Saturday, May 02, 2009

GEMAR MEMBACA, GEMAR MENULIS
Oleh A. Ariobimo Nusantara



Jika Anda tergolong orang yang gemar membaca, tentu belum lekang dari ingatan Anda serentetan iklan layanan masyarakat yang digeber harian Kompas di penghujung tahun 1996. Iklan gede-gedean yang diprakarsai oleh harian tersebut bekerja sama dengan berbagai perusahaan periklanan itu menekankan pentingnya gemar membaca sejak dini. Copy iklannya cukup menarik dan menggelitik, meski kita tak pernah tahu apakah iklan layanan masyarakat itu benar-benar “menyentakkan” masyarakat – khususnya yang belum menikmati renyahnya membaca.

Bolehlah saya kutipkan beberapa copy iklan yang menggelitik itu. “Bacaan Anda menunjukkan siapa Anda” (30/12/96), “Persiapan kehidupan: Buah hati Anda membutuhkan wawasan. Ajaklah mereka gemar membaca…” (31/12/96), “Akankah buku tetap menjadi sebuah ‘daftar’ hanya karena soal HARGA?” (29/12/96), “Membaca membuka mata hati memperluas wawasan” (3/1/97). Tentu saja, copy iklan itu masih diikuti body text yang kalau kita baca seluruhnya akan menunjukkan “perang kreativitas” di antara pekerja iklan.
Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah: Apa keuntungan dari iklan layanan yang tentu berharga jutaan bahkan mungkin puluhan juta rupiah itu? Jelas, namanya saja iklan layanan masyarakat sehingga sifatnya bukan “menjual” sesuatu. Akan tetapi, sebenarnya lewat iklan itu kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga. Apa itu? Keluasan wawasan para pembuatnya, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa mereka juga termasuk orang-orang yang “gila buku”. Lebih jauh lagi, kita mendapatkan bukti nyata bahwa dengan gila membaca dan berolah kata pun orang dapat beroleh penghasilan yang menarik.

Revolusi Tulisan
Boleh dikata, ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh dari “revolusi tulisan” yang tidak pernah dibayangkan oleh pencetusnya. Ketika pertam kali manusia menciptakan Alfabet (abjad) tentu bukan tanpa maksud. Alfabet (berasal dari nama huruf pertama Yunani alpha dan huruf kedua beta) berarti susunan huruf dalam urutan tertentu untuk menuliskan kata-kata atau bunyi dalam satu atau beberapa bahasa. Dengan alphabet, manusia lebih mudah menuangkan gagasan secara sistematis. Penciptaan alphabet boleh dibilang merupakan “revolusi besar” dalam sejarah kehidupan manusia karena manusia mulai memasuki tradisi baru, tradisi tulisan (literacy).

Menurut sejarahnya, alphabet tertua ditemukan pada abad ke 13 SM di Ugasit, Fenisia dalam bentuk tulisan paku yang mungkin merupakan contoh bagi alphabet Yunani yang dipakai sejak 900 SM. Alfabet Yunani ini dibawa oleh bangsa Etruria ke Roma yang kemudian menjadi abjad Latin.

Revolusi alphabet semakin besar-besaran manakala pada abad ke 15 Masehi, Gutenberg – seorang warga negara Jerman, menemukan sistem produksi karya cetak. Dengan kata lain, Gutenberg sebagai penemu mesin cetak, tinta cetak, huruf cetak yang dapat dilepas dan dipasang; penemu metode cetak, metode membuat huruf cetak dari campuran logam, telah menimbulkan revolusi di bidang perbukuan dan persurat-kabaran.
Penemuan Gutenberg semakin memacu lahirnya tradisi tulisan. Namun demikian, “revolusi” yang diciptakannya itu terpaksa memakan korban. Korban pertama adalah Gutenberg sendiri. Penemu ini terjerat hutang dan tidak sempat menikmati hasil penemuannya, bahkan hidup sengsara karena penemuannya. Sedangkan, korban yang lebih besar adalah tergesernya tradisi lisan (oral) oleh tradisi tulisan (literacy).

Akan tetapi, meski revolusi tulis menulis ini telah berabad-abad berpengaruh pada tradisi kelisanan kita, nyatanya tradisi tulisan belum sepenuhnya mengendap dalam budaya masyarakat kita. Mengenai hal ini, A. Teeuw memang pernah menyinggung bahwa masyarakat Indonesia masih dalam tahap peralihan dari tradisi lisan (oral) menuju tradisi tulisan (literacy). Banyak takaran mengenai hal ini, misalnya sinyalemen rendahnya minat baca, kesulitan mahasiswa dalam menulis skripsi, minimalnya produktivitas sarjana dalam melahirkan tulisan, termasuk juga banyaknya guru yang tak mampu menulis.
Padahal, di sisi lain kita sudah memasuki tahap pasca-tulisan (post-literacy), yakni ditandai dengan maraknya sarana komunikasi elektronik. Anehnya justru tradisi pasca-tulisan lebih cepat berkembang daripada tradisi tulisan. Mengapa? Satu-satunya jawab adalah karena memiliki kemiripan dengan tradisi lisan, meski yang terjadi hanya komunikasi satu arah.
Praktis, dengan cepatnya loncatan tradisi ini, tradisi tulisan seolah semakin alot berkembang. Betapa tidak, bila untuk memahami isi ensiklopedi misalnya, orang tidak perlu lagi bersusah payah membacanya, karena teknologi CD-ROM kini siap menampulkan seluruh isi ensiklopedi berikut gambar bergerak dan suaranya.

Tugas Membaca dan Menulis
Itulah sebabnya, Taufiq G Ismail – seorang penyair kondang – sangat prihatin karena pelajaran mengarang di sekolah menengah saat ini mendapat porsi yang sangat sedikit (Kompas, 22/12/95). Ia pun mengaku tak heran lagi bila saat ini banyak mahasiswa kesulitan menulis skripsi, yang selain menuntut ketrampilan berbahasa juga menuntut ketrampilan menyajikan gagasan ke dalam tulisan secara sistematis dan logis.

Memang, bagi sebagian besar mahasiswa, tugas menulis skripsi masih dipandang sebagai satu tugas yang mematikan. Untuk bisa melampaui tugas ini, seorang mahasiswa dituntut menguasai beberapa hal, mulai dari menguasai (membaca) sejumlah buku, memilih judul, membuat outline, merumuskan latar belakang masalah, kerangka pemikiran, dan metode penelitian – yang semuanya serba tertulis.

Padahal, latihan-latihan menulis, sebagaimana diprihatinkan oleh Taufiq G Ismail, jarang diperoleh lagi selepas dari sekolah dasar. Menulis, yang menjadi bagian dalam matapelajaran Bahasa Indonesia, terkadang harus tergusur oleh padatnya pengetahuan ketatabahasaan yang harus dipahami siswa. Jeda yang cukup panjang dalam latihan tulis menulis ini, jelas membawa pengaruh pada kerancuan berpikir dalam bahasa tulis.

Di sisi lain, tugas-tugas menulis/mengarang terkadang masih dianggap sebagai beban karena guru harus membaca semua hasil tulisan siswa. Sementara, nyatanya belum tentu semua guru memiliki minat besar dalam hal membaca dan menulis.

Sebagai konsekuensinya, kesulitan mengutarakan gagasan lewat tulisan tidak hanya dialami sewaktu menjadi mahasiswa, tetapi berlanjut terus, meski seseorang telah memasuki dunia kerja. Ironisnya, kesulitan ini banyak juga dialami oleh orang yang pekerjaan sehari-harinya justru bergelut dengan perkara tulis menulis, misalnya sekretaris, wartawan dan editor penerbit.

Kondisi ini membuktikan kepada kita bahwa hingga memasuki era cyberspace pun ternyata masih cukup banyak sumber daya manusia yang tak mampu mengorganisasikan gagasan dalam bangunan tulisan yang jelas dan logis. Akibatnya, banyak sekali kasus yang “memalukan” – dosen menjiplak skripsi mahasiswanya, larisnya bisnis jual-beli skripsi, atau minimnya penulis buku lokal.

Untuk mengatasi kondisi ini, tidak ada salahnya bila kebiasaan membaca dan latihan menulis sejak dini digiatkan terus tanpa mengalami senjang waktu. Sejalan dengan itu, kepada pelajar, mahasiswa, dan umum perlu dipikirkan kegiatan yang dapat merangsang kegemaran membaca dan menulis.

Bagi pelajar misalnya, bolehlah menghidupkan kembali tradisi mewajibkan siswa meminjam buku di perpustakaan kemudian pada kesempatan berikutnya guru mengadakan tes pemahaman siswa terhadap isi buku itu. Atau, memperbanyak tugas-tugas menulis, baik menulis surat, mengarang cerita, maupun menulis ilmiah.
Sebagai sumber daya manusia di abad ini, kita sudah cukup beruntung karena alphabet telah lama ditemukan. Kepentingan kita sekarang adalah meningkatkan kebiasaan disiplin berpikir, agar terasahlah kemampuan menyerap gagasan tertulis dan mengutarakan gagasan lewat bahasa yang jelas, logis, dan tertulis.



[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1996]

No comments: