahun 1987 ada 6.000 judul, pada tahun 1988 dan 1989 turun menjadi 4.000 judul Bahkan kini kabarnya, produksi buku nasional tahun-tahun ini hanya berkisar antara 1.000-3.000 judul. Dari sekian judul itu, hitung saja berapa judul kira-kira buku yang ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Bila dibandingkan dengan negara anggota asean lainnya, tampak jelas bahwa Indonesia masih berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabaranya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan buku anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri ‘Pengarang Bacaan Anak-Anak dan remaja’. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-nak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar, 110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang ditujukan untuk anak-anak (Kompas, 12 Agustus 1993).

Kelesuan penerbitan buku anak ini sebenarnya diawali ketika proyek buku Inpres mulai menurun. Proyek yang berkibar pada dekade 1970 hingga 1980-an ini kabarnya sempat menggemukkan beberapa penerbit dan pengarang Indonesia. Betapa tidak, sejak tahun 1973 saja proyek ini telah mengucurkan dana sebesar 651.6 miliar rupiah.

Namun, proyek besar itu kemudian kandas di tengah jalan, berbarengan dengan menyurutnya kualitas buku-buku itu sendiri. Bahkan begitu proyek ini mulai surut, banyak penerbit buku yang memilih gulung tikar atau mengalihkan modalnya ke usaha lian yang lebih menguntungkan. Sinyalemen ini menunjukkan bahwa banyak pemodal yang berkedok penerbit karena hanya mau menerbitkan buku (anak) bila situasi benar-benar menguntungkan dari segi bisnis. Mereka tidak berangkat dari tradisi intelektual atau idealisme.

Berangkat dari sinyalemen itu, wajarlah kalau dewasa ini muncul semacam gugatan dari masyarakat terhadap kemampuan penerbit Indonesia dalam menerbitkan buku anak yang bermutu unggul. Sebenarnya, dari kalangan penerbit sendiri sudah ada rasa risih kalau harus terus menerus menerbitkan karya terjemahan. Alasan utamanya, buku-buku tersebut dapat menyebabkan posisi buku-buku karya pengarang dan cerita lokal kian terdesak, meskipun diakui bahwa penerbitan karya terjemahan lebih murah dan menguntungkan. Akan tetapi, di lain pihak, penerbit sendiri juga kesulitan menemukan pengarang lokal yang berkualitas dan mampu mengethaui kebutuhan anak zaman sekarang, sementara roda penerbitan harus terus berputar. Kondisi yang sangat dilematis inilah yang akhirnya memaksa penerbit untuk berburu cerita terjemahan.

Dari sisi persebaran buku, snagat terasa bahwa buku-buku yang mengandung informasi mutakhir masih menjadi milik anak-anak di perkotaan. Sebaliknya, anak-anak di desa sangat kekurangan bacaan. Mereka hanya mengandalkan perpustakaan sekolah yang miskin koleksi sehingga hanya membaca buku-buku lama yang mungkin sudah berkali-kali dibaca.

Back to Comic
Mengembalikan “kejayaan” buku Inpres seperti di tahun 1970-an di tengah menderasnya arus globalisasi ini tidaklah gampang. Perkembangan wawasan serta pola pikir anak-anak sekarang ternyata begitu cepat dan melampaui perkiraan kita. Anak sekarang, yang merupakan generasi di tahun 2001 nanti adalah generasi yang lahir di tengah-tengah segala hal yang serba instan dan serba mutakhir. Mereka lebih terbiasa mencerna keampuhan “pedang matahari” atau “senapan laser” daripada “keris Empu Gandring” atau “Nagasasra, Sabuk Inten”. Pahlawan mereka sekarang bukan lagi yang ber”otot kawat balung wesi”, tetapi yang seluruh tubuhnya terbungkus baja. Pendeknya, semua yang serba futuristik yang kini tengah menguasai sebagian imajinasi anak.

Dalam hal bacaan, anak sekarang lebih selektif lagi. Mereka tidak mau menyentuh bacaan-bacaan yang dikemas seperti bacaan tahun 1970-an dulu. Mungkin karena pengaruh yang serba instant tadi, anak lebih memilih bacaan yang mampu memberi kenikmatan membaca (teks) dan melihat (gambar) sekaligus, yang lazim disebut komik. Itu baru dari segi penyajian. Dari segi ide cerita, anak ternyata juga lebih cenderung lekat pada tokoh-tokoh impor, baik yang dilahirkan di Negeri Paman Sam maupun yang lahir di Negeri Sakura. “Permintaan pasar" inilah yang akhirnya mendorong penerbit untuk berlomba-lomba berburu copyright ke kedua negara tersebut.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya kehadiran komik di Indonesia bukanlah hal baru. Kita tentu masih ingat ketika pada tahun 1970-an komik-komik H.C. Andersen, Tintin, atau album Donal Bebek menjadi bagian dari bacaan kita. Begitu pula dengan boom komik-komik lokal seperti karya Jan Mintaraga, Ganes TH, Hans Jaladara, dan Teguh Santosa. Meskipun demikian, tampaknya “selera zama” lebih memainkan peranan. Komik-komik k arya koikus lokal semakin hari tampak semakin kedodoran dan pasrah menjadi saksi berkibarnya komik-komik terjemahan di negeri ini. Sebaliknya, di Negeri Sakura komik (lokal) justru sedang mengalami booming yang mencapai 2,16 miliar kopi. Demikian pula yang terjadi di Amerika, komik (setempat) mendapat tempat yang layak di negerinya sendiri.

Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1994 ini, cerita sedih tentang komik Indonesia tampaknya mulai mendapat pelipur lara. Seiring dengan perputaran selera yang “back to comic”, di pasaran mulai muncul komik Indonesia yang dikemas sejajar dengan kualitas komik terjemahan. Langkah ini diawali oleh Dunia Fantasi dengan melontarkan komik Ramayana yang dikemas dengan gaya futuristik. Ide atau pakem cerita tetap seperti aslinya, hanya visualisasi gedung, senjata dan kostum para tokohnya sedikit dipoles dengan sentuhan “tahun 3000”. Tidak lama kemudian, Elex Media Komputindo juga melontarkan seri komik lokal dengan kualitas komik terjemahan, berjudul Imperium Majapahit. Bedanya, komik terbitan Elex tetap setiap pada pakem aslinya secara utuh, meskipun kedua jenis komik itu dihasilkan oleh komikus yang sama: Jan Mintaraga.

Melihat kehadiran kedua “kelinci percobaan” tersebut, dapat diprediksi bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi trend komik anak-anak di Indonesia akan dibawah kembali kepada cerita-cerita lokal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kehadiran komik terjemahan tampaknya sudah mencapai titik jenuh. Jika ramalan ini bisa dibenarkan, penerbit dan komikus Indonesia harus mulai bersiap-siap bekerjasama lagi mengantarkan cerita-cerita lokal kepada anak-anak generasi tahun 2001.

Penutup
Menggiatkan kembali peta buku anak nasional, seperti yang pernah berkibar di tahun 1970-an memang merupakan suatu tantangan yang cukup berat bila ditinjau dari lesunya dunia perbukuan dan perekonomian saat ini. Namun, tanpa usaha dan upaya yang didukung kemauan yang sungguh-sungguh dan kerja sama antar-lingkungan terkait, rasanya akan sulit membangkitkan gairah baru dalam penulisan buku anak-anak Indonesia beserta pemasyarakatannya. Apalagi bila kita tidak mau dikatakan tertinggal dari negara-negara lain baik ASEAN maupun Eropa. Kiranya inilah yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus tanggung jawab kita, baik sebagai orangtua, pendidik, maupun kalangan penerbit.


[tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 1994]

No comments: